Dinamika golongan putih Pemilu 2014
A
A
A
KEKHAWATIRAN negara pada setiap penyelenggaraan pemilu adalah tentang eksisnya kelompok masyarakat yang tidak menggunakan hak suara alias golongan putih (golput).
Ini menjadi wajar, karena kehadiran golput dapat ditafsirkan sebagai kegagalan negara mengkonsolidasikan rakyat-nya terlibat dalam mekanisme bernegara, dalam konteks ini partisipasi berdemokrasi, melalui lembaga pemilu. Fenomena “orang tidak memilih” cenderung naik dari pemilu ke pemilu. Pada Pemilu Legislatif (Pileg) 1999 angka golput hanya berkisar 6,4 persen, tetapi Pileg 2004 meningkat menjadi 15,9 persen dan 2009 mencapai 29,1 persen.
Jumlah golput yang relatif kecil pada Pemilu 1999 karena ketika itu masyarakat masih mengalami euforia reformasi yang berdampak pada peningkatan partisipasi pemilih. Rakyat berharap datangnya pemimpin baru, yang mampu mengubah kehidupan menjadi lebih baik dan demokratis, setelah selama 32 tahun hidup dalam tatanan otoritarian. Tetapi, kenaikan jumlah golput pada Pemilu 2004 dan 2009, meskipun banyak variable penyebabnya, ditengarai karena negara belum sepenuhnya memenuhi janji-janji perubahan dan kesejahteraan.
Perihal golput
Ada perbedaan signifikan antara perilaku golput pada era Orde Baru dan Reformasi. Sebagaimana sering diungkap, ketika Orde Baru, golput yang dilakukan masyarakat tertentu merupakan ekspresi perlawanan terhadap pemerintah, yang dinilai otoriter dan jauh dari suasana demokrasi dalam menyelenggarakan pemerintahan. Karakter golput ini bisa diklasifikasikan sebagai golput politik, sebagaimana yang diteorikan oleh Eep Syaifulloh Fatah, dimana kelompok masyarakat tersebut tidak punya pilihan dari kandidat yang tersedia atau tidak percaya pemilu akan membawa perubahan atau perbaikan. Bahkan dalam suasana psikologi politik tertentu, kelompok golput pada era Orba masuk dalam kategori-masih yang diteorikan Eep sebagai golput ideologis, yakni mereka yang tidak percaya pada mekanisme demokrasi dan tak mau terlibat di dalamnya dengan berbagai alasan yang bersifat ideologis.
Diskripsi golput pada era Orba di atas tentu menjadi perdebatan menarik manakala dipersepsikan sama dengan penyebab golput setelah era Reformasi. Menjadi menarik karena alasan menyalahkan negara karena tidak menjalankan pemerintahan demokratis, sehingga memilih golput-menjadi kurang tepat lagi. Pergesaran sistem politik dari era otoritarian menjadi demokrasi cukup menandakan bahwa bandul kekuasaan tidak lagi pada domain eksekutif tetapi menguat ke lembaga legislatif, sebagai representasi rakyat. Secara politik, pemerintah, sebagai penyelenggara negara hanyalah menjalankan produk konstitusi hasil amandemen dan perundang-undangan yang pembuatannya telah melalui mekanisme demokratis, yang praktiknya berpegang pada prinsip check and ballance dan diawasi oleh civil society dan media massa, yang setiap saat dapat mengoreksi kebijakan pemerintah.
Begitu juga dalam sistem hukum, negara tidak lagi tertutup, tetapi merespon dan mengundang seluas-luasnya aspirasi masyarakat dalam proses pembuatan berbagai perundang-undangan. Jika masih ada yang salah dan bertentangan dengan konstitusi, negara masih membuka pintu perbaikan melalui lembaga judicial review. Dalam konteks materi undang-undang paket politik pun, pada setiap periode pemilu menunjukkan perubahan yang kian terbuka dan demokratis. Gejala ini dapat dimaknai bahwa sistem pemilu pasca reformasi jauh lebih baik dibanding pemilu pada era Orde Baru yang penuh rekayasa masif dan terstruktur. Mencermati realitas ini, maka melahirkan sebuah pertanyaan, apakah golput dengan alasan politis masih relevan pada Pemilu 2014? Sebuah pertanyaan yang tetap saja mengajak orang untuk berdebat.
Realitas dan harapan
Menghadapi Pemilu 2014, pemerintah dan penyelenggara pemilu (KPU dan Bawaslu) tampaknya berusaha maksimal agar seluruh rakyat Indonesia, yang memilki hak pilih untuk menggunakan hak pilihnya secara baik dan benar serta tidak memilih sebagai golput. Beragam sosialisasi dilakukan termasuk mengantisipasi berbagai bentuk kecurangan yang biasa terjadi dalam penyelenggaraan pemilu. Sejalan dengan itu, lembaga survei dan banyak kalangan memprediksi bahwa jumlah golput pada Pemilu 2014 akan meningkat.
Pengamat politik LIPI Siti Zuhro memperkirakan jumlah golput pada Pemilu 2014 sekitar 35,37 persen. Angka yang lebih tinggi dari golput Pemilu 2009. Jika benar terjadi kenaikan jumlah golput, ini mengindikasikan jumlah kelompok orang pesimis terhadap penyelenggaraan negara bertambah. Kenyataan ini tentu memprihatinkan, tetapi juga bisa saja dimaklumi, terutama ketika kita melihat berbagai ketimpangan dan penyalahgunaan kekuasaan di semua lini lembaga negara, baik eksekutif, legislatif maupun yudikatif.
Pada eksekutif kita melihat banyak pejabat kementerian dan kepada daerah tersangkut kasus suap dan korupsi. Begitu juga pada legislatif, sejumlah anggota DPR dan DPRD menjadi tersangka dan terpidana kasus korupsi. Yang tak kalah mencengangkan ketika ketua MK tertangkap tangan oleh KPK karena diduga menerima suap dan dugaan tindak pidana pencucian uang (TPPU). Sederetan peristiwa ini dipertonton dan diberitakan media massa sepanjang hari, sehingga membenak dalam ingatan publik. Respon negatif atas berbagai skandal ini pun muncul dalam media massa dan media sosial. Tidak hanya pada ketiga lembaga tersebut, publik pun tidak puas dengan kinerja partai politik. Partai politik di parlemen dianggap tidak lagi merepresentasikan kepentingan rakyat, ini terlihat ketika mereka bersikap abai atau kompromistis atas kebijakan-kebijakan tertentu yang tidak menunjukkan pembelaan-pembelan kepada rakyat secara konkret.
Sementara terkait persiapan Pemilu 2014, partai politik pun pada umumnya tidak beranjak berbenah diri. Mereka hanya berpikir bagaimana memenangi Pemilu 2014 dan mendapatkan kursi kekuasaan pada periode berikutnya. Proses perekrutan caleg belum mencerminkan proses pendidikan politik yang baik. Masih banyak caleg yang sesungguhnya tidak memiliki kemampuan dan rekam jejak yang jelas, tetapi bisa lolos mengikuti kontes pemilihan anggota legislatif, karena semata-mata misalnya memiliki kedekatan dengan elit parpol, keberlimpahan uang dan juga popularitas.
Begitu juga dalam dinamika pemilihan bakal capres/cawapres, banyak parpol yang hanya lebih memilih figur yang unggul di lembaga survei atau karena yang bersangkutan merupakan ketua umum parpol atau tokoh senior yang dianggap berpengalaman. Padahal publik sering menawarkan gagasan yang segar, baru dan menarik tentang profil capres dan cawapres yang akan datang, tetapi partai politik kerap tidak tertarik.
Apapun, Pemilu 2014 yang sudah di depan mata ini, dengan segala dinamikanya, niscaya merupakan pintu masuk untuk perubahan Indonesia ke depan. Di sisa waktu yang hanya dalam hitungan minggu menjelang 9 April 2014, partai politik bersama para caleg-nya masih memiliki waktu untuk mengenalkan, mendekatkan dan mensosialisasikan diri kepada khalayak, agar kelak publik memahami tentang latar belakang, visi dan misi calon tersebut. Pemilu yang sukses setidaknya ditandai oleh 2 (dua) hal, pertama bagaimana pemilu dapat berjalan dengan prosedur yang benar, jujur, adil, demokratis dan transparan. Ini sangat penting, agar hasil pemilu lebih acceptable dan menghindari gugatan berbagai pihak.
Kedua, keberhasilan pemilu terlihat dari terpilihnya caleg, capres dan cawapres yang berkualitas, berintegritas dan amanah. Meskipun terkesan ideal, inilah cita-cita yang publik inginkan. Untuk itu, daripada memunculkan wacana menghukum golput atau orang yang mengajak golput, yang pasti menimbulkan pro dan kontra, seyogyanya pemerintah, penyelenggara pemilu dan partai politik bersama seluruh komponen masyarakat dapat meyakinkan khalayak bahwa golput, dengan berbagai pertimbangan di atas, bukanlah pilihan tepat dan tentunya tidak memberikan solusi bagi perbaikan bangsa.
SOLEH MOHAMAD
Peneliti Bidang Hukum The Political Literacy Institute
Ini menjadi wajar, karena kehadiran golput dapat ditafsirkan sebagai kegagalan negara mengkonsolidasikan rakyat-nya terlibat dalam mekanisme bernegara, dalam konteks ini partisipasi berdemokrasi, melalui lembaga pemilu. Fenomena “orang tidak memilih” cenderung naik dari pemilu ke pemilu. Pada Pemilu Legislatif (Pileg) 1999 angka golput hanya berkisar 6,4 persen, tetapi Pileg 2004 meningkat menjadi 15,9 persen dan 2009 mencapai 29,1 persen.
Jumlah golput yang relatif kecil pada Pemilu 1999 karena ketika itu masyarakat masih mengalami euforia reformasi yang berdampak pada peningkatan partisipasi pemilih. Rakyat berharap datangnya pemimpin baru, yang mampu mengubah kehidupan menjadi lebih baik dan demokratis, setelah selama 32 tahun hidup dalam tatanan otoritarian. Tetapi, kenaikan jumlah golput pada Pemilu 2004 dan 2009, meskipun banyak variable penyebabnya, ditengarai karena negara belum sepenuhnya memenuhi janji-janji perubahan dan kesejahteraan.
Perihal golput
Ada perbedaan signifikan antara perilaku golput pada era Orde Baru dan Reformasi. Sebagaimana sering diungkap, ketika Orde Baru, golput yang dilakukan masyarakat tertentu merupakan ekspresi perlawanan terhadap pemerintah, yang dinilai otoriter dan jauh dari suasana demokrasi dalam menyelenggarakan pemerintahan. Karakter golput ini bisa diklasifikasikan sebagai golput politik, sebagaimana yang diteorikan oleh Eep Syaifulloh Fatah, dimana kelompok masyarakat tersebut tidak punya pilihan dari kandidat yang tersedia atau tidak percaya pemilu akan membawa perubahan atau perbaikan. Bahkan dalam suasana psikologi politik tertentu, kelompok golput pada era Orba masuk dalam kategori-masih yang diteorikan Eep sebagai golput ideologis, yakni mereka yang tidak percaya pada mekanisme demokrasi dan tak mau terlibat di dalamnya dengan berbagai alasan yang bersifat ideologis.
Diskripsi golput pada era Orba di atas tentu menjadi perdebatan menarik manakala dipersepsikan sama dengan penyebab golput setelah era Reformasi. Menjadi menarik karena alasan menyalahkan negara karena tidak menjalankan pemerintahan demokratis, sehingga memilih golput-menjadi kurang tepat lagi. Pergesaran sistem politik dari era otoritarian menjadi demokrasi cukup menandakan bahwa bandul kekuasaan tidak lagi pada domain eksekutif tetapi menguat ke lembaga legislatif, sebagai representasi rakyat. Secara politik, pemerintah, sebagai penyelenggara negara hanyalah menjalankan produk konstitusi hasil amandemen dan perundang-undangan yang pembuatannya telah melalui mekanisme demokratis, yang praktiknya berpegang pada prinsip check and ballance dan diawasi oleh civil society dan media massa, yang setiap saat dapat mengoreksi kebijakan pemerintah.
Begitu juga dalam sistem hukum, negara tidak lagi tertutup, tetapi merespon dan mengundang seluas-luasnya aspirasi masyarakat dalam proses pembuatan berbagai perundang-undangan. Jika masih ada yang salah dan bertentangan dengan konstitusi, negara masih membuka pintu perbaikan melalui lembaga judicial review. Dalam konteks materi undang-undang paket politik pun, pada setiap periode pemilu menunjukkan perubahan yang kian terbuka dan demokratis. Gejala ini dapat dimaknai bahwa sistem pemilu pasca reformasi jauh lebih baik dibanding pemilu pada era Orde Baru yang penuh rekayasa masif dan terstruktur. Mencermati realitas ini, maka melahirkan sebuah pertanyaan, apakah golput dengan alasan politis masih relevan pada Pemilu 2014? Sebuah pertanyaan yang tetap saja mengajak orang untuk berdebat.
Realitas dan harapan
Menghadapi Pemilu 2014, pemerintah dan penyelenggara pemilu (KPU dan Bawaslu) tampaknya berusaha maksimal agar seluruh rakyat Indonesia, yang memilki hak pilih untuk menggunakan hak pilihnya secara baik dan benar serta tidak memilih sebagai golput. Beragam sosialisasi dilakukan termasuk mengantisipasi berbagai bentuk kecurangan yang biasa terjadi dalam penyelenggaraan pemilu. Sejalan dengan itu, lembaga survei dan banyak kalangan memprediksi bahwa jumlah golput pada Pemilu 2014 akan meningkat.
Pengamat politik LIPI Siti Zuhro memperkirakan jumlah golput pada Pemilu 2014 sekitar 35,37 persen. Angka yang lebih tinggi dari golput Pemilu 2009. Jika benar terjadi kenaikan jumlah golput, ini mengindikasikan jumlah kelompok orang pesimis terhadap penyelenggaraan negara bertambah. Kenyataan ini tentu memprihatinkan, tetapi juga bisa saja dimaklumi, terutama ketika kita melihat berbagai ketimpangan dan penyalahgunaan kekuasaan di semua lini lembaga negara, baik eksekutif, legislatif maupun yudikatif.
Pada eksekutif kita melihat banyak pejabat kementerian dan kepada daerah tersangkut kasus suap dan korupsi. Begitu juga pada legislatif, sejumlah anggota DPR dan DPRD menjadi tersangka dan terpidana kasus korupsi. Yang tak kalah mencengangkan ketika ketua MK tertangkap tangan oleh KPK karena diduga menerima suap dan dugaan tindak pidana pencucian uang (TPPU). Sederetan peristiwa ini dipertonton dan diberitakan media massa sepanjang hari, sehingga membenak dalam ingatan publik. Respon negatif atas berbagai skandal ini pun muncul dalam media massa dan media sosial. Tidak hanya pada ketiga lembaga tersebut, publik pun tidak puas dengan kinerja partai politik. Partai politik di parlemen dianggap tidak lagi merepresentasikan kepentingan rakyat, ini terlihat ketika mereka bersikap abai atau kompromistis atas kebijakan-kebijakan tertentu yang tidak menunjukkan pembelaan-pembelan kepada rakyat secara konkret.
Sementara terkait persiapan Pemilu 2014, partai politik pun pada umumnya tidak beranjak berbenah diri. Mereka hanya berpikir bagaimana memenangi Pemilu 2014 dan mendapatkan kursi kekuasaan pada periode berikutnya. Proses perekrutan caleg belum mencerminkan proses pendidikan politik yang baik. Masih banyak caleg yang sesungguhnya tidak memiliki kemampuan dan rekam jejak yang jelas, tetapi bisa lolos mengikuti kontes pemilihan anggota legislatif, karena semata-mata misalnya memiliki kedekatan dengan elit parpol, keberlimpahan uang dan juga popularitas.
Begitu juga dalam dinamika pemilihan bakal capres/cawapres, banyak parpol yang hanya lebih memilih figur yang unggul di lembaga survei atau karena yang bersangkutan merupakan ketua umum parpol atau tokoh senior yang dianggap berpengalaman. Padahal publik sering menawarkan gagasan yang segar, baru dan menarik tentang profil capres dan cawapres yang akan datang, tetapi partai politik kerap tidak tertarik.
Apapun, Pemilu 2014 yang sudah di depan mata ini, dengan segala dinamikanya, niscaya merupakan pintu masuk untuk perubahan Indonesia ke depan. Di sisa waktu yang hanya dalam hitungan minggu menjelang 9 April 2014, partai politik bersama para caleg-nya masih memiliki waktu untuk mengenalkan, mendekatkan dan mensosialisasikan diri kepada khalayak, agar kelak publik memahami tentang latar belakang, visi dan misi calon tersebut. Pemilu yang sukses setidaknya ditandai oleh 2 (dua) hal, pertama bagaimana pemilu dapat berjalan dengan prosedur yang benar, jujur, adil, demokratis dan transparan. Ini sangat penting, agar hasil pemilu lebih acceptable dan menghindari gugatan berbagai pihak.
Kedua, keberhasilan pemilu terlihat dari terpilihnya caleg, capres dan cawapres yang berkualitas, berintegritas dan amanah. Meskipun terkesan ideal, inilah cita-cita yang publik inginkan. Untuk itu, daripada memunculkan wacana menghukum golput atau orang yang mengajak golput, yang pasti menimbulkan pro dan kontra, seyogyanya pemerintah, penyelenggara pemilu dan partai politik bersama seluruh komponen masyarakat dapat meyakinkan khalayak bahwa golput, dengan berbagai pertimbangan di atas, bukanlah pilihan tepat dan tentunya tidak memberikan solusi bagi perbaikan bangsa.
SOLEH MOHAMAD
Peneliti Bidang Hukum The Political Literacy Institute
(hyk)