Serba-serbi dana saksi
A
A
A
KEHENDAK negara menyisihkan APBN sebesar Rp700 miliar untuk membayar para saksi dari partai politik (parpol) peserta pemilu, agar pemilu 2014 berlangsung sukses, demokratis dan transparan, ternyata menimbulkan perdebatan luas.
Di satu sisi, pemerintah, penyelenggara pemilu (KPU dan Bawaslu) dan Komisi II DPR sepakat bantuan dana para saksi dari parpol sangat diperlukan agar pengawasan di TPS saat pencoblosan hingga penghitungan suara, berlangsung maksimal. Umumnya parpol menyambut baik. Tetapi, di sisi lain, PDI Perjuangan, Partai Gerindra dan Partai Nasdem menolak, karena menyangkut persoalan independensi parpol, mekanisme pengawasan distrisbusi bantuan dan legalitas kebijakan tersebut.
Usulan ini memang patut disimak. Berangkat dari kemampuan keuangan parpol yang berbeda dan pengalaman pemilu 2009 yang tersiar kabar tidak seluruh parpol menempatkan saksinya di seluruh TPS, karena alasan keterbatasan anggaran. Akibat ketiadaan sebagian saksi muncul anasir-anasir pemilu kurang demokratis dan tidak transparan. Maka wacana memberikan bantuan dana saksi patut diapresiasi dan menjadi berkah, terutama bagi parpol yang keuangannya minimalis. Kelak pada pemilu yang akan datang, seluruh saksi dari parpol akan memenuhi TPS yang berjumlah 545.778. Pada titik ini, pemilu transparan akan terlihat, kendatipun masih di lingkup TPS.
Meskipun demikian, bantuan dana saksi ini juga harus disikapi hati-hati. Kekhawatiran parpol di atas yang menolak patut didengar. Bantuan dana saksi ditengarai tidak sejalan dengan semangat negara membangun parpol yang kokoh, berdaulat, mandiri dan bermartabat. Jangan sampai sumbangsih negara seolah menjadi “suap” yang mempengaruhi independensi parpol. Begitu juga mekanisme pengawasan pembagian uang sampai ke tangan saksi. Ini bukan perkara mudah dan rentan terjadi kebocoran.
Pilihan tidak melibatkan parpol dalam mekanisme pembagian uang menjadi sangat tepat untuk menghindari parpol dari jerat korupsi baru. Yang tentu tidak kalah penting adalah aspek legalitas. Upaya pemerintah membuat aturan mengenai dana saksi oleh menjadi sangat urgent mengingat belum ada payung hukum yang spesifik mengatur itu.
Undang-undang Nomor 2 tahun 2011 Pasal 34 hanya menjelaskan bahwa negara secara proporsional memberikan bantuan kepada parpol yang mendapatkan kursi di DPR, DPRD Provinsi dan DPRD kabupaten/kota, yang penghitungannya berdasarkan jumlah perolehan suara. Itupun sesungguhnya ditujukan untuk melaksanakan pendidikan politik bagi anggota parpol dan masyarakat, meskipun pada praktiknya bisa saja berbeda. Payung hukum yang mengamankan kebijakan bantuan dana saksi parpol tentu harus tepat dan kokoh, karena jika lemah dan mengandung multitafsir rentan digugat pengajuan kembali (judicial review).
Jika terealisir, uang yang digelontorkan negara dapat dihitung. Setiap saksi mendapat honor Rp100.000 dikalikan 12 parpol dan dikalikan 545.778 TPS (baik di dalam maupun di luar negeri), sehingga totalnya Rp654.933.600.000,00 atau dibulatkan ke atas menjadi Rp700 miliar. Jika dihitung, setiap parpol mendapat Rp54,5 miliar. Sebuah jumlah yang sangat fantastis di tengah derita masyarakat yang memerlukan bantuan akibat erupsi, banjir dan tanah longsor. Semoga pembagian dana saksi parpol tidak menimbulkan permasalahan baru dan para saksi parpol yang dibayar kelak bekerja untuk pemilu yang demokratis dan transparan.
Soleh Mohamad
Peneliti Bidang Hukum The Political Literacy Institute
Di satu sisi, pemerintah, penyelenggara pemilu (KPU dan Bawaslu) dan Komisi II DPR sepakat bantuan dana para saksi dari parpol sangat diperlukan agar pengawasan di TPS saat pencoblosan hingga penghitungan suara, berlangsung maksimal. Umumnya parpol menyambut baik. Tetapi, di sisi lain, PDI Perjuangan, Partai Gerindra dan Partai Nasdem menolak, karena menyangkut persoalan independensi parpol, mekanisme pengawasan distrisbusi bantuan dan legalitas kebijakan tersebut.
Usulan ini memang patut disimak. Berangkat dari kemampuan keuangan parpol yang berbeda dan pengalaman pemilu 2009 yang tersiar kabar tidak seluruh parpol menempatkan saksinya di seluruh TPS, karena alasan keterbatasan anggaran. Akibat ketiadaan sebagian saksi muncul anasir-anasir pemilu kurang demokratis dan tidak transparan. Maka wacana memberikan bantuan dana saksi patut diapresiasi dan menjadi berkah, terutama bagi parpol yang keuangannya minimalis. Kelak pada pemilu yang akan datang, seluruh saksi dari parpol akan memenuhi TPS yang berjumlah 545.778. Pada titik ini, pemilu transparan akan terlihat, kendatipun masih di lingkup TPS.
Meskipun demikian, bantuan dana saksi ini juga harus disikapi hati-hati. Kekhawatiran parpol di atas yang menolak patut didengar. Bantuan dana saksi ditengarai tidak sejalan dengan semangat negara membangun parpol yang kokoh, berdaulat, mandiri dan bermartabat. Jangan sampai sumbangsih negara seolah menjadi “suap” yang mempengaruhi independensi parpol. Begitu juga mekanisme pengawasan pembagian uang sampai ke tangan saksi. Ini bukan perkara mudah dan rentan terjadi kebocoran.
Pilihan tidak melibatkan parpol dalam mekanisme pembagian uang menjadi sangat tepat untuk menghindari parpol dari jerat korupsi baru. Yang tentu tidak kalah penting adalah aspek legalitas. Upaya pemerintah membuat aturan mengenai dana saksi oleh menjadi sangat urgent mengingat belum ada payung hukum yang spesifik mengatur itu.
Undang-undang Nomor 2 tahun 2011 Pasal 34 hanya menjelaskan bahwa negara secara proporsional memberikan bantuan kepada parpol yang mendapatkan kursi di DPR, DPRD Provinsi dan DPRD kabupaten/kota, yang penghitungannya berdasarkan jumlah perolehan suara. Itupun sesungguhnya ditujukan untuk melaksanakan pendidikan politik bagi anggota parpol dan masyarakat, meskipun pada praktiknya bisa saja berbeda. Payung hukum yang mengamankan kebijakan bantuan dana saksi parpol tentu harus tepat dan kokoh, karena jika lemah dan mengandung multitafsir rentan digugat pengajuan kembali (judicial review).
Jika terealisir, uang yang digelontorkan negara dapat dihitung. Setiap saksi mendapat honor Rp100.000 dikalikan 12 parpol dan dikalikan 545.778 TPS (baik di dalam maupun di luar negeri), sehingga totalnya Rp654.933.600.000,00 atau dibulatkan ke atas menjadi Rp700 miliar. Jika dihitung, setiap parpol mendapat Rp54,5 miliar. Sebuah jumlah yang sangat fantastis di tengah derita masyarakat yang memerlukan bantuan akibat erupsi, banjir dan tanah longsor. Semoga pembagian dana saksi parpol tidak menimbulkan permasalahan baru dan para saksi parpol yang dibayar kelak bekerja untuk pemilu yang demokratis dan transparan.
Soleh Mohamad
Peneliti Bidang Hukum The Political Literacy Institute
(hyk)