Koalisi tak harmonis

Selasa, 20 Mei 2014 - 07:16 WIB
Koalisi tak harmonis
Koalisi tak harmonis
A A A
KEBEBASAN dan jumlah partai politik yang ada di suatu negara akan sangat saling memengaruhi untuk melihat satu sama lainnya di antara kedua hal tersebut. Jika ingin melihat kebebasan di suatu negara langkah yang cukup mudah bagi kita adalah dengan melihat berapa jumlah partai yang ada di negara tersebut, dan kehadiran partai politik merupakan contoh adanya sebuah kebebasan di suatu negeri.

Hal ini rupanya terjadi di Indonesia. Pada masa awal reformasi ada 181 partai politik baru yang bermunculan. Berbagai macam ideologi ditawarkan dari masing-masing partai politik tersebut, mulai dari yang sungguh-sungguh atau bahkan hanya keisengan semata. Hal ini merupakan sebuah ekspresi pembebasan dari belenggu Orde Baru yang sangat berlebihan, bukan sebuah nilai yang mengandung kebebasan untuk suatu cita-cita demokrasi yang mapan terlembaga.

Pada pemilihan umum kali ini ada 12 partai politik yang ikut berpartisipasi sebagai kontestan utama untuk memperebutkan bangku di parlemen pusat. Ini menandakan bahwa jumlah partai masih sebagai ajang rujukan untuk menilai seberapa bebas negeri tersebut untuk melindungi hak berkelompok pada setiap individu. Hasilnya, melalui pengumuman Komisi Pemilihan Umum (KPU) kemarin hanya ada 10 parpol yang lolos berhak untuk mengisi parlemen di periode mendatang. Begitu banyaknya jumlah partai yang ada membuat aktivitas politik di jajaran eksekutif dan legislatif selalu memanas seperti yang terjadi selama periode kemarin.

Dalam sistem pemerintahan presidensial seperti yang dianut oleh negara Indonesia ini sungguh jumlah partai politik yang begitu banyak tidak akan membawa dampak politik yang positif. Akan banyak pertengkaran dan perbedaan yang akan terjadi pada pemerintahan pusat dan anggota parlemen. Bukan hanya masalah legislasi perundang-undangan melainkan juga terhadap masalah kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh pemerintahan pusat. Seperti masalah kasus bail out Bank Century.

Konflik berkepanjangan antara parlemen dan eksekutif terus berlangsung sepanjang periode yang juga melibatkan anggota partai koalisi pemerintahan. Bongkar pasang menteri terus terjadi karena presiden kerap kali kecewa dengan perilaku anggota partai koalisi di dalam parlemen. Multipartai dengan sistem presidensial sungguh tak sejalan.

Minggu-minggu ini kita sangat sibut dengan manuver-manuver politik yang dilakukan oleh para calon presiden RI beserta pertain utama pengusungnya. Kemungkinan koalisi dengan berbagai partai kian terjadi. Elite partai selalu menyatakan koalisi mereka merupakan satu bentuk persamaan pandangan untuk membangun bangsa ini dengan mengedepankan kepentingan rakyat kecil sebagai tujuan utamanya. Elite politik saat ini kerap kali memanipulasi sebuah kenyataan dengan menyatakan koalisi yang terbangun bukan merupakan sebuah bagi-bagi kekuasaan melainkan atas kepentingan bersama dan tanpa syarat yang berlaku.

Sesungguhnya sistem presidensial dengan multipartai ini sangat memungkinkan terjadinya kompromi-kompromi politik untuk membagi-bagikan kekuasaan dengan partai anggota koalisi lainnya. Sistem presidensial tak memungkinkan terjadinya sebuah kenyamanan kepada pemegang kekuasaan tertinggi jika tidak didukung oleh sebagian besar anggota parlemen. Partai politik yang mengusung utama calon presiden jika ia berhasil merebut kursi presiden namun di dalam legislatifnya mereka lemah tidak memiliki dukungan mayoritas akan terjadi sebuah deadlock ketika pemerintah ingin mengajukan sebuah rancangan perundang-undangan.

Selain itu ditakutkan pula terjadinya sebuah pemerintahan yang tidak harmonis yang tak terakomodir dengan baik oleh presiden di segala lembaganya. Terlalu sulit rasanya jika ada presiden tidak mampu menguasai suara mayoritas di parlemen. Karena jika kondisi ini terjadi, partai-partai oposisi dapat menilai dan menuduh kepada presiden bahwa telah melanggar konstitusi yang mampu menyebabkan ketegangan politik di tingkat pusat.

Inilah makanya jika kita hanya melihat kebebasan mengacu dari jumlah partai yang dapat berdiri dan mengikuti pemilihan umum pada suatu negeri maka hal ini akan sangat sulit membantu sebuah pemerintahan yang berjalan lancar dan stabil yang nantinya akan membawa dampak yang positif bagi masyarakat luas. Koalisi yang dibangun hanya kebutuhan politik semata bukan berdasarkan dari persamaan ideologi masing-masing partai dan tidak menjadi koalisi yang mapan.

Koalisi taktis ini tidak lagi memperhitungkan untuk mendekatkan jarak dan seberapa dekat jarak itu dapat menghasilkan koalisi yang efektif. Untuk periode kedepan seharusnya kita dapat menyimpulkan bahwa pemerintahan yang terjadi tidak akan jauh berbeda dengan pemerintahan saat ini yang begitu hiruk pikuk namun nihil hasil. Perlu pembenahan pada pemilu mendatang terkait peserta dan batas ambang untuk dapat lolos ke dalam parlemen.

AHMAD FAUZI
Aktivis The Political Literacy Institute
(hyk)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.9324 seconds (0.1#10.140)