Antara parpol nasionalis religius dan nasionalis sekular
A
A
A
ISLAM sebagai agama mayoritas tidak luput dari keinginan mengapresiasikan sikap politiknya. Hal tersebut kemudian melahirkan parpol-parpol nasionalis religius, sebut saja Masyumi. Namun pada masa Orba parpol nasionalis religius dikebiri dan digabungkan (fusi) menjadi mesin baru bernama PPP. Bagaimana nasib parpol nasionalis religius pasca reformasi seperti sekarang ini?
Di era reformasi kini ada banyak partai-parta yang muncul baik sekular mupun religius. Kita memasuki babak multipartai. Partai yang mengusung ideologi nasionalis religius masih banyak yang hanya sebatas romantisme ideologi masa lalu. Partai yang bercorak ideologi sudah selesai pada masanya, yakni tahun 1955-1959.
Hal ini dapat dilihat pada prosentase identifikasi kepartaian (party id) atau konsistensi memilih berdasarkan partainya yang menurun. Pada pemilu 1999 party id berada di posisi 80 persen, 2004 turun menjadi 54 persen, dan tahun 2009 20 persen saja.
Fakta tersebut dapat menjawab mengapa Indonesia negara dengan penduduk mayoritasnya muslim, justru partai yang mengusung ideologi Islam tidak pernah menang.
Saat ini tidak ada lagi partai politik yang memiliki ideologi yang kuat. Begitu pun partai nasionalis religius tidak sepenuhnya berideologi agama, hanya sekadar segmentasi saja. Seperti dikatakan oleh Direktur Eksekutif The Political Literacy Institute Gun Gun Heryanto, bahwa ideologi tidak lagi relevan di era pasca reformasi seperti sekarang ini. Ideologi bukan lagi menjadi faktor dominan parpol, ia mencontohkan dalam pilkada-pilkada di Indonesia terjadi koalisi tak berskema.
Koalisi tak berskema adalah tidak konsistennya partai dalam berkoalisi dengan partai lainnya. Contohnya dalam pilkada daerah tertentu parpol PKS berkoalisi dengan Demokrat sedangkan pada pilkada daerah lainnya PKS berkoalisi dengan PPP.
Parpol nasionalis religius saat ini hanya menjalankan semacam pemilahan segmen semata agar memiliki basis pemilih.
Begitu pula dengan parpol nasionalis sekular, tidak ada ideologi yang benar-benar diusung. Uang tetap menjadi peran sentral di dalam pertarungan politik di Indonesia.
Seperti yang dikatakan oleh Adi Prayitno, anggota The Political Literacy Institute, bahwa kita tidak bisa menyetarakan antara parpol religius dan sekular. Kenapa? Karena mereka memiliki modal awal yang berbeda. Partai sekular umumnya memiliki basis modal dari pengusaha, sedangkan partai religius dari iuran anggotanya atau sumbangan tokoh agama, yang tentu tidak sebanding. Ia menegaskan bahwa parpol religius dan sekular memiliki start yang bebeda.
Dunia politik di Indonesia masih oligarkis dan transaksional. Parpol-parpol belum memiliki proses regenerasi yang modern. Selain itu parpol minim fungsi dan kerap mengabaikan konstituennya ketika terpilih.
Di era reformasi kini ada banyak partai-parta yang muncul baik sekular mupun religius. Kita memasuki babak multipartai. Partai yang mengusung ideologi nasionalis religius masih banyak yang hanya sebatas romantisme ideologi masa lalu. Partai yang bercorak ideologi sudah selesai pada masanya, yakni tahun 1955-1959.
Hal ini dapat dilihat pada prosentase identifikasi kepartaian (party id) atau konsistensi memilih berdasarkan partainya yang menurun. Pada pemilu 1999 party id berada di posisi 80 persen, 2004 turun menjadi 54 persen, dan tahun 2009 20 persen saja.
Fakta tersebut dapat menjawab mengapa Indonesia negara dengan penduduk mayoritasnya muslim, justru partai yang mengusung ideologi Islam tidak pernah menang.
Saat ini tidak ada lagi partai politik yang memiliki ideologi yang kuat. Begitu pun partai nasionalis religius tidak sepenuhnya berideologi agama, hanya sekadar segmentasi saja. Seperti dikatakan oleh Direktur Eksekutif The Political Literacy Institute Gun Gun Heryanto, bahwa ideologi tidak lagi relevan di era pasca reformasi seperti sekarang ini. Ideologi bukan lagi menjadi faktor dominan parpol, ia mencontohkan dalam pilkada-pilkada di Indonesia terjadi koalisi tak berskema.
Koalisi tak berskema adalah tidak konsistennya partai dalam berkoalisi dengan partai lainnya. Contohnya dalam pilkada daerah tertentu parpol PKS berkoalisi dengan Demokrat sedangkan pada pilkada daerah lainnya PKS berkoalisi dengan PPP.
Parpol nasionalis religius saat ini hanya menjalankan semacam pemilahan segmen semata agar memiliki basis pemilih.
Begitu pula dengan parpol nasionalis sekular, tidak ada ideologi yang benar-benar diusung. Uang tetap menjadi peran sentral di dalam pertarungan politik di Indonesia.
Seperti yang dikatakan oleh Adi Prayitno, anggota The Political Literacy Institute, bahwa kita tidak bisa menyetarakan antara parpol religius dan sekular. Kenapa? Karena mereka memiliki modal awal yang berbeda. Partai sekular umumnya memiliki basis modal dari pengusaha, sedangkan partai religius dari iuran anggotanya atau sumbangan tokoh agama, yang tentu tidak sebanding. Ia menegaskan bahwa parpol religius dan sekular memiliki start yang bebeda.
Dunia politik di Indonesia masih oligarkis dan transaksional. Parpol-parpol belum memiliki proses regenerasi yang modern. Selain itu parpol minim fungsi dan kerap mengabaikan konstituennya ketika terpilih.
(hyk)