Hambalang tak berarah di KPK
A
A
A
KASUS dugaan korupsi proyek pembangunan Sport Center Hambalang, Bogor, Jawa Barat, tengah ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dengan dugaan adanya kerugian negara dari proyek senilai Rp2,5 triliun itu.
Sejumlah tersangka telah ditetapkan di antaranya mantan Menteri Pemuda dan Olahraga yang juga mantan Sekretaris Dewan Pembina Partai Demokrat Andi Alfian Mallarangeng, dan mantan Ketua Umum Demokrat Anas Urbaingrum.
Kasus yang melibatkan dua elite Demokrat ini terkesan berjalan sangat lamban di lembaga pimpinan Abraham Samad Cs itu. Pertanyaan pun muncul apakah karena kasus ini akan memengaruhi citra Demokrat jelang Pemilu 2014?
Atau sebaliknya, KPK tak menemukan cukup bukti untuk menjerat Anas sehingga proses hukum tak juga ditindaklanjuti. Dugaan lain juga muncul, KPK tengah dikendalikan penguasa dalam menangani perkara korupsi, utamanya penanganan kasus Hambalang yang terus menyeret orang-orang dalam lingkaran Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan elite politik partai yang dibina SBY.
Sebut saja Menteri Sekretaris Negara Sudi Silalahi yang disinyalir sebagai Bunda Putri dan pria berinisial SS, Edhie Baskoro Yudhoyono yang notabene anak bungsu SBY, Dipo Alam yang juga kerap disebut namanya, Andi Mallarangeng yang telah ditahan oleh KPK, dan Anas Urbaningrum yang telah berstatus sebagai tersangka.
Jika kasus Hambalang terlalu sarat dengan kepentingan politik penguasa, maka sebaiknya KPK melepaskan penyidikan kasus ini dan menyerahkannya kepada Polri atau Kejaksaan Agung agar proses hukum dapat berjalan dengan progres yang nyata.
Alasan KPK belum menahan Anas pun berbeda-beda, mulai dari rumah tahanan KPK penuh sampai menunggu setelah Hari Raya Idul Fitri 2013 lalu, namun Anas masih saja menghirup udara bebas, sementara Andi Mallarangeng terpenjara di balik terali besi.
"Saya belum tahu, saya belum bisa pastikan, tapi kita berusaha (menahan). Problemnya, tahanan di KPK itu sedang full, kita sedang tempatkan di luar," kata Abraham di Istora Senayan, Jakarta Selatan, Rabu 11 Desember 2013.
Ironisnya KPK dalam bulan Desember ini malah melakukan penahanan terhadap Ratu Atut Chosiyah, dan Kepala Kejaksaan Negeri Praya, Nusa Tenggara Barat, berinisial SUB. Sementara hal demikian tak dilakukan terhadap Anas.
KPK sebagai lembaga penegak hukum independen tak mengenal Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3), sehingga tiap kasus yang sudah naik ke tingkat penyidikan KPK harus tuntas sampai ke pengadilan.
Dengan begini KPK tak harus memaksakan diri menangani kasus Hambalang sampai tuntas. KPK dapat melimpahkan penyidikan kasus tersebut kepada Polri atau Kejaksaan Agung. "Kalau di-SP3 oleh Polri atau Kejaksaan enggak masalah buat menghindari malu, jadi KPK tetap bersih namanya," ujar pengamat hukum dari Universita Padjajaran, Indra Prawira, kepada Sindonews.
KPK sebagai lembaga independen seharusnya dapat menangani kasus dugaan korupsi secara profesional dan akuntabel. Tanpa tebang pilih dengan menindak cepat Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah yang juga elite politik Partai Golkar, namun bertindak lamban menangani dugaan korupsi proyek Hambalang.
Perkara hukum adalah kasus yang menyangkut hak dan kemerdekaan seorang individu atas ancaman hukuman pidana yang akan dihadapinya. Maka KPK seharusnya bertindak profesional dengan memerhatikan hak dan kemerdekaan seseorang.
"Kalau bisa segera dilepas ke pengadilan, KPK tidak bisa menghentikan kasus. Kalau menahan-nahan, KPK menganiaya orang. Akhirnya politik bermain," ujar Indra.
Loyalis Anas yang juga kader Demokrat, Gede Pasek Suardika, menilai kasus Hambalang tak jelas di tangan KPK. KPK menurutnya tak pernah memberikan alasan yang jelas sebagai penegak hukum soal tindak lanjut kasus Anas.
"Hanya untuk kasus gratifikasi sudah sampai ratusan orang diperiksa, dan hasil pemeriksaan pun belum juga jelas," kata Pasek.
Meski telah menyita mobil Toyota Harrier sebagai barang bukti kejahatan Anas dalam dugaan penerimaan gratifikasi proyek Hambalang, dan memeriksa banyak saksi untuk menjeratnya. Namun KPK tak menunjukkan progres atas penyidikannya itu.
Akibatnya Anas dan Andi Mallarangeng sampai saat ini nasibnya digantungkan oleh KPK. "Sebaiknya kasusnya dihentikan. Jangan dipaksakan. Kasus yang awalnya gratifikasi mobil Harrier itu, makin tidak jelas kasus pidananya apa lagi," ujar Pasek.
Unsur politis yang diperankan KPK dalam memberantas korupsi juga diakui Pasek dengan lambatnya penanganan kasus Hambalang, dibandingkan dengan progres cepat penanganan kasus dugaan korupsi yang menjerat Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah dan dinasti keluarganya.
"Sebab KPK itu penegak hukum pengusung keadilan. Bukan seperti Kamtib era Orde Baru, yang digunakan untuk mematikan karir politik seseorang," tukas Pasek.
Agar kasus Hambalang tidak lagi menggantung dan dugaan diselimuti unsur politis, KPK harus memiliki menunjukkan progress penanganan kasus Hambalang pada tahun mendatang. Apalagi KPK tidak mengenal penghentian perkara, layaknya lembaga penegak hukum lain.
Sejumlah tersangka telah ditetapkan di antaranya mantan Menteri Pemuda dan Olahraga yang juga mantan Sekretaris Dewan Pembina Partai Demokrat Andi Alfian Mallarangeng, dan mantan Ketua Umum Demokrat Anas Urbaingrum.
Kasus yang melibatkan dua elite Demokrat ini terkesan berjalan sangat lamban di lembaga pimpinan Abraham Samad Cs itu. Pertanyaan pun muncul apakah karena kasus ini akan memengaruhi citra Demokrat jelang Pemilu 2014?
Atau sebaliknya, KPK tak menemukan cukup bukti untuk menjerat Anas sehingga proses hukum tak juga ditindaklanjuti. Dugaan lain juga muncul, KPK tengah dikendalikan penguasa dalam menangani perkara korupsi, utamanya penanganan kasus Hambalang yang terus menyeret orang-orang dalam lingkaran Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan elite politik partai yang dibina SBY.
Sebut saja Menteri Sekretaris Negara Sudi Silalahi yang disinyalir sebagai Bunda Putri dan pria berinisial SS, Edhie Baskoro Yudhoyono yang notabene anak bungsu SBY, Dipo Alam yang juga kerap disebut namanya, Andi Mallarangeng yang telah ditahan oleh KPK, dan Anas Urbaningrum yang telah berstatus sebagai tersangka.
Jika kasus Hambalang terlalu sarat dengan kepentingan politik penguasa, maka sebaiknya KPK melepaskan penyidikan kasus ini dan menyerahkannya kepada Polri atau Kejaksaan Agung agar proses hukum dapat berjalan dengan progres yang nyata.
Alasan KPK belum menahan Anas pun berbeda-beda, mulai dari rumah tahanan KPK penuh sampai menunggu setelah Hari Raya Idul Fitri 2013 lalu, namun Anas masih saja menghirup udara bebas, sementara Andi Mallarangeng terpenjara di balik terali besi.
"Saya belum tahu, saya belum bisa pastikan, tapi kita berusaha (menahan). Problemnya, tahanan di KPK itu sedang full, kita sedang tempatkan di luar," kata Abraham di Istora Senayan, Jakarta Selatan, Rabu 11 Desember 2013.
Ironisnya KPK dalam bulan Desember ini malah melakukan penahanan terhadap Ratu Atut Chosiyah, dan Kepala Kejaksaan Negeri Praya, Nusa Tenggara Barat, berinisial SUB. Sementara hal demikian tak dilakukan terhadap Anas.
KPK sebagai lembaga penegak hukum independen tak mengenal Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3), sehingga tiap kasus yang sudah naik ke tingkat penyidikan KPK harus tuntas sampai ke pengadilan.
Dengan begini KPK tak harus memaksakan diri menangani kasus Hambalang sampai tuntas. KPK dapat melimpahkan penyidikan kasus tersebut kepada Polri atau Kejaksaan Agung. "Kalau di-SP3 oleh Polri atau Kejaksaan enggak masalah buat menghindari malu, jadi KPK tetap bersih namanya," ujar pengamat hukum dari Universita Padjajaran, Indra Prawira, kepada Sindonews.
KPK sebagai lembaga independen seharusnya dapat menangani kasus dugaan korupsi secara profesional dan akuntabel. Tanpa tebang pilih dengan menindak cepat Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah yang juga elite politik Partai Golkar, namun bertindak lamban menangani dugaan korupsi proyek Hambalang.
Perkara hukum adalah kasus yang menyangkut hak dan kemerdekaan seorang individu atas ancaman hukuman pidana yang akan dihadapinya. Maka KPK seharusnya bertindak profesional dengan memerhatikan hak dan kemerdekaan seseorang.
"Kalau bisa segera dilepas ke pengadilan, KPK tidak bisa menghentikan kasus. Kalau menahan-nahan, KPK menganiaya orang. Akhirnya politik bermain," ujar Indra.
Loyalis Anas yang juga kader Demokrat, Gede Pasek Suardika, menilai kasus Hambalang tak jelas di tangan KPK. KPK menurutnya tak pernah memberikan alasan yang jelas sebagai penegak hukum soal tindak lanjut kasus Anas.
"Hanya untuk kasus gratifikasi sudah sampai ratusan orang diperiksa, dan hasil pemeriksaan pun belum juga jelas," kata Pasek.
Meski telah menyita mobil Toyota Harrier sebagai barang bukti kejahatan Anas dalam dugaan penerimaan gratifikasi proyek Hambalang, dan memeriksa banyak saksi untuk menjeratnya. Namun KPK tak menunjukkan progres atas penyidikannya itu.
Akibatnya Anas dan Andi Mallarangeng sampai saat ini nasibnya digantungkan oleh KPK. "Sebaiknya kasusnya dihentikan. Jangan dipaksakan. Kasus yang awalnya gratifikasi mobil Harrier itu, makin tidak jelas kasus pidananya apa lagi," ujar Pasek.
Unsur politis yang diperankan KPK dalam memberantas korupsi juga diakui Pasek dengan lambatnya penanganan kasus Hambalang, dibandingkan dengan progres cepat penanganan kasus dugaan korupsi yang menjerat Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah dan dinasti keluarganya.
"Sebab KPK itu penegak hukum pengusung keadilan. Bukan seperti Kamtib era Orde Baru, yang digunakan untuk mematikan karir politik seseorang," tukas Pasek.
Agar kasus Hambalang tidak lagi menggantung dan dugaan diselimuti unsur politis, KPK harus memiliki menunjukkan progress penanganan kasus Hambalang pada tahun mendatang. Apalagi KPK tidak mengenal penghentian perkara, layaknya lembaga penegak hukum lain.
(lal)