Partai harus hati-hati pilih capres-cawapres
A
A
A
Sindonews.com - Pemilu Presiden (Pilpres) 2014 dinilai sebagai pertarungan antar tokoh yang dicalonkan sebagai capres dan cawapres, bukan lagi pertarungan parpol. Karena itu, partai harus berhati-hati dalam memilih capres-cawapresnya.
Pakar Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Profesor Siti Zuhro mengatakan, perlu dibedakan bahwa pilpres memiliki ciri yang khas yakni, pertarungan antar tokoh yang menjadi capres dan cawapres, bukan pertarungan organisasi partai.
“Partai harus berhati-hati dalam memilih capres dan cawapresnya,” katanya dalam diskusi publik yang bertajuk “Membaca Peta Koalisi Pilpres 2014” di Maarif Institute, Jakarta, Kamis (1/5/2014).
Menurut Siti, yang terpenting adalah tokoh yang dimajukan bukanlah sekadar politik pencitraan. Tapi pemimpin yang mampu menampung dan membereskan keluh-kesah rakyatnya.
Serta, pemimpin yang mampu memutus mata rantai korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) yang kian pudar dari hari ke hari. Selain itu, tidak ada lagi politik dinasti, politik kekerabatan, dan perselingkuhan antara hukum dan politik.
“Calonnya harus visioner, administrator, problem solver, solidarity maker, dan vini vidi vici (datang, bertarung, dan menang),” jelasnya.
Selain itu, lanjut Siti, orang itu harus menjadi teladan bagi rakyatnya. Apapun yang dikomunikasikan ke rakyat, akan dipatuhi oleh rakyat. Serta, tidak membiarkan rakyat menjadi seperti anak yatim piatu yang sendirian menghadapi problematika sosial-ekonomi.
“Mampu menciptakan koalisi paralel antara pemerintahan dengan parlemen,” pungkasnya.
Pakar Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Profesor Siti Zuhro mengatakan, perlu dibedakan bahwa pilpres memiliki ciri yang khas yakni, pertarungan antar tokoh yang menjadi capres dan cawapres, bukan pertarungan organisasi partai.
“Partai harus berhati-hati dalam memilih capres dan cawapresnya,” katanya dalam diskusi publik yang bertajuk “Membaca Peta Koalisi Pilpres 2014” di Maarif Institute, Jakarta, Kamis (1/5/2014).
Menurut Siti, yang terpenting adalah tokoh yang dimajukan bukanlah sekadar politik pencitraan. Tapi pemimpin yang mampu menampung dan membereskan keluh-kesah rakyatnya.
Serta, pemimpin yang mampu memutus mata rantai korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) yang kian pudar dari hari ke hari. Selain itu, tidak ada lagi politik dinasti, politik kekerabatan, dan perselingkuhan antara hukum dan politik.
“Calonnya harus visioner, administrator, problem solver, solidarity maker, dan vini vidi vici (datang, bertarung, dan menang),” jelasnya.
Selain itu, lanjut Siti, orang itu harus menjadi teladan bagi rakyatnya. Apapun yang dikomunikasikan ke rakyat, akan dipatuhi oleh rakyat. Serta, tidak membiarkan rakyat menjadi seperti anak yatim piatu yang sendirian menghadapi problematika sosial-ekonomi.
“Mampu menciptakan koalisi paralel antara pemerintahan dengan parlemen,” pungkasnya.
(kri)