Kasus korupsi yang menggerus citra parpol

Senin, 30 Desember 2013 - 06:14 WIB
Kasus korupsi yang menggerus...
Kasus korupsi yang menggerus citra parpol
A A A
PERSOALAN korupsi yang melanda kader partai politik (parpol) turut andil menggerus citra partai masing-masing. Mulai dari proyek pembangunan gedung olahraga di Bukit Hambalang, Bogor, Jawa Barat milik Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora), dan kasus impor daging di Kementerian Pertania (Kementan), hingga kasus proyek penggandaan Alquran di Kementerian Agama (Kemenag).

Selain tiga kasus itu, juga ada kasus proyek Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) di Tarahan, kasus dana talangan Bank Century yang sudah menahun serta kasus alat kesehatan (alkes) di Banten dan Pemilukada Lebak. Kasus ini cukup menyita perhatian publik dan sangat akrab dengan beberapa partai.

Kasus Hambalang

Bicara proyek di Bukit Hambalang, publik teringat Partai Demokrat. Wajar saja, dalam kasus ini banyak kader partai pimpinan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) itu ikut terseret. Bahkan para elite partainya juga disebut-sebut ikut terlibat dalam proyek tersebut. Dalam proyek ini juga diduga ada uang yang mengalir ke Kongres Partai Demokrat tahun 2010 di Bandung.

Pernyataan mengejutkan disampaikan anggota Dewan Pembina Partai Demokrat Ahmad Mubarok ketika memenuhi panggilan KPK. Pada kesempatan itu, Mubarok mengungkapkan Ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat SBY membolehkan untuk memberi uang transpor ke peserta kongres.

"Kalau itu legal, semua (calon) kasih diperbolehkan oleh Pak SBY antara Rp1 sampai 5 juta," kata Mubarok di Gedung KPK, Jalan HR Rasuna Said, Kuningan, Jakarta Selatan, Kamis 12 Desember 2013.

Beberapa nama politikus Partai Demokrat ikut terseret dalam kasu itu adalah, Muhammad Nazaruddin (mantan Bendahara Umum), Angelina Sondakh (mantan Wasekjen), Andi Alfian Mallarangeng (mantan Sekretaris Dewan Pembina), dan Anas Urbaningrum (mantan Ketua Umum).

Sementara politikus Partai Demokrat lainnya yang ikut kerepotan dipanggil KPK, mulai dari Marzuki Alie, Max Sopacua, Nurhayati Ali Assegaf, TB Silalahi, Hayono Isman, Ahmad Mubarok, Ramadhan Pohan, Sutan Bhatoegana, I Gede Pasek Suardika, Saan Musthopa, Tri Dianto (mantan Ketua DPC Cilacap), Andi Nurpati dan Benny K Harman.

Bahkan, sejumlah nama di lingkaran orang nomor satu di negeri ini juga terungkap dalam persidangan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) dalam kasus Hambalang. Misalnya Silvya Soleha atau dikenal Bu Pur, Sudi Silalahi, sepupu SBY yaitu Widodo Wisnu Sayoko, termasuk Putra bungsu SBY yang juga Sekretaris Jenderal Partai Demokrat yaitu Edhie Baskoro Yudhoyono atau biasa disapa Ibas juga ikut disebut-sebut terkait proyek di Kemenpora itu.

Wanita paruh baya bernama Silvya Soleha atau Bu Pur merupakan istri dari teman seangkatan SBY ketika di Akademi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (AKABRI) 1973 bernama Purnomo. Dalam persidangan di Pengadilan Tipikor, Bu Pur disebut-sebut sebagai Kepala Rumah Tangga Cikeas yang ikut kebagian dalam proyek di Bukit Hambalang milik Kemenpora.

Meskipun, pihak Istana sudah membantah Bu Pur bukan Kepala Rumah Tangga Cikeas dan Bu Pur sendiri dalam kesaksiannya di Pengadilan Tipikor juga sudah membantah terlibat dalam proyek di Bukit Hambalang.

Kasus Bank Century

Kasus dengan polemik menahun ini turut menggerus citra Partai Demokrat, karena bicara kasus Century publik akan teringat pada Partai Demokrat. Dalam kasus ini sejumlah nama di lingkaran SBY disebut-sebut ikut terlibat.

Mereka adalah Sri Mulyani selaku Menteri Keuangan (Menkeu), dan Boediono selaku Gubernur Bank Indonesia (BI) pada saat dana talangan Bank Century bergulir dan saat ini menjadi Wakil Presiden. Kecurigaan publik selama ini berkembang bahwa skenario pemberian dana talangan itu sengaja dilakukan untuk pemenangan SBY bersama Partai Demokrat pada Pemilu 2009 silam, meskipun kebenarannya hingga kini masih misteri.

Kasus impor daging

Beranjak ke kasus daging impor, publik teringat Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Wajar saja, dalam kasus ini, orang nomor satu di partai berlambang padi dan kapas itu ikut terseret dan merasakan hotel prodeo. Luthfi Hasan Ishaq divonis Majelis Hakim Pengadilan Tipikor dengan hukuman 16 tahun penjara.

Selain Luthfi, ada Ahmad Fathanah divonis 14 tahun penjara dan denda Rp1 miliar subsider enam bulan kurungan. Fathanah dikenal sebagai kolega dekat para petinggi PKS sekaligus salah satu donatur partai tersebut.

Nama lainnya di lingkaran PKS yang terlibat adalah putra Majelis Syuro PKS Hilmi Aminuddin yaitu Ridwan Hakim. Bahkan Menteri Pertanian (Mentan) yang juga kader PKS yaitu Suswono ikut kerepotan harus menjalani pemeriksaan KPK sebagai saksi.

Dalam kasus ini, sejumlah wanita cantik ikut sibuk diperiksa KPK, karena diduga, adanya aliran dana dari Ahmad Fathanah. Beberapa wanita cantik itu adalah Sefti Sanustika, Ayu Azhari, Vitalia Sesya, dan Maharani Suciono.

Wanita cantik berikutnya adalah Darin Mumtazah biasa disebut-sebut fustun. Dara muda keturunan Timur Tengah ini dikenal sebagai istri kedua Luthfi Hasan Ishaq.

Kasus PLTU Tarahan

Bicara kasus PLTU Tarahan, publik teringat Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Dalam kasus ini elite partai berlambang kepala banteng itu ikut terjerat. Dia adalah Ezendrik Emir Moeis.
Proyek di Tarahan, Kabupaten Lampung Selatan tahun anggaran 2014 ini, Emir diduga menerima suap senilai lebih dari USD300.000 atau Rp2,8 miliar.

Dia diduga menerima hadiah atau janji dalam kapasitasnya sebagai anggota DPR periode 1999-2004 dan atau periode 2004-2009 dari PT Alstom Indonesia (AI).

Emir Moeis disangka melanggar Pasal 5 ayat 2, Pasal 12 huruf a atau b, Pasal 11 atau Pasal 12B Undang-undang (UU) Nomor 31/1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Untuk kepentingan penyidikan, Emir Moeis telah dicegah ke luar negeri selama enam bulan.

Kasus penggandaan Alquran

Kasus proyek penggandaan Alquran di Kementerian Agama (Kemenag) ini menyeret sejumlah politikus Partai Golkar. Mulai dari Zulkarnaen Djabbar dan putranya Dendy Prasetya. Bahkan elite Partai Golkar yang juga Wakil Ketua DPR yaitu Priyo Budi Santoso juga terseret dan sudah diperiksa KPK sebagai saksi.

Untuk kasus ini, Zulkarnaen Djabbar sudah dinyatakan bersalah oleh Pengadilan Tipikor dianggap melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama, dengan menjatuhkan hukuman pidana kepada terdakwa 12 tahun penjara dan denda Rp500 juta subsider lima bulan kurungan. Sementara Dendi Prasetya dihukum sembilan tahun penjara dan denda Rp300 juta subsider empat bulan kurungan.

Tuntutan tersebut berdasarkan dakwaan primer pasal 12 huruf b juncto pasal 18 UU No 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No 20 tahun 2001 juncto pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP juncto pasal 65 KUHP.

Selain dituntut pidana penjara, kedua terdakwa juga diminta untuk membayar pidana uang pengganti sebesar Rp14,39 miliar yang berasal dari nilai kerugian negara berdasarkan pasal 18.

Kasus Alkes dan Pemilukada Lebak

Dalam kasus ini menyeret Gubernur Provinsi Banten yang merupakan kader Partai Golkar Ratu Atut Chosiyah. Adik Atut yaitu Tubagus Chaeri Wardana alias Wawan juga ikut terseret. Keluarga Atut diketahui memiliki pengaruh besar, hal inilah yang membuat perolehan suara Partai Golkar dalam pemilu di kawasan itu cukup signifikan.

Atut dianggap bersama-sama menyuap tersangka Tubagus Chaeri Wardana kepada mantan ketua MK Akil Mochtar. Adapun pasal yang menjerat Ratu Atut adalah Pasal 6 Ayat 1 huruf a Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi Juncto Pasal 55 Ayat 1 ke 1 KUHP. KPK juga sudah menetapkan Atut sebagai tersangka dalam kasus alkes di Banten.

Beberapa kasus yang disebutkan tadi tak dapat dipungkiri telah meruntuhkan kepercayaan publik terhadap partai. Hal ini diperkuat dengan analisa pengamat politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Siti Zuhro.

Siti berpendapat, kasus korupsi yang menjerat kader dari sebuah partai bisa menganggu konsentrasi partai menjelang pemilu. Bahkan, lebih buruk lagi bisa membuat partai gagal memenangkan pemilu.
Semakin intensif pemberitaan negatif terutama pelanggaran etika moral dan skandal korupsi, semakin mendelegitimasi partai tersebut. Jadi semakin mengurangi tingkat kepercayaan masyarakat.

"Sebetulnya ini yang membedakan kita menyongsong Pemilu 2009 dan saat ini kita menyongsong Pemilu 2014. Kalau waktu itu, intesitas pemberitaan skandal korupsi memang lebih banyak didominasi oleh kader-kader Golkar, sehingga Golkar kalah di Pemilu 2009." tukas Siti ketika berbincang dengan Sindonews melalui sambungan telepon, Kamis, 29 November 2013.

Tentu saja kerja keras perlu dilakukan parpol untuk kembali mendapatkan tempat di hati masyarakat. Namun, mampukah parpol berbenah dengan sisa waktu kurang lebih empat bulan?

Bukan mustahil, jika kerja keras tak dilakukan, maka pada April Pemilu 2014 mendatang tingkat partisipasi pemilih semakin merosot.
(kur)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 1.2824 seconds (0.1#10.140)