Negosiasi Politik di Era Demokrasi Elektoral

Kamis, 22 Mei 2014 - 20:54 WIB
Negosiasi Politik di...
Negosiasi Politik di Era Demokrasi Elektoral
A A A
PADA saat ini partai politik hanya menganggap demokrasi sebatas dalam konteks prosedural dan sebuah alat untuk memperebutkan kekuasaan. Ini menyebabkan satu sisi yang buruk dalam proses demokratisasi di tanah air, bahwasanya mereka akan kerap kali mengabaikan partisipasi masyarakat untuk ikut berperan dalam membuat sebuah rancangan peraturan dan perundang-undangan yang berpihak pada kepentingan dan kebutuhan masyarakat luas.

Sementara pada sisi masyarakat, demokrasi saat ini hanya sebatas permainan kepentingan-kepentingan elite politik dan tidak berhubungan dengan upaya merealisasikan kesejahteraan dan keadilan sosial.

Kedua hal tersebut sangat mengganggu proses demokratisasi di tanah air yang dampaknya semestinya dapat menciptakan kemanfaatan yang banyak bagi seluruh lapisan masyarakat. Hal ini pun akan sangat mempengaruhi bagaimana para partai politik melakukan negosiasi-negosiasi politik antar sesama partai untuk membangun sebuah koalisi di pemerintahan. Yang menjadi fondasi awal partai politik dalam melakukan negosiasi politik bukan lagi kepentingan dan kebutuhan yang merepresentasikan kehendak rakyat, melainkan ialah sebuah kebutuhan kekuasaan semata.

Tentunya, selain itu pula tidak ada lagi ideologi partai yang menjadi daya tawar untuk melakukan sebuah negosiasi politik. Karena ketika partai politik hanya menganggap demokrasi hanya sebagai sebuah mekanisme perebutan kekuasaan, maka dalam kepartaian akan ada yang hilang, yakni sebuah ideologinya itu sendiri dan yang menjadi hitungan utama mereka ialah bagi-bagi kekuasaan dalam pemerintahan tertinggi.

Dengan melihat dari segala aktivitas politik yang dilakukan oleh semua partai yang lolos ke dalam parlemen pada pemilu kali ini, Partai Hanura dan Partai Nasdem tak dapat mengajukan daya tawar yang berlebihan. Dengan jumlah suara yang mereka raih, mereka akan menerima tawaran terendah dari partai pengusung presiden sebagai sebuah kesepakatan dalam negosiasi.

Dalam instrumen pokok negosiasi politik lainnya yakni zona of possible agreement (ZOPA) ada beberapa partai politik yang berada dalam posisi ini. PKS, PPP, dan PKB. PKS yang suaranya anjlok pada pemilu kali ini tak akan bisa berbuat banyak dalam melakukan daya tawar dalam sebuah negoisasi koalisi politik yang berlangsung dengan partai lain. Citra buruk akibat perilaku korup petingginya dan elite politiknya yang hendak ingin membubarkan KPK membuat mereka tak memiliki daya tawar yang lebih dari sebatas penerimaan kursi menteri yang cukup dalam sebuah pemerintahan.

Terlebih lagi PPP dan PKB, kedua partai ini tak memiliki tokoh yang kuat untuk ditawarkan sebagai calon wakil presiden kepada partai pengusung utama calon presiden, karena mereka kerap kali terlibat dalam politik praktis. Ketiga partai ini tak akan sampai meninggalkan negosiasi politik yang sedang berjalan karena perolehan suara, citra politik, dan ketidakadaan tokoh yang layak membuat mereka berada dalam zona ini. Jatah menteri yang lebih dari cukup mampu membuat meredam mereka dalam sebuah negosiasi politik.

Instrumen yang terakhir ialah best alternative to a negotiated agreement (BATNA). Dalam instrumen ini Partai Demokrat dan PAN mampu berbicara banyak dengan mengajukan nama-nama untuk dijadikan calon wakil presiden kepada pengusung utama calon presiden. Suara mereka masih cukup terbilang banyak dan dalam partai tersebut elite politik yang ada masih memiliki kredibilitas yang cukup baik di masyarakat.

Demokrat dengan jumlah suara yang diraih pada pemilu kali ini mampu menawarkan apa yang mereka kehendaki pada partai pengusung calon presiden. PAN dengan ketokohan dan kematangan sosok Hatta Radjasa mereka dan memiliki suara yang cukup kuat mereka juga dapat melakukan hal yang sama. Kedua partai ini juga bisa dengan berani meninggalkan meja negosiasi untuk menjalin negosiasi dengan partai lain yang bisa menghendaki tawaran mereka. Inilah negosiasi politik di era demokrasi elektoral. Semuanya tentang bagi-bagi kekuasaan yang mengacu pada perolehan suara dan ketokohan elit partai mereka.

Sungguh proses demokratisasi mengalami nilai minus termasuk dalam tataran apa yang melandasi partai politik dalam melakukan sebuah negosiasi politik untuk membangun sebuah koalisi yang mapan dan melembaga. Dalam membangun koalisi yang menjadi acuan utamanya ialah memperhitungkan seberapa dekat jarak (ideologi) antara satu partai dengan yang lainnya. Koalisi seperti ini selalu berhitung kemungkinan untuk mendekatkan jarak dan seberapa jarak tersebut boleh untuk menghasilkan koalisi yang efektif.

Hal tersebut dapat memperhitung seberapa lama waktu koalisi dapat tercipta dengan kelanggengan, karena mereka mengacu kepada satu kedekatan jarak (ideologi) partai tersebut. Yang terpenting ialah, dari negosiasi politik yang mengacu pada seberapa dekat ideologi yang suatu partai politik, akan menciptakan satu power sharing yang bermanfaat untuk menciptakan satu kebijakan yang akan dibuat.

Pada saat ini, pada era demokrasi elektoral dapat kita simpulkan bahwa ketika daya tawar yang dilakukan oleh partai politik dalam sebuah negosiasi politik hanya bersandar pada perolehan suara dan untuk membagi-bagikan kekuasaan, maka koalisi pemerintahan yang akan berjalan selanjutnya tak akan stabil dan akan penuh dengan konflik baik di eksekutif maupun di legislatif seperti pemerintahan SBY kali ini. Selama ini proses demokratisasi kita telah hancur, namun ada baiknya kita menyiapkan energi yang kuat untuk memperbaikinya pada periode mendatang.

AHMAD FAUZI
Aktif di The Political Literacy Institute
(hyk)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0980 seconds (0.1#10.140)