Puzzle terakhir koalisi

Jum'at, 16 Mei 2014 - 15:06 WIB
Puzzle terakhir koalisi
Puzzle terakhir koalisi
A A A
WACANA publik sepekan ini terkonsentrasi pada skema pasti koalisi partai politik. Momentum ini, memang sangat krusial bagi para petarung yang akan berlaga di pemilu presiden, karena mereka harus memastikan posisi sekaligus mengkaji pergerakan kompetitor di injury time. Hampir seluruh pihak bersepakat, sudah tersedia dua poros utama yakni Jokowi dan Prabowo. Akankah pengelompokan kekuatan benar-benar terkonsentrasi pada dua poros ini? Pada posisi pertanyaan itulah analisis prediktif menjadi penting diajukan untuk melihat beberapa kemungkinan dinamika politik yang bisa terjadi.

Game theory
Jokowi sebagai capres PDI Perjuangan bisa bernafas lega. Ambang batas pencapresan (presidential threshold) sudah teratasi. Dukungan resmi PDI Perjuangan (18,95%), Nasdem (6,72%) dan PKB (9,04%) sudah memastikan Jokowi siap menjadi petarung sungguhan (the real candidate). Pun demikian dengan Prabowo. Sepertinya peristiwa 2009 tak akan terulang, dimana saat itu Prabowo kesulitan mendapatkan teman seperjalanan. Kini, beberapa partai sudah merapat. Dengan mengantongi dukungan resmi Gerindra (11,81%), PAN (7,57%), PPP (6,53%), Prabowo sudah bisa berlaga. Akan semakin kokoh jika PKS (6,79%) jadi merapat.

Yang lebih menarik untuk dianalisa di injury time ini justru partai-partai yang belum memastikan sikap. Sebut saja Partai Demokrat (10,19%), Hanura (5,26%), dan tentu saja Golkar (14,75%). Bedanya, Golkar secara demonstratif menunjukkan pergerakan licin berkomunikasi dengan hampir seluruh kekuatan potensial, sementara Demokrat lebih pasif bermain di “panggung depan” meskipun tentu secara diam-diam juga memainkan strategi memosisikan diri. Menarik melihat posisi Golkar dan Demokrat di tengah kompetisi yang berlangsung saat ini dari perspektif Game Theory.

Dalam tulisan Roger B Myerson, Game Theory: Analysis of Conflict (1991), Teori Permainan adalah studi tentang pengambilan keputusan strategis. Teori ini, awalnya dikembangkan oleh Emile Borel pada tahun 1921 dan selanjutnya disempurnakan oleh John Van Neemann dan Oskar Morgenstern. Inti teori ini menekankan dalam situasi bersaing di antara beberapa orang atau kelompok maka kecenderungannya para pemain akan memilih strategi untuk memaksimalkan kemenangannya dan meminimalisasi kemenangan lawan.

Dalam perspektif Game Theory terdapat dua karakteristik strategi. Pertama strategi murni (pure strategy game) yang biasanya menerapkan strategi tunggal yakni mengupayakan capaian maksimum. Dalam konteks koalisi saat ini, PDIP dan Gerindra tentunya menjalankan strategi ini. Pancapresan Jokowi maupun Prabowo sudah harga mati, sehingga seluruh pergerakan komunikasi politik dimaksimalkan untuk mengukuhkan kemenangan kandidat mereka masing-masing.

Kedua strategi campuran (Mixed Strategy Game) intinya pemain akan menggunakan beragam varian strategi untuk memastikan hasil optimal di tengah realitas kesulitan mereka menjalankan strategi utamanya. Strategi inilah yang sepertinya akan dijalankan oleh Golkar dan Demokrat meski dengan pendekatan yang sedikit berbeda. Golkar merupakan partai berpengalaman dan surplus tokoh yang sangat terbiasa bermain di pola acak. Dengan posisinya sebagai pemenang kedua, Golkar tentu tak ingin memosisikan diri sebagai pelengkap penderita.

Sejarah Golkar adalah sejarah kekuasaan, wajar jika orang membaca manuver Golkar sebagai pragmatisme merengkuh kekuasaan dengan siapapun yang berpotensi menang. Sementara Demokrat adalah partai berkuasa saat ini, dan punya kepentingan mengamankan SBY untuk soft landing dan memastikan tak muncul masalah setelah pergantian rezim kekuasaan.

Kepentingan mereka terbentur problem yang sama yakni kesulitan mengusung figur capres mereka di tengah kuatnya sosok Jokowi dan Prabowo yang saat ini menjadi magnet elektoral di poros masing-masing. Dalam konteks inilah mereka memainkan banyak opsi strategi dan tak menutup kemungkinan membaurkannya dalam tenggat waktu berbatas seperti sekarang.

Poros baru?
Salah satu bauran strategi yang masih sangat mungkin dimainkan adalah wacana poros baru atau poros ketiga. Tapi, jika dilihat secara lebih realistis, poros ketiga ini baru mungkin menjadi kekuatan yang bisa memecah konsentrasi dua poros Jokowi dan Prabowo jika memenuhi beberapa syarat. Pertama, Demokrat dan SBY mampu memerankan posisi politik sebagai solidarity maker di antara partai-partai yang belum memiliki kejelasan posisi di dua poros yang sudah ada.

Partai-partai tersebut misalnya Hanura, Partai Golkar juga PKS. Jika pun PKS masuk ke Gerindra, tetapi Golkar tidak jadi merapat ke Jokowi atau Prabowo maka masih sangat mungkin dimunculkannya poros baru ini. Kedua, adanya figur yang bisa memalingkan perhatian publik dan bisa meningkatkan probabilitas perolehan suara. Mereka bisa saja mendorong sosok yang mewakili khalayak kunci dalam konfigurasi politik Indonesia yakni representasi Jawa seperti Sri Sultan Hamengku Buwono X yang dipasangkan dengan sosok fresh dan memiliki rekam jejak memadai dari salah satu peserta konvensi.

Meskipun jika dihitung secara rasional, pasangan poros ketiga ini sulit menggapai kemenangan jika harus berkompetisi dengan dua poros yang ada saat ini. Ketiga, adanya peluang bertemunya benefit masing-masing partai di poros ketiga dalam skema koalisi yang mereka gagas. Kejutan bisa terjadi, jika poros ketiga ini menjalankan strategi shadow candidate. Artinya, mereka membuat deal politik dengan salah satu dari dua poros utama yang sudah ada, untuk membantu memecah konsentrasi suara dan memungkinkan salah satu pihak ‘membeli waktu’ hingga kontestasi berjalan ketat, misalnya berlangsung dua putaran.

Jika ini skenarionya, maka yang paling diuntungkan adalah kubu Prabowo. Namun demikian, jika salah satu dari partai yang berpeluang membentuk poros ketiga ini pada akhirnya bergabung dengan PDI Perjuangan, misalnya dilakukan oleh Golkar, maka yang diuntungkan tentu saja Jokowi. Dalam skema seperti ini, maka kontestasi sebenarnya sudah makin mengerucut dan memosisikan Golkar serta Demokrat sebagi puzzle terakhir bagi dua poros utama tadi. Terlebih jika mereka yang bergabung di poros ketiga ini tidak all out bertarung karena tak mau ambil risiko zero sum game dan lebih memastikan diri sebagai “investor” dalam pembentukan pemerintahan mendatang.

DR. GUN GUN HERYANTO
Direktur Eksekutif The Political Literacy Institute
Dosen Komunikasi Politik UIN Jakarta
(hyk)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 1.1221 seconds (0.1#10.140)