Perludem: Pileg 2014 bikin pemilih mabuk
A
A
A
Sindonews.com - Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) menyatakan setuju dengan sistem pemilu serentak pada tahun 2019 sekalipun masih harus mengatur atau menyertakan posisi pemilukada.
Menurut Ketua Perludem Didik Supriyanto, lewat sebagian pasal yang dikabulkan dalam Undang-undang Nomor 42 tahun 2008 tentang Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden secara serentak mampu mengurangi beban biaya dan efesiensi waktu.
Sedangkan pada pemilu terpisah, seperti yang terjadi sekarang ini, pemilih cenderung 'mabuk' karena harus memilih nama-nama calon legislatif yang jumlahnya ratusan ribu.
"Pemilu Legislatif kita itu membuat pemilih kita mabuk karena konsekuensinya calon harus berhadapan dengan pemilih 80 ribu suara," kata Didik, saat diskusi 'Menata Ulang Jadwal Pilkada: Menuju Pemilu Serentak Nasional dan Pemilu Serentak Daerah' di Bakoel Coffe, Cikini, Jakarta, Minggu (26/1/2014).
Didik mengatakan, dengan sistem yang dibangun dalam pemilu sekarang, maka pemilih harus dihadapkan pada ribuan caleg yang tidak semuanya dikenali.
Belum lagi, kata Didik, sesudah Pemilu Legislatif, masyarakat harus kembali dihadapkan pada Pemilu Presiden dengan aturan ambang batas Presiden Threshold yang masyarakat sama sekali tidak mengetahui hal itu.
"Artinya untuk memilih dari partai saja sampai ada yang 10 (caleg). Nah, Pileg itu sudah mabuk, maka ditambah Pilpres maka tambah mabuk," ujarnya.
Dengan kata lain, Perludem menganggap sistem pemilu yang dilakukan lebih dari satu kali membuat banyak efek negatif bagi hak kontitusi warga. Maka menurutnya, pemilu serentak merupakan jawaban alternatif mengatasi 'kegoncangan' pemilu yang membingungkan masyarakat.
Baca berita:
Putusan MK soal pemilu serentak dianggap terlambat
Menurut Ketua Perludem Didik Supriyanto, lewat sebagian pasal yang dikabulkan dalam Undang-undang Nomor 42 tahun 2008 tentang Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden secara serentak mampu mengurangi beban biaya dan efesiensi waktu.
Sedangkan pada pemilu terpisah, seperti yang terjadi sekarang ini, pemilih cenderung 'mabuk' karena harus memilih nama-nama calon legislatif yang jumlahnya ratusan ribu.
"Pemilu Legislatif kita itu membuat pemilih kita mabuk karena konsekuensinya calon harus berhadapan dengan pemilih 80 ribu suara," kata Didik, saat diskusi 'Menata Ulang Jadwal Pilkada: Menuju Pemilu Serentak Nasional dan Pemilu Serentak Daerah' di Bakoel Coffe, Cikini, Jakarta, Minggu (26/1/2014).
Didik mengatakan, dengan sistem yang dibangun dalam pemilu sekarang, maka pemilih harus dihadapkan pada ribuan caleg yang tidak semuanya dikenali.
Belum lagi, kata Didik, sesudah Pemilu Legislatif, masyarakat harus kembali dihadapkan pada Pemilu Presiden dengan aturan ambang batas Presiden Threshold yang masyarakat sama sekali tidak mengetahui hal itu.
"Artinya untuk memilih dari partai saja sampai ada yang 10 (caleg). Nah, Pileg itu sudah mabuk, maka ditambah Pilpres maka tambah mabuk," ujarnya.
Dengan kata lain, Perludem menganggap sistem pemilu yang dilakukan lebih dari satu kali membuat banyak efek negatif bagi hak kontitusi warga. Maka menurutnya, pemilu serentak merupakan jawaban alternatif mengatasi 'kegoncangan' pemilu yang membingungkan masyarakat.
Baca berita:
Putusan MK soal pemilu serentak dianggap terlambat
(kri)