Ksatria NU Ajak Pendukung Prabowo-Hatta Hindari Kampanye Hitam
A
A
A
JAKARTA - Pelaksanaan Pilpres 2014 sudah semakin dekat. Berbagai pihak diminta untuk menjaga agar tidak terjadi konflik. Sebab, tanda-tanda konflik sudah muncul seperti yang terjadi di Yogyakarta dan Jawa Tengah di sekitar pertengahan Juni lalu.
Pembina Kiai Santri (Ksatria) Nahdlatul Ulama (NU) Khatibul Umum Wiranu mengatakan, situasi politik saat ini sudah tidak sehat. Aksi saling hujat antar tim pasangan capres dan cawapres yang berkontestasi sudah jelas terpampang di media massa.
"Saya belum pernah mengalami momentum pilpres yang begitu buruk kondisi politiknya. Situasinya karena satu putaran dan mengharuskan ada yang menang dan ada yang langsung kalah. Ini memicu kerawanan sosial. Bisa jadi ada yang tidak rela dengan kekalahannya," kata Khatib dalam konferensi pers di Pulau Dua, Senayan, Jakarta Selatan, Senin (30/6/2014).
Khatib mengatakan, polemik ini diperparah dengan adanya aksi saling buka aib antara purnawirawan pendukung kedua kubu. Ia menilai, para purnawirawan tersebut seakan saling meluapkan dendam di masa lalu.
"Kepada masyarakat, santri dan pendukung Prabowo-Hatta tak perlu ikut black campaign. Kita menang terhormat, kalah terhormat. Kita harus terima siapa pun yang menang tanpa ada agenda pasca pilpres. Kita Ksatria NU tidak akan ikut ramai-ramai itu," tegasnya.
Wakil Ketua Komisi II DPR RI itu berharap pelaksanaan pilpres yang bertepatan dengan datangnya bulan Ramadan dapat menjadi angin segar bagi masyarakat. Dirinya meminta masyarakat saat 9 Juli nanti berdoa terlebih dahulu untuk para pemimpin sebelum mencoblos.
"Kalau saat memilih, bismillah dan berdoa dahulu, pemimpinnya pasti berkah. Mari berdoa, tidak perlu khawatir siapa yang terpilih. Kalau 190 juta pemilih baca doa, yakin tidak akan ada masalah dan berkah," tegasnya.
Pada kesempatan tersebut, ia juga mengimbau agar peristiwa konflik di tingkat bawah harus terus diwaspadai. Semua komponen kiai dan santri terus melakukan pengawasan terhadap kelompok yang membuat ricuh.
"Seperti di Jogja, ada kelompok enggak jelas tiba-tiba gerebek orang yang lagi ibadah. Bulan puasa harus sadar, hindari konflik karena yang rugi masyarakat," tuntas politikus Partai Demokrat itu.
Pembina Kiai Santri (Ksatria) Nahdlatul Ulama (NU) Khatibul Umum Wiranu mengatakan, situasi politik saat ini sudah tidak sehat. Aksi saling hujat antar tim pasangan capres dan cawapres yang berkontestasi sudah jelas terpampang di media massa.
"Saya belum pernah mengalami momentum pilpres yang begitu buruk kondisi politiknya. Situasinya karena satu putaran dan mengharuskan ada yang menang dan ada yang langsung kalah. Ini memicu kerawanan sosial. Bisa jadi ada yang tidak rela dengan kekalahannya," kata Khatib dalam konferensi pers di Pulau Dua, Senayan, Jakarta Selatan, Senin (30/6/2014).
Khatib mengatakan, polemik ini diperparah dengan adanya aksi saling buka aib antara purnawirawan pendukung kedua kubu. Ia menilai, para purnawirawan tersebut seakan saling meluapkan dendam di masa lalu.
"Kepada masyarakat, santri dan pendukung Prabowo-Hatta tak perlu ikut black campaign. Kita menang terhormat, kalah terhormat. Kita harus terima siapa pun yang menang tanpa ada agenda pasca pilpres. Kita Ksatria NU tidak akan ikut ramai-ramai itu," tegasnya.
Wakil Ketua Komisi II DPR RI itu berharap pelaksanaan pilpres yang bertepatan dengan datangnya bulan Ramadan dapat menjadi angin segar bagi masyarakat. Dirinya meminta masyarakat saat 9 Juli nanti berdoa terlebih dahulu untuk para pemimpin sebelum mencoblos.
"Kalau saat memilih, bismillah dan berdoa dahulu, pemimpinnya pasti berkah. Mari berdoa, tidak perlu khawatir siapa yang terpilih. Kalau 190 juta pemilih baca doa, yakin tidak akan ada masalah dan berkah," tegasnya.
Pada kesempatan tersebut, ia juga mengimbau agar peristiwa konflik di tingkat bawah harus terus diwaspadai. Semua komponen kiai dan santri terus melakukan pengawasan terhadap kelompok yang membuat ricuh.
"Seperti di Jogja, ada kelompok enggak jelas tiba-tiba gerebek orang yang lagi ibadah. Bulan puasa harus sadar, hindari konflik karena yang rugi masyarakat," tuntas politikus Partai Demokrat itu.
(kri)