SKK Migas..., sapi perah itu

Sabtu, 18 Januari 2014 - 13:06 WIB
SKK Migas..., sapi perah...
SKK Migas..., sapi perah itu
A A A
BERSALIN nama dari Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas) ke Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) sejak dua tahun lalu, tak membuat romansa dan sejumput harapan berbagai kepentingan lepas dari lembaga itu.

Mulai dari pihak swasta, eksekutif, hingga legislatif di negeri ini memperebutkan 'emas hitam' yang konon menentukan perputaran keuangan negara ini bahkan dunia internasional.

Lembaran-lembaran naskah pemeriksaan saksi, surat dakwaan, dan dokumen yang disita Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait kasus dugaan suap yang melibatkan mantan Kepala SKK Migas Rudi Rubiandini, Deviardi alias Ardi (pelatih golf), dan Komisaris Kernel Oil Private Limited (KOPL) Indonesia mulai menguak satu demi satu kepentingan yang tarik menarik di industri hulu migas ini.

Seolah ingin mengukuhkan kemapanan bukan mendobrak keadaan, 'tradisi' pemilihan langsung atau lelang terbatas kondesat dan minyak mentah di SKK dilakukan terbatas yang hanya diikuti oleh 33 bidder list (penawar yang terdaftar) di SKK Migas tanpa pengumuman lelang kepada publik masih terus berjalan hingga saat ini. Surat undangan lelang kepada perusahaan trader (penjual) pun disampaikan lewat faks. Di antara 33 bidder list itu bahkan saling sikut untuk memperoleh informasi pelaksanaan lelang.

Mulai dari memainkan mesin faks seperti yang dilakukan Simon supaya penawaran perusahaan lain tidak masuk ke panitia lelang, mengirim email penawaran ke email pribadi pejabat SKK Migas seperti yang diterima Poppy Ahmad Nafis, lobi setengah kamar di padang golf SCBD, Jakarta dan Bogor, hingga makan malam di Singapura.

Pantas saja anggota majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), Jakarta, Mathius Samiadji yang menangani sidang Simon menyebut proses tender di SKK Migas sejak masih bernama BP Migas, yang tertutup dan tidak diumumkan ke publik sangat rentan terjadi penyelewengan dan korupsi. Menurutnya, sistem lelang yang sudah terbuka masih terbuka peluang kongkalikong. "Yang tendernya diumumkan lewat koran saja itu bisa terjadi potensi korupsi. Apalagi ini lelangnya tertutup, tidak ada keterbukaan di SKK Migas," kata dia di Pengadilan Tipikor, Jakarta, akhir tahun lalu.

Imbalan atas keringat yang sudah terkuras itu tentu saja pundi-pundi semakin menumpuk. Tengok saja, Rudi Rubiandi didakwa bersama-sama Ardi menerima suap hampir mencapai Rp30 miliar dan melakukan Tindak Pidana Pencucian Uang Rp23,8 miliar. Fulus yang tidak sedikit.

Uang suap tersebut terurai menjadi tiga bagian. Pertama, 200.000 dolar Singapura dan USD900.000 diterima Rudi melalui Ardi dari Direktur Kernel Oil Private Limited (KOPL) Singapura Widodo Ratanachaitong dan PT KOPL Indonesia melalui Simon Gunawan Tanjaya. Kedua, USD522.500 dari Presiden Direktur PT Parna Raya Group/PT Kaltim Parna Industri (KPI) Artha Meris Simbolon.

Ketiga, 600.000 dolar Singapura dari mantan Wakil Kepala SKK Migas Johanes Widjonarko, dan USD350.000 dari mantan Deputi Pengendalian Bisnis SKK Migas Gerhard Rumesser, dan USD50.000 dari mantan Kepala Divisi Penunjang Operasi SKK Migas Iwan Ratman.

Khusus uang dari Gerhard diserahkan dalam dua kali pertemuan. Pertama pada Februari 2013 Rudi meminta Ardi temui Gerhard dan mengambil uang USD200.000. Kedua, pada Juni 2013 Rudi menerima langsung di ruang kerja Kepala SKK Migas secara bertahap uang yang berjumlah total USD150.000. Selanjutnya USD150.000 dari Gerhard itu oleh Rudi diberikan kepada Waryono Karyo selaku Sekretaris Jenderal Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (Sekjen ESDM).

Rudi meradang atas tuduhan jaksa. Tangisannya pecah karena didakwa menerima suap serta melakukan pencucian uang. Dia membantah menerima suap. Tapi membenarkan menerima gratifikasi. Itu pun setelah dia menahan diri selama lima bulan dari Januari hingga Mei 2013. Gratifikasi itu sebelumnya sudah tolak berulang-ulang. Namun ketika ada kebutuhan logistik dengan meminta sesuatu sementara yang menawarkan diri untuk memberikan gratifikasi begitu banyak akhirnya dia menerimanya.

"Ada desakan-desakan dari sejumlah pihak. Demi kebaikan institusi saya pindahkan uang gratifikasi pada yang membutuhkan tadi. Tapi tidak satu rupiah pun saya terima saya gunakan untuk keluarga," ujar Rudi, di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Selasa 7 Januari lalu.

Pernyataan Rudi soal 'desakan' itu sebelumnya pernah diutarakan oleh kuasa hukumnya, Rusdi A Bakar dengan dua makna. Pertama dorongan saat pertama Rudi menjadi Kepala SKK Migas dari pejabat internal SKK Migas bahwa ada tradisi pemberian 'upeti' ke DPR yang sudah berlangsung sejak era BP Migas. Kedua, sindiran dari oknum anggota DPR dalam rapat-rapat dan pertemuan di luar rapat. Yang pada akhirnya mengucur USD200.000 kepada Ketua Komisi VII DPR Sutan Bhatoegana melalui koleganya, Tri Yulianto.

Uang itu adalah sebagian dari USD300.000 yang diberikan Widodo kepada Rudi. Kesaksian itu juga ada dalam dokumen Berita Acara Pemeriksaan (BAP) Rudi. "Ya yang seadanya akan dibuka. Nanti dilihat disidang lah. Karena enggak mungkin ditutupi kan. Kan (ada) tapping (sadapan) telepon, gimana mau nutupi," tegas Rusdi.

Sidang Simon pun mengungkap fakta lain. Empat partai besar dengan kata sandi partai 'merah', 'kuning', 'biru', dan 'hijau' turut bermain dalam bisnis ini di SKK Migas. Ardi yang hadir sebagai saksi dalam sidang Simon pada Kamis 28 November 2013, membenarkan pemenang tender di SKK Migas sudah direncanakan bakal digilir seperti arisan oleh salah satu pejabat SKK Migas dengan perusahaan yang dibawa oleh politisi empat partai itu.

Pernyataan Ardi seolah membenarkan kesaksiannya dalam naskah pemeriksaan di KPK. "Benar ada pembicaraan itu. Pak Widodo (Widodo Ratanachaitong) yang menelpon saya dan menyampaikan seperti itu. Pak Widodo sampaikan juga punya jaringan ke DPR, Istana, Dipo, dan Ibas," ucap Ardi saat bersaksi di depan majelis hakim.

Edhie Baskoro Yudhoyono (Ibas) dan Dipo Alam sudah membantah kesaksian Ardi. Keduanya mengaku tidak mengenal, bertemu, apalagi punya urusan dengan Widodo.

Di tengah kondisi cuaca DKI Jakarta yang tak menentu, pada Kamis 16 Januari 2014 petugas di Kavling C1, Kuningan, Jakarta Selatan sedang menggeliat. Secara resmi KPK mengumumkan Waryono Karyo ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan gratifikasi dan atau suap terkait kegiatan-kegiatan di lingkungan Kementerian ESDM. Kasus ini merupakan pengembangan kasus dugaan suap di lingkungan SKK Migas. Tetapi kasus Waryono lepas dan berdiri sendiri dari kasus Rudi dan kawan-kawan (dkk). Surat perintah penyidikan (sprindik)-nya dikeluarkan tertanggal 9 Januari 2014.

Sejak pukul 09.30 WIB hari itu hingga Jumat 17 Januari pagi para anak muda yang mengenakan rompi KPK dengan semangat pemberantasan korupsi yang bergelora menggeledah beberapa tempat untuk mencari jejak-jejak tersangka Waryono. Di antaranya, ruang kerja di DPR dan rumah milik Sutan Bhatoegana, Tri Yulianto, Wakil Ketua Komisi VII DPR Fraksi Partai Golkar Zainudin Amali, ruang kerja Fraksi Partai Demokrat DPR, ruang kerja Fraksi Golkar DPR, ruang kerja Sekretariat Komisi VII DPR, rumah Irianto Muhyi (staf ahli Sutan Bhatoegana), serta ruang server data Gedung DPR. "Penggeledah ini untuk pengembangan penyidikan kasus tersangka WK (Waryono Karyo)," ujar Juru Bicara KPK Johan Budi SP.

Ditemani rintik-rintik hujan yang masih mengguyur, di sudut lain Ibu Kota seorang petugas KPK itu masih terus berbincang dengan KORAN SINDO. Kabar yang diberikan cukup mencengangkan. Dia menceritakan, penggeledahan di tempat-tempat tersebut tidak sekedar karena urusan mengungkap USD200.000 seperti di dakwaan Rudi dan Ardi saja.

"Bahwa geledah yang begitu tampak 'lebar' di tempat-tempat itu ada 'sesuatu' lain yang dicari dan ingin diungkap selain hanya soal USD200.000," ungkap seorang petugas KPK, Jumat 17 Januari dini hari.

Dia membenarkan, Komisi VII DPR memiliki tugas berkaitan dengan proses lifting minyak untuk dituangkan di APBN/P. Begitu juga soal Kontrak Kerja Sama yang sudah ditandatangani oleh pemerintah dan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (K3S) atau perusahaan minyak harus diberitahukan secara tertulis kepada DPR RI (Komisi VII). Tetapi sumber itu menegaskan, dua hal itu harus tetap dikaitkan dengan SKK Migas dan ESDM. Apalagi saat ini ada 53 K3S yang terdaftar di SKK Migas dan sering mengikuti rapat shipping coordination (shipcord) dengan SKK Migas dan PT Pertamina Persero. Urusannya kemudian tentu soal uang.

"Sumber dana petinggi ESDM itu lebih banyak dari SKK Migas. Termasuk ketika mereka berdiskusi dalam tanda petik dengan DPR bisa bermodal dari SKK Migas," bebernya.

Dia kembali mengingatkan tentang tradisi THR seperti USD200.000 yang disebut-sebut selama ini. Diskusi biasa saja tentu harus dibebankan biayanya kepada SKK Migas. Apalagi sudah masuk ke dalam rapat kerja (raker) ataupun rapat dengar pendapat (RDP). Karenanya penggeledahan disejumlah tempat pada Kamis hingga Jumat dini hari itu sebagai upaya membongkar mafia yang menjadikan SKK Migas sebagai sapi perah. "Jadi "sapi perah" itu bernama SKK Migas. Bahkan sudah jadi sapi perah sejak masih bernama BP Migas. Itu salah satu yang ingin diungkap dan dibuktikan," tandasnya.

Sutan Bhatoegana dan Tri Yulianto dalam beberapa kali kesempatan sudah membantah tidak pernah meminta dan menerima THR dari Rudi. Apalagi menitipkan perusahaan trader atau perusahaan minyak untuk dimenangkan dalam tender di SKK Migas.

"Tidak pernah ada itu permintaan THR. Ya silakan saja (kalau ada sadapan) diproses sesuai dengan hukum yang berlaku. Tidak benar saya titip perusahaan untuk dimenangkan," tandas Sutan kepada KORAN SINDO.

Pemberian uang ke pejabat ESDM bukan hanya USD150.000 dari Rudi (SKK Migas) ke Waryono saja. Dalam dokumen hasil penggeledahan di kantor SKK Migas pada Kamis 15 Agustus 2013, penyidik KPK menyita uang tunai USD2.000 dari ruangan Sekretaris Deputi Pengendalian Komersil. Uang itu terletak dalam amplop yang dipojok kanan terdapat tulisan tangan "DIRHULU MIGAS". Belum lagi uang USD42.000 yang dibawa Rudi ke raker Banggar DPR di Bogor pada 10-11 Juni 2013 seperti tertuang dalam BAP Ardi.

Johan Budi SP mengatakan, penggeledahan dari Kamis 16 Januari hingga Jumat 17 Januari dini hari di sembilan tempat tersebut tentu punya maksud dan tujuan untuk menemukan jejak-jejak tersangka Waryono. Tetapi dia tidak mengetahui materi apa yang ingin dikembangkan penyidik. Yang jelas dari tempat-temat yang digeledah itu ada dokumen yang disita baik hardcopy ataupun elektronik. Dokumen itu akan ditelaah dan divalidasi. Dikonfirmasi apakah penggeledahan itu soal uang USD200.000 yang diberikan Rudi ke Komisi VIII DPR atau lebih dari itu, Johan mengaku belum mengetahuinya.

"Saya tidak pernah mengatakan soal uang. Saya tidak tahu materinya seperti apa karena saya tidak diffiding oleh penyidik. Yang pasti kasus ini dan kasus SKK Migas tidak akan berhenti. Masih kita kembangkan dan kita dalami. Pengembangannya ke dua hal, pemberi dan penerima lain," ujar Johan saat dikonfirmasi KORAN SINDO.

Banyak negara kaya sumber daya alam, seperti minyak dan gas, acap kali mengeksploitasi dan mengeruk kekayaan tersebut hanya untuk memperkaya dsegelintir orang. Emas hitam yang mengepul menjadi kotoran setan ini pada ghalibnya membuat korupsi tumbuh subur dan salah kelola, yang mengakibatkan mayoritas penduduknya miskin. Serta, seringkali mengalami kelangkaan bahan bakar dan energi.
(hyk)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.7227 seconds (0.1#10.140)