PKPU buka peluang kecurangan pemilu
A
A
A
Sindonews.com - Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 26 tahun 2013 menyoal aturan pemungutan dan penghitungan suara calon anggota DPR, DPD, DPRD tingkat Provinsi, dan DPRD tingkat kabupaten atau kota, masih menuai masalah.
Ada dua masalah dalam aturan tersebut yang dinilai cacat hukum, terkait subjek penyelenggara pemilu dan aturan teknis dokumen penghitungan suara.
"Ada dua hal yang menyebabkan cacat hukum, sehingga PKPU tersebut harus direvisi," kata Koordinator Sinergi Masyarakat untuk Demokrasi (Sigma) Said Salahudin, kepada wartawan di kantor KPU, Jakarta, Kamis (20/2/2014).
Said mengungkapkan, kedua persoalan tersebut antara lain soal klausul mitra Pengawas Pemilu Lapangan (PPL) dan salinan formulir C1 yang bisa di fotokopi.
Dia menjelaskan, terkait rencana mitra PPL oleh Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), dirinya mengaku masih sebatas wacana, dan belum tentu diloloskan pemerintah. Bahkan rencana mitra PPL terancam gagal, lantaran hingga kini belum ada Peraturan Presiden (Perpres) sebagai payung hukum untuk skema pengawasan pemilu.
"Sebab mitra PPL bukan bagian penyelenggara pemilu. Mitra PPL tak disumpah sebagaimana penyelenggara pemilu. Mitra PPL tak bisa diajukan ke DKPP terkait pelanggaran kode etik," ujarnya.
Sementara untuk persoalan formulir C-1, KPU dituding sengaja membuka peluang terjadinya kecurangan dalam pelaksanaan pemilu. Bagaimana tidak, salinan formulir C-1 yang akan diserahkan oleh Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) kepada saksi partai politik (parpol), tidak harus dalam bentuk asli, melainkan bisa difotokopi.
Dia menambahkan, klausul 'fotokopi' tersebut tertera dalam pasal 58 ayat 1 PKPU Nomor 26 tahun 2013. Dalam klausul tersebut dijelaskan jika salinan formulir C1 yang disampaikan kepada masing-masing saksi parpol dan caleg DPD yang hadir, dapat berupa hasil fotokopi atau salinan yang ditulis tangan.
"Jelas dong, padahal formulir C-1 harus diberikan dalam bentuk aslinya, tidak boleh di fotokopi," tambahnya.
Sekadar informasi, formulir C-1 adalah surat yang disediakan KPU untuk mengesahkan hasil pemungutan dan penghitungan suara di Tempat Pemungutan Suara (TPS) yang diserahkan KPPS kepada saksi parpol.
Ada dua masalah dalam aturan tersebut yang dinilai cacat hukum, terkait subjek penyelenggara pemilu dan aturan teknis dokumen penghitungan suara.
"Ada dua hal yang menyebabkan cacat hukum, sehingga PKPU tersebut harus direvisi," kata Koordinator Sinergi Masyarakat untuk Demokrasi (Sigma) Said Salahudin, kepada wartawan di kantor KPU, Jakarta, Kamis (20/2/2014).
Said mengungkapkan, kedua persoalan tersebut antara lain soal klausul mitra Pengawas Pemilu Lapangan (PPL) dan salinan formulir C1 yang bisa di fotokopi.
Dia menjelaskan, terkait rencana mitra PPL oleh Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), dirinya mengaku masih sebatas wacana, dan belum tentu diloloskan pemerintah. Bahkan rencana mitra PPL terancam gagal, lantaran hingga kini belum ada Peraturan Presiden (Perpres) sebagai payung hukum untuk skema pengawasan pemilu.
"Sebab mitra PPL bukan bagian penyelenggara pemilu. Mitra PPL tak disumpah sebagaimana penyelenggara pemilu. Mitra PPL tak bisa diajukan ke DKPP terkait pelanggaran kode etik," ujarnya.
Sementara untuk persoalan formulir C-1, KPU dituding sengaja membuka peluang terjadinya kecurangan dalam pelaksanaan pemilu. Bagaimana tidak, salinan formulir C-1 yang akan diserahkan oleh Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) kepada saksi partai politik (parpol), tidak harus dalam bentuk asli, melainkan bisa difotokopi.
Dia menambahkan, klausul 'fotokopi' tersebut tertera dalam pasal 58 ayat 1 PKPU Nomor 26 tahun 2013. Dalam klausul tersebut dijelaskan jika salinan formulir C1 yang disampaikan kepada masing-masing saksi parpol dan caleg DPD yang hadir, dapat berupa hasil fotokopi atau salinan yang ditulis tangan.
"Jelas dong, padahal formulir C-1 harus diberikan dalam bentuk aslinya, tidak boleh di fotokopi," tambahnya.
Sekadar informasi, formulir C-1 adalah surat yang disediakan KPU untuk mengesahkan hasil pemungutan dan penghitungan suara di Tempat Pemungutan Suara (TPS) yang diserahkan KPPS kepada saksi parpol.
(maf)