Perjudian ketiga sosok Jokowi
A
A
A
SOSOK yang dekenal dekat dengan rakyat kecil ini tidak henti-hentinya melakukan tindakan yang kontroversial. Kali ini Joko Widodo atau Jokowi benar-benar menyita perhatian banyak kalangan.
Hal ini terkait dengan pernyataan atas kesediaannya untuk menjadi calon presiden (capres) dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Terjawab sudah sikap diam yang selama ini cenderung dia perlihatkan. Perjudian ketiga ini tentu akan memiliki banyak tantangan dari sebelumnya seperti ketika mengikuti Pilgub DKI Jakarta.
Keberhasilan Jokowi membangun Kota Solo seakan menjadi kunci utama dalam perjalanan hidupnya di kancah politik nasional. Sosok yang dikenal merakyat ini tampil ke panggung nasional sejak memimpin Solo. Langkah kontroversi yang pertama dimulai ketika dia mencalonkan diri sebagai gubenur DKI Jakarta pada 2012 lalu.
Tantangan mungkin menjadi batu pelajaran bagi sosok Jokowi. Sebagai pendatang baru di DKI Jakarta dan hanya bermodalkan keberhasilan membangun Kota Solo, banyak kalangan yang tidak memprediksi dia menjadi orang nomor satu di DKI Jakarta. Sosok incumbent (Fauzi Bowo) menjadi pesaing nomor wahid waktu itu. Namun hal ini tidak menggentarkan keinginan Jokowi untuk memperbaiki kota yang mempunyai seribu satu permasalahan.
Tantangan yang dihadapi sosok jokowi tidak hanya sebatas sebagai pendatang baru. Kini tantangan kedua terkait dukungan atau parpol yang mengusungnnya. Fauzi Bowo (Foke) yang mengantongi dukungan lima parpol pada pilgub putaran ke dua (Partai Demokrat, Golkar, PKS, PPP, PAN dan PKB). Lima parpol pendukung Foke-Nara menjadikan rintangan yang lebih serius bagi Jokowi untuk menjadi seorang pemenang. Di sisi lain Jokowi hanya didukung oleh dua parpol (PDIP dan Gerindra).
Minimnya dukungan dari parpol politik dan kemenangan Jokowi dalam Pemilihan Gubernur DKI Jakarta kemudian menunjukkan ketidaksesuaian antara parpol yang mengusung dengan konstituennya di akar rumput. Bagaimana mungkin sosok yang hanya didukung dua parpol melawan lima parpol dapat memenangkan pergelaran tersebut.
Perilaku konstituen ini menunjukkan lemahnya party ID dan pemilih sosiologis yang ada di Ibu Kota Jakarta. Ketidakselaran antara parpol dan keinginan masyarakat akar rumput mungkin menjadi pelajaran tersendiri bagi sebagian partai politik untuk tidak melihat kembali apa yang sebenarnya diinginkan masyarakat akar rumput.
Keberadaan figur yang dekat dengan masyarakat dan track record figur di atas seakan menggantikan parpol dalam strategi kemenangan. Ini menjadi gambaran bagaimana perilaku pemilih di masyarakat akar rumput. Gaya memimpin Jokowi yang mendapat simpati dari masyarakat Solo dan DKI Jakarta saat ini menyebar dengan cepat ke segala penjuru pelosok di negeri ini.
Keberhasilan Jokowi dalam membangun Kota Solo dan kemenangan dalam Pilgub DKI Jakarta menjadi modal utama memenangi Pilpres 2014. Hal ini tentu sudah melawati perhitungan yang matang dan juga melihat kecenderungan perilaku pemilih yang rindu pada pemimpin yang merakyat dan sederhana.
Tantangan pada perjudian ketiga
Jika melihat dari beberapa survei yang memposisikan elektabilitas Jokowi yang terus meningkat dan perilaku pemilih yang cenderung melihat figur dibanding parpol pada Pilgub DKI Jakarta, bukan tidak mungkin sosok yang dikenal dekat dengan masyarakat ini akan memenangkan Pilpres 2014. Hal ini juga dengan catatan, jika lihai mempertahankan tingginya elektabilitas yang dimiliki seorang Jokowi.
Langkah kontroversial yang diambil oleh seorang Jokowi penuh dengan konsekuensi-konsekuensi negatif terhadap citranya. Hal ini misalkan dapat dilihat dari ketidakseriusannya dalam mengemban amanah masyarakat. Pertama ketika menjabat sebagai Wali Kota solo, kemudian mengambil langkah untuk ikut dalam Pemilihan Gubernur DKI Jakarta.
Langkah kontroversial selanjutnya dengan menyatakan kesediaannya menjadi capres dari PDIP pada Pilpres 2014. Keputusan yang diambil dapat menurunkan citra baik yang selama ini melekat pada sosok Jokowi. Tidak menutup kemungkinan masyarakat yang sebelumnya mengidealkan dia sebagai pemimpin akan berubah 100 persen. Hal ini terkait dengan belum tuntasnya amanah yang diembannya sebagai seorang Gubernur DKI Jakarta. Keruwetan dan permasalah kompleks yang ada di Ibu Kota masih "jauh api dari panggang". Sebut saja kemacetan yang menjadi momok bagi warga Ibu Kota. Langganan banjir yang biasa dihadapi warga Ibu Kota juga tidak menunjukkan perubahan yang signifikan.
Belum selesainya tugas dan jabatan sebagai gubernur ini akan berakibat buruk terhadap citra Jokowi saat ini. Sehingga dalam perjudian ketiga Jokowi ini masih menyisakan tantangan yang jauh lebih berat dari sebelumnya. Dengan jangka waktu yang cukup panjang menuju pilpres yang akan digelar pada 9 Juli 2014 mendatang segalanya bisa berubah. Sebab politik tidak hanya siapa yang popular yang dapat memenangkan, akan tetapi juga soal seni.
MOH HALIL
Aktif di diskusi The Political Literacy Institute
Hal ini terkait dengan pernyataan atas kesediaannya untuk menjadi calon presiden (capres) dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Terjawab sudah sikap diam yang selama ini cenderung dia perlihatkan. Perjudian ketiga ini tentu akan memiliki banyak tantangan dari sebelumnya seperti ketika mengikuti Pilgub DKI Jakarta.
Keberhasilan Jokowi membangun Kota Solo seakan menjadi kunci utama dalam perjalanan hidupnya di kancah politik nasional. Sosok yang dikenal merakyat ini tampil ke panggung nasional sejak memimpin Solo. Langkah kontroversi yang pertama dimulai ketika dia mencalonkan diri sebagai gubenur DKI Jakarta pada 2012 lalu.
Tantangan mungkin menjadi batu pelajaran bagi sosok Jokowi. Sebagai pendatang baru di DKI Jakarta dan hanya bermodalkan keberhasilan membangun Kota Solo, banyak kalangan yang tidak memprediksi dia menjadi orang nomor satu di DKI Jakarta. Sosok incumbent (Fauzi Bowo) menjadi pesaing nomor wahid waktu itu. Namun hal ini tidak menggentarkan keinginan Jokowi untuk memperbaiki kota yang mempunyai seribu satu permasalahan.
Tantangan yang dihadapi sosok jokowi tidak hanya sebatas sebagai pendatang baru. Kini tantangan kedua terkait dukungan atau parpol yang mengusungnnya. Fauzi Bowo (Foke) yang mengantongi dukungan lima parpol pada pilgub putaran ke dua (Partai Demokrat, Golkar, PKS, PPP, PAN dan PKB). Lima parpol pendukung Foke-Nara menjadikan rintangan yang lebih serius bagi Jokowi untuk menjadi seorang pemenang. Di sisi lain Jokowi hanya didukung oleh dua parpol (PDIP dan Gerindra).
Minimnya dukungan dari parpol politik dan kemenangan Jokowi dalam Pemilihan Gubernur DKI Jakarta kemudian menunjukkan ketidaksesuaian antara parpol yang mengusung dengan konstituennya di akar rumput. Bagaimana mungkin sosok yang hanya didukung dua parpol melawan lima parpol dapat memenangkan pergelaran tersebut.
Perilaku konstituen ini menunjukkan lemahnya party ID dan pemilih sosiologis yang ada di Ibu Kota Jakarta. Ketidakselaran antara parpol dan keinginan masyarakat akar rumput mungkin menjadi pelajaran tersendiri bagi sebagian partai politik untuk tidak melihat kembali apa yang sebenarnya diinginkan masyarakat akar rumput.
Keberadaan figur yang dekat dengan masyarakat dan track record figur di atas seakan menggantikan parpol dalam strategi kemenangan. Ini menjadi gambaran bagaimana perilaku pemilih di masyarakat akar rumput. Gaya memimpin Jokowi yang mendapat simpati dari masyarakat Solo dan DKI Jakarta saat ini menyebar dengan cepat ke segala penjuru pelosok di negeri ini.
Keberhasilan Jokowi dalam membangun Kota Solo dan kemenangan dalam Pilgub DKI Jakarta menjadi modal utama memenangi Pilpres 2014. Hal ini tentu sudah melawati perhitungan yang matang dan juga melihat kecenderungan perilaku pemilih yang rindu pada pemimpin yang merakyat dan sederhana.
Tantangan pada perjudian ketiga
Jika melihat dari beberapa survei yang memposisikan elektabilitas Jokowi yang terus meningkat dan perilaku pemilih yang cenderung melihat figur dibanding parpol pada Pilgub DKI Jakarta, bukan tidak mungkin sosok yang dikenal dekat dengan masyarakat ini akan memenangkan Pilpres 2014. Hal ini juga dengan catatan, jika lihai mempertahankan tingginya elektabilitas yang dimiliki seorang Jokowi.
Langkah kontroversial yang diambil oleh seorang Jokowi penuh dengan konsekuensi-konsekuensi negatif terhadap citranya. Hal ini misalkan dapat dilihat dari ketidakseriusannya dalam mengemban amanah masyarakat. Pertama ketika menjabat sebagai Wali Kota solo, kemudian mengambil langkah untuk ikut dalam Pemilihan Gubernur DKI Jakarta.
Langkah kontroversial selanjutnya dengan menyatakan kesediaannya menjadi capres dari PDIP pada Pilpres 2014. Keputusan yang diambil dapat menurunkan citra baik yang selama ini melekat pada sosok Jokowi. Tidak menutup kemungkinan masyarakat yang sebelumnya mengidealkan dia sebagai pemimpin akan berubah 100 persen. Hal ini terkait dengan belum tuntasnya amanah yang diembannya sebagai seorang Gubernur DKI Jakarta. Keruwetan dan permasalah kompleks yang ada di Ibu Kota masih "jauh api dari panggang". Sebut saja kemacetan yang menjadi momok bagi warga Ibu Kota. Langganan banjir yang biasa dihadapi warga Ibu Kota juga tidak menunjukkan perubahan yang signifikan.
Belum selesainya tugas dan jabatan sebagai gubernur ini akan berakibat buruk terhadap citra Jokowi saat ini. Sehingga dalam perjudian ketiga Jokowi ini masih menyisakan tantangan yang jauh lebih berat dari sebelumnya. Dengan jangka waktu yang cukup panjang menuju pilpres yang akan digelar pada 9 Juli 2014 mendatang segalanya bisa berubah. Sebab politik tidak hanya siapa yang popular yang dapat memenangkan, akan tetapi juga soal seni.
MOH HALIL
Aktif di diskusi The Political Literacy Institute
(hyk)