Multipartai ekstrem

Senin, 03 Maret 2014 - 07:16 WIB
Multipartai ekstrem
Multipartai ekstrem
A A A
SETELAH reformasi bergulir ada sekitar ratusan partai politik bermunculan. Pada periode pertama pemilihan umum yang dilaksanakan secara jujur dan adil diikuti sebanyak 48 partai politik yang bersaing untuk masuk ke dalam parlemen.

Lalu pada 2004 terdapat 24 partai politik yang mengikuti pemilihan umum dikarenakan diberlakukannya electoral threshold untuk dapat mengikuti sebuah pemilihan umum. Untuk pemilihan umum tahun 2009 jumlah partai politik bertambah kembali. Dan di tahun ini, hanya ada 12 partai politik yang ikut serta pada pemilihan umum nasional.

Begitu banyaknya partai politik yang berlahiran pasca reformasi bukan malah membawa sebuah angin perubahan dalam tatanan kehidupan sosial politik dan ekonomi. Kita tampak begitu terlena, setelah mengalami fase kegelapan selama 32 tahun pada masa Orde Baru. Setelah melakukan reformasi pada 1998, Indonesia kita telah memasuki urutan ketiga negara paling demokratis di seluruh dunia. Namun, hal itu belum mampu membawa angin perubahan yang menyeluruh bagi segenap kehidupan bangsa.

Justru pada era reformasi ini, yang sebaliknya terjadi pada tatanan partai politik begitu menyedihkan. Elite partai politik yang semasa Orde Baru begitu ngotot memperjuangkan demokrasi, justru pada saat ini mereka mengulangi kesalahan masa silam. Mereka yang kini menjadi petinggi partai politik mereproduksi ulang sifat lawan politiknya di masa silam berupa oligarki kekuasaan di kalangan internal partai politik yang mereka pimpin saat ini.

Hal ini membuat kader-kader mereka tidak begitu leluasa untuk melakukan debat argumentasi tentang aspirasi-aspirasi masyarakat yang mereka bawa untuk dijadikan kebijakan politik melalui partai politik mereka. Kader partai politik kini hanya menjadi kepanjangan tangan para elit kekuasaan demi mencapai kepentingan mereka. Begitu banyaknya Parpol yang berdiri pasca reformasi justru menjadi sebuah masalah baru jika di dalam internal partai politik sudah terjadi seperti itu.

Dalam Jurnal Politik Volume 2, No. 2 2006, sebuah jurnal dari Lili Romli “Mencapai Format Sistem Kepartaian Masa Depan”, Huntington menyatakan dalam konteks pembangunan politik yang penting bukanlah jumlah partai yang ada, melainkan sejauhmana kekokohan dan adaptabilitas sistem kepartaian berlangsung. Suatu sistem kepartaian disebut kokoh dan adaptabel, kalau ia mampu menyerap dan menyatukan semua kekuatan sosial baru yang muncul dari modernisasi.

Selain sifatnya yang tak mampu menyerap aspirasi publik, sistem multipartai dengan jumlah parliamentary threshold yang rendah membuta roda pemerintahan tak berjalan semestinya. Sulitnya mencapai kesepakatan antara legislatif dan eksekutif dalam membuat sebuah kebijakan politik pada tatanan pemerintahan disebabkan karena mereka merasa mendapat mandat langsung dari rakyat untuk memperjuangkan aspirasi-aspirasi mereka.

Pada periode ini ada sembilan partai masuk dalam parlemen. Ini membuat Partai Demokrat sebagai pemenang Pemilu mengusung SBY sebagai presiden. Hasilnya, Partai Demokrat membutuhkan beberapa partai lain untuk diajak koalisi guna mempermudah kinerja SBY dalam melakukan negosiasi-negosiasi dengan anggota legislatif. Namun hasilnya malah nihil, begitu gendutnya barisan koalisi yang dijalankan SBY bukan menimbulkan sebuah kenyamanan untuk dirinya dan kabinetnya menjalankan pemerintahan malah menimbulkan konflik-konflik internal di dalam koalisi partai pemerintahan tersebut. Jangankan untuk meredam suara-suara oposisi yang disampaikan oleh partai dan pengamat lain, untuk meredam konflik di dalam koalisinya saja SBY tidak sanggup.

Akhirnya, sistem multipartai ekstrem yang sedang kita jalankan saat ini membuat rakyat semakin kebingungan. Selain melahirkan oligarki kekuasaan di kalangan internal partai saat ini juga pada perjalanan pemerintahan yang tampak terombang-ambing karena begitu banyaknya kepentingan yang dimainkan yang berujung pada aspirasi-aspirasi rakyat yang progresif tidak tersampaikan untuk dijadikan kebijakan politik melalui partai politik.

AHMAD FAUZI
Peneliti Muda The Political Literacy Institute
(hyk)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0930 seconds (0.1#10.140)