Kisah Natal terhebat yang pernah dikisahkan bagian II
A
A
A
Sindonews.com - Secara berangsur-angsur, dalam proses penulisan cerita itu, Dickens mengalami sesuatu yang mencengangkan dirinya. Rencana yang semula muncul dengan penuh perhitungan akibat rasa putus asa, yang dimaksudkan untuk membebaskan diri dari lilitan utang–”rencana kecil,” begitu katanya–segera memunculkan perubahan pada diri si pengarang.
Di saat dia menulis tentang acara Natal yang dicintainya–pesta keluarga yang meriah dengan misletoe yang bergelantungan dari langit-langit rumah, nyanyian aneka lagu, permainan, tarian, dan hadiah Natal yang ceria; hidangan lezat daging angsa panggang, puding buah persik, roti yang masih hangat, yang semuanya dinikmati di depan kayu bakar yang masih menyala-nyala–keceriaan saat-saat yang didambakannya pun mulai memupus rasa sedih di hatinya.
A Christmas Carol berhasil menawan hati dan kalbunya. Penulisan cerita itu menjadi pekerjaan yang dilakukannya dengan penuh rasa cinta. Setiap kali dia mencelupkan pena bulu ayamnya ke dalam tinta, para tokohnya secara ajaib menjadi hidup: Tiny Tim dengan kruknya, Scrooge yang gemetar ketakutan ketika bertemu dengan hantu, Bob Cratchit yang minum minuman Natal di hadapan orang papa.
Setiap pagi, Dickens menjadi semakin bergairah dan tidak sabar untuk mulai menulis. “Aku benar-benar terpengaruh oleh buku kecil itu,” begitu katanya dalam suratnya kepada seorang wartawan, dan “enggan mengesampingkannya barang sesaat pun.” Seorang sahabat dan penulis biografi Dickens di kemudian hari, John Forster, menyadari adanya “kekuasaan besar” cerita itulah yang telah menguasai pengarangnya.
Dickens berkata kepada seorang profesor di Amerika tentang bagaimana dirinya, ketika menulis, “menangis, lalu tertawa, dan menangis lagi.” Dickens bahkan ikut berperan dalam merancang bukunya, ikut menentukan sampul yang bercap emas, halaman buku yang berwarna hijau-dan-merah dengan sampul belakang berwarna, serta empat buah etsa yang diwarnai dengan tangan dan empat ukiran kayu. Agar buku itu terjangkau oleh orang banyak, dia menetapkan harganya hanya lima shilling saja.
Akhirnya, pada 2 Desember, karangannya selesai, dan naskahnya dikirim ke percetakan. Pada 17 Desember, salinan untuk pengarang diserahkan, dan Dickens sangat gembira. Dia tak pernah ragu bahwa A Christmas Carol akan digemari pembacanya. Namun, baik dia maupun penerbitnya sama sekali tidak pernah mengira bahwa sambutan pembaca sedemikian luar biasa.
Edisi pertama sebanyak enam ribu eksemplar habis terjual pada malam Natal, dan ketika berita tentang buku kecil yang menyentuh hati itu menyebar, begitu yang teringat oleh Dickens di kemudian hari: “dalam setiap surat, segala macam orang yang tak dikenal menulis segala macam surat yang menceritakan rumah dan tungku perapian mereka, dan betapa A Christmas Carol dibacakan dengan suara nyaring, dan disimpan di rak kecilnya sendiri.”
Novelis William Makepeace Thackeray berkata begini tentang buku itu: “Bagiku tampaknya seperti sebuah manfaat bagi seluruh bangsa, dan bagi kaum lelaki dan perempuan yang membacanya, buku itu adalah sebuah kebaikan pribadi.”
Meskipun buku itu dipuji banyak orang, tidak berarti mendatangkan keuntungan sebagaimana yang diharapkan Dickens karena mutu tinggi yang dimintanya dan harga rendah yang ditetapkannya. Meskipun demikian, keuntungan yang diperolehnya dari buku itu lumayan juga jumlahnya untuk sekadar bertahan hidup, dan popularitas A Christmas Carol yang luar biasa itu menghidupkan kembali khalayak pembacanya untuk menanti-nantikan karya-karyanya yang berikutnya, seraya memberikan arahan yang baru dan segar pada kehidupan dan kariernya.
Meskipun Dickens menulis banyak buku lain–David Copperfield, A Tale of Two Cities, Great Expectations–yang memberikan keuntungan dan diterima baik oleh pembacanya, tidak ada yang menyamai kebahagiaan yang memuaskan kalbunya sebagaimana yang diperolehnya dari novel kecilnya yang dicintai banyak orang di seluruh dunia itu. Ada saatnya ketika sejumlah orang menyebutnya Pendeta Natal. Dan, ketika dia meninggal pada tahun 1870, seorang anak miskin di London konon bertanya begini: “Dickens meninggal? Apakah Bapak Natal juga akan meninggal?”
Dalam arti yang sebenarnya, Dickens memopulerkan berbagai aspek Natal yang kita rayakan sekarang ini, antara lain acara kumpul keluarga, makanan dan minuman serta tukar-menukar hadiah khas Natal. Bahkan bahasa Inggris pun telah diperkaya oleh kisah tersebut. Siapa penutur bahasa Inggris yang tidak mengenal kata scrooge (si kikir) atau umpatan “Bah! Humbug!” Ketika merasa kesal atau tercengang. Dan ucapan “Merry Christmas!” Menjadi jauh lebih sering diucapkan orang setelah cerita tersbut menyebar.
Di kala sedang meragukan diri sendiri dan kebingungan, manusia kadang menghasilkan karyanya yang terbaik. Dari lembah kesengsaraan muncul suatu anugerah. Bagi Charles Dickens, karya terbaiknya adalah novel Natal pendek yang menumbuhkan keimanan yang baru ditemukan dalam dirinya dan dalam keceriaan Natal yang muncul kembali.
Kekhawatiran bahwa kariernya sudah mentok dan menghadapi masalah keuangan, setiap langkah Dickens disertai dengan kegelapan dalam benaknya di kala dia menapaki jalanan hitam berbatu-batu dengan harapan dapat menguakkan secercah imajinasi. Dan di situlah, di kota itu, dia bersentuhan dengan para pembacanya. Pemandangan dan aromanya membangkitkan kembali kenangan masa kecilnya. Dalam seketika pintu daya cipta pun terbuka lebar.
Didapatinya dirinya tertawa, menangis, “penuh semangat dan tak sabar untuk mulai bekerja.” Pengalaman Dickens mengingatkan kita bahwa proses inovasi dapat begitu sulit. Hal itu juga menunjukkan sinyal kuat bahwa titik tolak yang bagus untuk meluncurkan kekuatan daya cipta kita adalah keluar dan melakukan penjelajahan, mengorak lingkungan kita dengan mata dan telinga yang dibuka lebar-lebar.
Cukup lazim jika kita berpapasan dengan penemuan kecil yang luar biasa dan berpikir, kalau saja aku dulu memikirkan hal itu. Namun, mewujudkan gagasan sederhana menjadi keberhasilan pun melibatkan proses, yang tidak semudah yang mungkin kita bayangkan.
Selesai.
(Dikutip dari buku “Everyday Greatness 63 Kisah + 500 Kata-kata Bijak Terbaik untuk Menemukan Makna Hidup” ditulis oleh Thomas J. Burns halaman 253-256)
Di saat dia menulis tentang acara Natal yang dicintainya–pesta keluarga yang meriah dengan misletoe yang bergelantungan dari langit-langit rumah, nyanyian aneka lagu, permainan, tarian, dan hadiah Natal yang ceria; hidangan lezat daging angsa panggang, puding buah persik, roti yang masih hangat, yang semuanya dinikmati di depan kayu bakar yang masih menyala-nyala–keceriaan saat-saat yang didambakannya pun mulai memupus rasa sedih di hatinya.
A Christmas Carol berhasil menawan hati dan kalbunya. Penulisan cerita itu menjadi pekerjaan yang dilakukannya dengan penuh rasa cinta. Setiap kali dia mencelupkan pena bulu ayamnya ke dalam tinta, para tokohnya secara ajaib menjadi hidup: Tiny Tim dengan kruknya, Scrooge yang gemetar ketakutan ketika bertemu dengan hantu, Bob Cratchit yang minum minuman Natal di hadapan orang papa.
Setiap pagi, Dickens menjadi semakin bergairah dan tidak sabar untuk mulai menulis. “Aku benar-benar terpengaruh oleh buku kecil itu,” begitu katanya dalam suratnya kepada seorang wartawan, dan “enggan mengesampingkannya barang sesaat pun.” Seorang sahabat dan penulis biografi Dickens di kemudian hari, John Forster, menyadari adanya “kekuasaan besar” cerita itulah yang telah menguasai pengarangnya.
Dickens berkata kepada seorang profesor di Amerika tentang bagaimana dirinya, ketika menulis, “menangis, lalu tertawa, dan menangis lagi.” Dickens bahkan ikut berperan dalam merancang bukunya, ikut menentukan sampul yang bercap emas, halaman buku yang berwarna hijau-dan-merah dengan sampul belakang berwarna, serta empat buah etsa yang diwarnai dengan tangan dan empat ukiran kayu. Agar buku itu terjangkau oleh orang banyak, dia menetapkan harganya hanya lima shilling saja.
Akhirnya, pada 2 Desember, karangannya selesai, dan naskahnya dikirim ke percetakan. Pada 17 Desember, salinan untuk pengarang diserahkan, dan Dickens sangat gembira. Dia tak pernah ragu bahwa A Christmas Carol akan digemari pembacanya. Namun, baik dia maupun penerbitnya sama sekali tidak pernah mengira bahwa sambutan pembaca sedemikian luar biasa.
Edisi pertama sebanyak enam ribu eksemplar habis terjual pada malam Natal, dan ketika berita tentang buku kecil yang menyentuh hati itu menyebar, begitu yang teringat oleh Dickens di kemudian hari: “dalam setiap surat, segala macam orang yang tak dikenal menulis segala macam surat yang menceritakan rumah dan tungku perapian mereka, dan betapa A Christmas Carol dibacakan dengan suara nyaring, dan disimpan di rak kecilnya sendiri.”
Novelis William Makepeace Thackeray berkata begini tentang buku itu: “Bagiku tampaknya seperti sebuah manfaat bagi seluruh bangsa, dan bagi kaum lelaki dan perempuan yang membacanya, buku itu adalah sebuah kebaikan pribadi.”
Meskipun buku itu dipuji banyak orang, tidak berarti mendatangkan keuntungan sebagaimana yang diharapkan Dickens karena mutu tinggi yang dimintanya dan harga rendah yang ditetapkannya. Meskipun demikian, keuntungan yang diperolehnya dari buku itu lumayan juga jumlahnya untuk sekadar bertahan hidup, dan popularitas A Christmas Carol yang luar biasa itu menghidupkan kembali khalayak pembacanya untuk menanti-nantikan karya-karyanya yang berikutnya, seraya memberikan arahan yang baru dan segar pada kehidupan dan kariernya.
Meskipun Dickens menulis banyak buku lain–David Copperfield, A Tale of Two Cities, Great Expectations–yang memberikan keuntungan dan diterima baik oleh pembacanya, tidak ada yang menyamai kebahagiaan yang memuaskan kalbunya sebagaimana yang diperolehnya dari novel kecilnya yang dicintai banyak orang di seluruh dunia itu. Ada saatnya ketika sejumlah orang menyebutnya Pendeta Natal. Dan, ketika dia meninggal pada tahun 1870, seorang anak miskin di London konon bertanya begini: “Dickens meninggal? Apakah Bapak Natal juga akan meninggal?”
Dalam arti yang sebenarnya, Dickens memopulerkan berbagai aspek Natal yang kita rayakan sekarang ini, antara lain acara kumpul keluarga, makanan dan minuman serta tukar-menukar hadiah khas Natal. Bahkan bahasa Inggris pun telah diperkaya oleh kisah tersebut. Siapa penutur bahasa Inggris yang tidak mengenal kata scrooge (si kikir) atau umpatan “Bah! Humbug!” Ketika merasa kesal atau tercengang. Dan ucapan “Merry Christmas!” Menjadi jauh lebih sering diucapkan orang setelah cerita tersbut menyebar.
Di kala sedang meragukan diri sendiri dan kebingungan, manusia kadang menghasilkan karyanya yang terbaik. Dari lembah kesengsaraan muncul suatu anugerah. Bagi Charles Dickens, karya terbaiknya adalah novel Natal pendek yang menumbuhkan keimanan yang baru ditemukan dalam dirinya dan dalam keceriaan Natal yang muncul kembali.
Kekhawatiran bahwa kariernya sudah mentok dan menghadapi masalah keuangan, setiap langkah Dickens disertai dengan kegelapan dalam benaknya di kala dia menapaki jalanan hitam berbatu-batu dengan harapan dapat menguakkan secercah imajinasi. Dan di situlah, di kota itu, dia bersentuhan dengan para pembacanya. Pemandangan dan aromanya membangkitkan kembali kenangan masa kecilnya. Dalam seketika pintu daya cipta pun terbuka lebar.
Didapatinya dirinya tertawa, menangis, “penuh semangat dan tak sabar untuk mulai bekerja.” Pengalaman Dickens mengingatkan kita bahwa proses inovasi dapat begitu sulit. Hal itu juga menunjukkan sinyal kuat bahwa titik tolak yang bagus untuk meluncurkan kekuatan daya cipta kita adalah keluar dan melakukan penjelajahan, mengorak lingkungan kita dengan mata dan telinga yang dibuka lebar-lebar.
Cukup lazim jika kita berpapasan dengan penemuan kecil yang luar biasa dan berpikir, kalau saja aku dulu memikirkan hal itu. Namun, mewujudkan gagasan sederhana menjadi keberhasilan pun melibatkan proses, yang tidak semudah yang mungkin kita bayangkan.
Selesai.
(Dikutip dari buku “Everyday Greatness 63 Kisah + 500 Kata-kata Bijak Terbaik untuk Menemukan Makna Hidup” ditulis oleh Thomas J. Burns halaman 253-256)
(kri)