Meneladani etika politik dari pendiri bangsa
A
A
A
POLITIK, merupakan seni untuk mengabadikan diri manusia. Dengan mengabadikan diri, manusia akan dikenang sesama warga negara dan dicatat oleh sejarah karena jasa-jasa dan prestasi dalam membangun kehidupan bersama, begitu kata filsuf Hannah Arendt. Jauh sebelum Hannah Arendt, para filsuf klasik Yunani, seperti Aristoteles dan Plato dalam buku Nichomachean Ethics, misalnya, Aristoteles melukiskan politik itu indah dan terhormat.
Dikatakan indah karena politik itu merupakan sarana untuk menciptakan kehidupan masyarakat yang sejahtera dan berkeadilan. Terhormat karena semua cabang ilmu lainnya mengabdi kepada ilmu politik. Namun, dalam praktiknya, politik tidak selalu indah dan terhormat seperti yang dilukiskan para filsuf. Kenyataannya, politik adalah pertarungan kekuatan yang kecenderungannya menggunakan segala cara untuk mencapai tujuan.
Pemandangan tentang praktik politik yang menghalalkan segala cara dapat kita saksikan dalam beberapa episode drama politik di negeri ini. Yang paling up-to-date adalah pemandangan politik menjelang Pemilu 2014, dimana panggung politik kita kian menampilkan praktik politik yang jauh dari etika dan moral.
Etika politik yang semestinya menjadi prinsip kehidupan berbangsa dan bernegara semakin tercampakkan. Yang menonjol justru perilaku saling intrik untuk menjegal lawan politik yang cenderung menghalalkan segala cara. Di negara ini semakin sering kita saksikan perilaku elit politik yang mengabaikan etika dan moral.
Panggung politik kita telah diwarnai pertunjukan yang mempertontonkan adegan politik saling menyandera, saling jegal, mengedepankan emosi, minim rasionalitas dan lebih mementingkan kepentingan individu dan kelompok ketimbang kepentingan bangsa dan negara. Bahkan, tak jarang, elite politik mempertontonkan kekerasan baik di dalam persidangan di gedung parlemen maupun di ruang publik.
Di sisi yang lain, kita telah menyaksikan berbagai penyimpangan yang dilakukan penyelenggara negara, seperti yang kita saksikan saat ini, yaitu tidak sedikit penyelenggara negara yang terjerat kasus korupsi dan skandal lainnya. Selain itu, publik sering disuguhi perdebatan terbuka yang menyimpang dari etika politik, seperti menyerang lawan bicara dengan kata-kata yang bernada rasis, jorok dan anarkis.
Isi perdebatan pun kurang bermutu, miskin gagasan dan kurang menyentuh aspek ideologis. Kualitas perdebatan politik kekinian sungguh jauh berbeda dengan para pendiri bangsa yang sangat ideologis, kaya gagasan dan visi kenegarawanan.
Politik yang mengabaikan etika dan moral sama dengan politik ala Machiavelli yang menghalalkan segala cara demi meraih kekuasaan. Faham Machiavelli ini nampaknya mulai mempengaruhi perilaku sebagian elite politik di negeri ini. Jika dilihat dari percaturan politik sejak Orde Baru hingga kini masih terlihat cara-cara untuk meraih kekuasaan dengan menghalalkan segala cara.
Berbagai bentuk kecurangan dalam pemilu adalah salah satu bentuk yang menggambarkan realitas politik yang mengabaikan etika. Sudah bukan rahasia umum lagi, pemilu di era orde baru sarat dengan rekayasa, intimidasi dan manipulasi. Pun demikian, pelaksanaan pemilu di era reformasi juga masih diwarnai pelbagai bentuk kecurangan. Dan kini, potensi kecurangan masih tetap ada dalam pelaksanaan Pemilu 2014 yang akan datang.
Akhirnya kita harus menengok ke belakang untuk melihat budaya politik yang dibangun oleh para founding fathers bangsa ini. Meskipun terjadi perbedaan pandangan diantara mereka, sebut saja perbedaan pandangan antara Soekarno dengan Mohammad Hatta atau Soekarno dengan Sutan Sjahrir, Hatta dengan Sjahrir, Soekarno dengan M Natsir, Soekarno dengan Tan Malaka dan perdebatan diantara pendiri bangsa yang lain.
Namun perdebatan tersebut sangat ideologis, cerdas, elegan, kental dengan visi ke-Indonesiaan dan lebih dari itu yang patut diteladani adalah sikap kenegarawanan yang dimiliki para pendiri negara ini. Mereka mampu membedakan mana kepentingan politik partai dan mana kepentingan bangsa dan negara.
Sehingga kepentingan politik partai tidak boleh mengalahkan kepentingan bangsa dan negara. Etika politik kenegarawanan sebagaimana dicontohkan para pendiri bangsa ini patut diteladani oleh kita semua, terutama elite politik yang tengah bertarung pada pemilu 2014. Karena bagaimanapun, kata Aristoteles, politik harus berjalan di atas etika.
Karyono Wibowo
Peneliti di Indonesian Public Institute (IPI)
Dikatakan indah karena politik itu merupakan sarana untuk menciptakan kehidupan masyarakat yang sejahtera dan berkeadilan. Terhormat karena semua cabang ilmu lainnya mengabdi kepada ilmu politik. Namun, dalam praktiknya, politik tidak selalu indah dan terhormat seperti yang dilukiskan para filsuf. Kenyataannya, politik adalah pertarungan kekuatan yang kecenderungannya menggunakan segala cara untuk mencapai tujuan.
Pemandangan tentang praktik politik yang menghalalkan segala cara dapat kita saksikan dalam beberapa episode drama politik di negeri ini. Yang paling up-to-date adalah pemandangan politik menjelang Pemilu 2014, dimana panggung politik kita kian menampilkan praktik politik yang jauh dari etika dan moral.
Etika politik yang semestinya menjadi prinsip kehidupan berbangsa dan bernegara semakin tercampakkan. Yang menonjol justru perilaku saling intrik untuk menjegal lawan politik yang cenderung menghalalkan segala cara. Di negara ini semakin sering kita saksikan perilaku elit politik yang mengabaikan etika dan moral.
Panggung politik kita telah diwarnai pertunjukan yang mempertontonkan adegan politik saling menyandera, saling jegal, mengedepankan emosi, minim rasionalitas dan lebih mementingkan kepentingan individu dan kelompok ketimbang kepentingan bangsa dan negara. Bahkan, tak jarang, elite politik mempertontonkan kekerasan baik di dalam persidangan di gedung parlemen maupun di ruang publik.
Di sisi yang lain, kita telah menyaksikan berbagai penyimpangan yang dilakukan penyelenggara negara, seperti yang kita saksikan saat ini, yaitu tidak sedikit penyelenggara negara yang terjerat kasus korupsi dan skandal lainnya. Selain itu, publik sering disuguhi perdebatan terbuka yang menyimpang dari etika politik, seperti menyerang lawan bicara dengan kata-kata yang bernada rasis, jorok dan anarkis.
Isi perdebatan pun kurang bermutu, miskin gagasan dan kurang menyentuh aspek ideologis. Kualitas perdebatan politik kekinian sungguh jauh berbeda dengan para pendiri bangsa yang sangat ideologis, kaya gagasan dan visi kenegarawanan.
Politik yang mengabaikan etika dan moral sama dengan politik ala Machiavelli yang menghalalkan segala cara demi meraih kekuasaan. Faham Machiavelli ini nampaknya mulai mempengaruhi perilaku sebagian elite politik di negeri ini. Jika dilihat dari percaturan politik sejak Orde Baru hingga kini masih terlihat cara-cara untuk meraih kekuasaan dengan menghalalkan segala cara.
Berbagai bentuk kecurangan dalam pemilu adalah salah satu bentuk yang menggambarkan realitas politik yang mengabaikan etika. Sudah bukan rahasia umum lagi, pemilu di era orde baru sarat dengan rekayasa, intimidasi dan manipulasi. Pun demikian, pelaksanaan pemilu di era reformasi juga masih diwarnai pelbagai bentuk kecurangan. Dan kini, potensi kecurangan masih tetap ada dalam pelaksanaan Pemilu 2014 yang akan datang.
Akhirnya kita harus menengok ke belakang untuk melihat budaya politik yang dibangun oleh para founding fathers bangsa ini. Meskipun terjadi perbedaan pandangan diantara mereka, sebut saja perbedaan pandangan antara Soekarno dengan Mohammad Hatta atau Soekarno dengan Sutan Sjahrir, Hatta dengan Sjahrir, Soekarno dengan M Natsir, Soekarno dengan Tan Malaka dan perdebatan diantara pendiri bangsa yang lain.
Namun perdebatan tersebut sangat ideologis, cerdas, elegan, kental dengan visi ke-Indonesiaan dan lebih dari itu yang patut diteladani adalah sikap kenegarawanan yang dimiliki para pendiri negara ini. Mereka mampu membedakan mana kepentingan politik partai dan mana kepentingan bangsa dan negara.
Sehingga kepentingan politik partai tidak boleh mengalahkan kepentingan bangsa dan negara. Etika politik kenegarawanan sebagaimana dicontohkan para pendiri bangsa ini patut diteladani oleh kita semua, terutama elite politik yang tengah bertarung pada pemilu 2014. Karena bagaimanapun, kata Aristoteles, politik harus berjalan di atas etika.
Karyono Wibowo
Peneliti di Indonesian Public Institute (IPI)
(kri)