Mahasiswa UI gunakan limbah organik untuk bioetanol
A
A
A
Sindonews.com - Tiga mahasiswa dari Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia (MIPA UI) meneliti bakteri yang bisa dijadikan bahan dasar pembuatan bioetanol sebagai sumber energi terbarukan. Yang menarik, bakteri yang diteliti didapat dari hasil limbah agraria.
Selama ini, pembuatan bioetanol masih terbatas pada penggunaan bahan utama dari satu jenis tanaman. Sedangkan sisanya menjadi limbah. Limbah inilah yang dimanfaatkan sebagai penghasil bakteri sebagai bahan baku enzim dalam proses bahan bakar alternatif bioetanol.
Berangkat dari langkanya bahan bakar minyak yang semakin langka mendorong tiga mahasiswa jurusan Biologi UI ini menciptakan bahan bakar alternatif dari bioetanol.
Abinubli Tariswafi M dan Ricky Karta Atmadja, angkatan 2010 jurusan biologi Fakultas MIPA UI, serta Siska Yulian Sari angkatan 2011 jurusan biologi Fakultas MIPA UI tergerak meneliti bakteri termofilik yang mampu menghasilkan enzim lignoselulase dan tahan akan suhu tinggi.
"Jika biasanya bioetanol tersebut dibuat dari bahan pangan dari jagung atau pangan lainnya yang juga dikonsumsi manusia, kami coba kembangkan penelitian agar bisa membuatnya dari limbah pertanian yang tidak terpakai untuk pangan. Misalnya seperti tandan kosong kelapa sawit, tangkai jagung, tangkai tebu, dan jerami padi," kata Siska saat ditemui di sela acara final Olimpiade Seleksi Nasional (OSN) Pertamina 2013 di Balai Sidang UI, Depok, Senin (9/12/2013).
Meskipun demikian, pembuatan bioetanol menggunakan limbah pertanian seringkali kurang efisien karena tidak adanya enzim lignoselulosa yang tahan suhu tinggi pada saat dilakukan pemanasan. Sehingga ketiganya berkesimpulan hal itu bisa diatasi dengan menambahkan bakteri tahan panas atau termofilik pada proses pembuatan bioetanol untuk mengkonversi lignoselulosa.
Bakteri termofilik diketahui memiliki kemampuan menghasilkan enzim lignoselulase dan tahan akan suhu tinggi. Mereka bisa ditemukan di lokasi dengan suhu tinggi seperti geyser yang di dekatnya terdapat serasah daun dan ranting pohon.
Dalam penelitian yang dilakukan tiga mahasiswa ini, mereka meneliti keberadaan dan jenis bakteri termofilik penghasil enzim lignoselulase dari geyser di Cisolok, Sukabumi, Jawa Barat.
"Kami lakukan penelitian mengenai daya degradasi bakteri tersebut agar bisa diaplikasikan pada pembuatan bioetanol yang lebih efisien," terang Siska.
Indonesia merupakan Negara agraris dengan produksi pertanian dan perkebunan melimpah yang menghasilkan banyak limbah lignoselulosa. Limbah-limbah lignoselulosa tersebut sebenarnya memiliki potensi untuk dijadikan bahan baku produksi bioetanol.
Namun, limbah-limbah lignoselulosa tersebut biasanya hanya ditumpuk dan didiamkan atau dibakar karena dianggap tidak memiliki nilai ekonomi apapun.
"Padahal, limbah lignoselulosa tersebut bisa dibilang sebagai bahan baku yang gratis untuk pembuatan bioetanol. Karena hal tersebutlah, limbah lignoselulosa dianggap tepat untuk dijadikan bahan baku utama bioetanol," ujarnya.
Ketua Tim Peneliti, Abinubli menceritakan diambilnya bakteri dari Cisolok tersebut karena salah satu geyser di Indonesia tersebut masih aktif menyeburkan air panas dengan suhu diatas 90 derajat Celcius. Selain itu, mereka juga ingin mengambil sumber daya dari Indonesia.
"Kami ingin mengekplorasi manfaat dari sumber daya alam sendiri sehingga kita melepaskan diri dari ketergantungan impor," katanya.
Selama ini, pembuatan bioetanol masih terbatas pada penggunaan bahan utama dari satu jenis tanaman. Sedangkan sisanya menjadi limbah. Limbah inilah yang dimanfaatkan sebagai penghasil bakteri sebagai bahan baku enzim dalam proses bahan bakar alternatif bioetanol.
Berangkat dari langkanya bahan bakar minyak yang semakin langka mendorong tiga mahasiswa jurusan Biologi UI ini menciptakan bahan bakar alternatif dari bioetanol.
Abinubli Tariswafi M dan Ricky Karta Atmadja, angkatan 2010 jurusan biologi Fakultas MIPA UI, serta Siska Yulian Sari angkatan 2011 jurusan biologi Fakultas MIPA UI tergerak meneliti bakteri termofilik yang mampu menghasilkan enzim lignoselulase dan tahan akan suhu tinggi.
"Jika biasanya bioetanol tersebut dibuat dari bahan pangan dari jagung atau pangan lainnya yang juga dikonsumsi manusia, kami coba kembangkan penelitian agar bisa membuatnya dari limbah pertanian yang tidak terpakai untuk pangan. Misalnya seperti tandan kosong kelapa sawit, tangkai jagung, tangkai tebu, dan jerami padi," kata Siska saat ditemui di sela acara final Olimpiade Seleksi Nasional (OSN) Pertamina 2013 di Balai Sidang UI, Depok, Senin (9/12/2013).
Meskipun demikian, pembuatan bioetanol menggunakan limbah pertanian seringkali kurang efisien karena tidak adanya enzim lignoselulosa yang tahan suhu tinggi pada saat dilakukan pemanasan. Sehingga ketiganya berkesimpulan hal itu bisa diatasi dengan menambahkan bakteri tahan panas atau termofilik pada proses pembuatan bioetanol untuk mengkonversi lignoselulosa.
Bakteri termofilik diketahui memiliki kemampuan menghasilkan enzim lignoselulase dan tahan akan suhu tinggi. Mereka bisa ditemukan di lokasi dengan suhu tinggi seperti geyser yang di dekatnya terdapat serasah daun dan ranting pohon.
Dalam penelitian yang dilakukan tiga mahasiswa ini, mereka meneliti keberadaan dan jenis bakteri termofilik penghasil enzim lignoselulase dari geyser di Cisolok, Sukabumi, Jawa Barat.
"Kami lakukan penelitian mengenai daya degradasi bakteri tersebut agar bisa diaplikasikan pada pembuatan bioetanol yang lebih efisien," terang Siska.
Indonesia merupakan Negara agraris dengan produksi pertanian dan perkebunan melimpah yang menghasilkan banyak limbah lignoselulosa. Limbah-limbah lignoselulosa tersebut sebenarnya memiliki potensi untuk dijadikan bahan baku produksi bioetanol.
Namun, limbah-limbah lignoselulosa tersebut biasanya hanya ditumpuk dan didiamkan atau dibakar karena dianggap tidak memiliki nilai ekonomi apapun.
"Padahal, limbah lignoselulosa tersebut bisa dibilang sebagai bahan baku yang gratis untuk pembuatan bioetanol. Karena hal tersebutlah, limbah lignoselulosa dianggap tepat untuk dijadikan bahan baku utama bioetanol," ujarnya.
Ketua Tim Peneliti, Abinubli menceritakan diambilnya bakteri dari Cisolok tersebut karena salah satu geyser di Indonesia tersebut masih aktif menyeburkan air panas dengan suhu diatas 90 derajat Celcius. Selain itu, mereka juga ingin mengambil sumber daya dari Indonesia.
"Kami ingin mengekplorasi manfaat dari sumber daya alam sendiri sehingga kita melepaskan diri dari ketergantungan impor," katanya.
(mhd)