Menggugat partai politik

Minggu, 02 Maret 2014 - 13:19 WIB
Menggugat partai politik
Menggugat partai politik
A A A
EKSISTENSI partai politik kian disorot seiring maraknya kader partai yang terseret dalam pusaran korupsi. Muhammad Nazaruddin, Angelina Sondakh, Emir Moeis, Andi Mallarangeng, Lutfi Hasan Ishaq, Ratu Atut Chosiyah, serta Anas Urbaningrum merupakan tokoh partai yang berakhir di penjara. Publik berkeyakinan, apapun partainya seolah korupsi menjadi lumrah. Layaknya sebuah kartel, partai bersekongkol merongrong aset negara secara sistematis.

Banyak tudingan bahwa partai politik menjadi salah satu penyebab utama terpuruknya pilar kehidupan berbangsa dan bernegara akibat perilaku korupsi kadernya. Bahkan korupsi yang terjadi dihampir semua level lembaga pemerintahan, lagi-lagi dilakukan tokoh partai terutama partai penguasa dan peserta koalisi.

Partai politik harus bertanggung jawab karena regenerasi kepemimpinan yang dilakukan tidak baik. Rekrutmen dilakukan asal-asalan, mekanisme kontrol internal lemah, dan nilai-nilai etika berpolitik dilupakan. Sebagai lembaga politik yang melahirkan pemimpin, partai sejatinya memperhatikan aspek kualitas dan integritas. Bukan semata mengedepankan faktor nepotisme, kekuatan kapital dan selebritas.

Apalagi kehadiran partai politik tidak signifikan di tengah kesulitan hidup masyarakat. Partai hadir menjelang pemilu saja. Politik bagi mereka masih sebatas merebut kekuasaan. Ironisnya lagi, partai politik tidak tampil mewakili nilai kultural dan kepentingan masyarakat. Trust publik menurun drastis terhadap efektivitas partai politik sebagai penyambung aspirasi dan kepentingan mereka. Akibatnya terjadi pembusukan politik pada level grass root.

Problem utama
Hampir semua partai politik menghadapi problem sama, yakni tidak berfungsinya partai sebagai sarana komunikasi politik, sosialisasi politik, rekrutmen politik, dan pengatur konflik. Partai politik lebih sering berfungsi sebagai alat kepentingan segelintir semata. Partai politik lebih suka berlakon sebagai alat mobilisasi basis massa untuk kepentingan para elit.

Sejumlah survei menunjukkan, partai politik belum mampu melahirkan elit-elit politik yang memiliki sense of crisis dan political will memadai. Alih-alih menyejahterakan, partai justeru mengeksploitasi masyarakat demi memenuhi hasrat pribadi dan kelompoknya.

Selain itu, problem mencolok partai politik dewasa ini adalah sulitnya mencari pemimpin berintegritas. Terseretnya kader partai dalam kasus korupsi jadi bukti bahwa komitmen partai terhadap pemberantasan korupsi masih lemah. Padahal menurut Maurice Duverger dalam A Cascus and Branch, Cadre Parties and Mass Parties(1990), rekrutmen merupakan salah satu fungsi partai politik guna melahirkan kader berkualitas. Di sini diharapkan partai politik menjadi partai kader yang lebih berorientasi pada kualitas ketimbang kuntitas.

Masalah lainnya ialah soal pendanaan. Di era demokrasi prosedural-transaksional, ongkos politik sangat mahal. Kondisi ini menyuburkan potensi korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) semakin berkembang biak. Apalagi, demokrasi sebagai political system menyediakan perangkat dan infrasturktur yang memungkinkan semua partai berperilaku sama, yaitu menghalalkan banyak cara untuk mendapat keuntungan finasial.

Untuk mengatasi stabilitas keuangan, partai seringkali melakukan praktik kartelisasi politik. Praktik ini dilakukan sebagai upaya menjaga kesinambungan sumber keuanganyang berasal dari pemerintah. Sumber keuangan yang dimaksud didapat melalui perburuan rente di sejumlah posisi strategis di parlemen maupun pemerintahan. Dan, aktivitas rente dimungkinkan jika partai politik punya akses terhadap kekuasaan seperti kementerian khusus dan komisi-komisi “basah” di gedung parlemen.

Penataan ulang
Dalam langgam ilmu politik, parpol didefinisikan sebagai organisasi besar yang turut terlibat dalam proses politik negara. Pada level tertentu, partai politik dikonotasikan dengan golongan (faction) dan kepentingan (interest). Maka tak mengherankan jika perilaku partai politik masih cenderung sektarian dan sarat kepentingan kelompok dalam memenuhi hasrat kekuasaan. Partai politik hanya dijadikan ornamen demokrasi yang tidak substantif.

Oleh karena itu, menata kembali parpol menjadi keniscayaan untuk memperkuat demokrasi. Hemat penulis, ada beberapa hal yang bisa dilakukan. Pertama, partai politik harus menjadi media komunikasi politik masyarakat. Partai merupakan sarana memperlihatkan kepedulian rakyat secara efektif dalam pemerintahan. Partai dianggap telah berfungsi dengan baik jika mampu menerjemahkan suasana batin masyarakat.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa, partai politik merupakan aktor utama dalam menghubungkan warga dan negara untuk menegosiasi kepentingan bersama. Hanya saja, di era demokrasi liberal, peran parpol nihil karena banyak diisi oleh petualang dan pebisnis yang menjadikan partai sebagai ajang mendapatkan keuntungan semata.

Kedua, rekrutmen yang baik. Pippa Norris dalam Electoral Engineering: Voting Rules and Political Behaviour (2004) mengatakan, seleksi calon pemimpin yang baik didasarkan pada pilihan rasional kelembagaan partai politik yang berdasarkan pada kemampuan, loyalitas, integritas dan profesionalitas. Penganut aliran ini berpendapat, pemimpin merupakan aktor politik rasional yang berusaha mendapatkan dukungan maksimal dengan memanfaatkan insentif politik yang mungkin dapat diraih.

Model rekrutmen semacam ini lebih memungkinkan untuk mencegah kader partai politik berperilaku korup dan elitis. Sejauh ini, rekrutmen calon pemimpim partai masih didasarkan pada ikatan primordial, hubungan kekeluargaan, kesamaan ideologi agama, dan kesamaan daerah atau kelompok.

Ketiga, membangun keuangan partai yang sehat. Praktik korupsi selama ini bukan semata untuk kepentingan pribadi melainkan juga sebagai modal “setoran” kepada partai. Biasanya korupsi lazim dilakukan di sejumlah departemen pemerintahan maupun di sejumlah komisi strategis di parlemen.

Maka, untuk mengamputasi hal tersebut, partai perlu memberlakukan kembali iuran rutin anggota. Partai politik juga bisa mendirikan badan usaha independen yang mampu menjadi fund rising partai. Hanya dengan cara inilah partai dapat mencegah kadernya melakukan KKN, sehingga lembaga-lembaga demokrasi lain bisa berfungsi sebagaimana mestinya.

ADI PRAYITNO
Peneliti The Political Literacy Institute
(hyk)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.7913 seconds (0.1#10.140)