Praktik bosisme penyebab korupsi tumbuh subur di daerah
A
A
A
Sindonews.com - Proses politik di Indonesia sejak diberlakukannya otonomi daerah telah dikuasai oleh segelintir orang berpengaruh di satu daerah. Akibatnya, ketika pemilihan kepala daerah dilakukan, pertarungan politik hanya dilakukan dari segelintir orang yang berpengaruh di daerah itu.
"Mereka yang kami sebut sebagai para bos, jadi yang terjadi di tingkat lokal itu terbangunnya sistem bosisme lokal. Bosisme lokal satu lingkaran kekuasaan diisi oleh segelintir elite yang kemudian berkuasa atas seluruh proses politik," kata Direktur Lembaga Pemilih Indonesia Boni Hargens dalam Dialog Kenegaraan "Memberantas Korupsi di Daerah" yang digelar DPD di komplek Parlemen Senayan, Jakarta, Rabu (25/9/2013).
Mereka yang disebut Bosisme lokal, kata Boni, antara lain orang partai, konglomerat, birokrat, elite kultural lokal, aparat keamanan bisa Polri dan preman sipil. "Ini segelintir orang yang selalu kuasai proses politik dan pilkada itu adalah pertarungan figur yang dicetak oleh bosisme ini," jelasnya.
Selanjutnya, kata Boni, setelah pemerintahan terbentuk, kelompok inilah juga yang berkuasa dan penguasaan sumber daya alam dikuasai oleh bos ini.
"Korupsi politik subur karena kepentingan sekelompok bos ini, jadi bosisme lokal menjadi akar persoalan korupsi politik dan mandegnya demokratisasi lokal."
"Musuh demokrasi lokal adalah sistem bosisme itu, segelintir elite yang menguasai pusat-pusat ekonomi bisnis itu dan korupsi hanyalah modus yang dibuang pada saat pemilu dan upaya mencari untung," tambahnya.
Persoalan ini, kata dia, masih dianggap remeh oleh pemerintah, apalagi politik Indonesia sangat Jakarta sentris. Untuk itu, menurut Boni, Dewan Perwakilan Daerah (DPD) harus menjadi instrumen yang menjembatani kepentingan lokal dengan pusat.
"Persoalan sekarang ini DPD selalu beralasan kewenangan mereka tidak cukup di aturan konstitusi sehingga mereka tidak bergerak banyak, alasan ini menjadi justifikasi dari kelambanan DPD sendiri," terangnya.
Karena itu, Boni mendorong DPD untuk lebih aktif dalam mencermati masalah-masalah di daerah. "Ini sangat ditentukan oleh seberapa komitmen DPD dalam membantu daerah," pungkasnya.
"Mereka yang kami sebut sebagai para bos, jadi yang terjadi di tingkat lokal itu terbangunnya sistem bosisme lokal. Bosisme lokal satu lingkaran kekuasaan diisi oleh segelintir elite yang kemudian berkuasa atas seluruh proses politik," kata Direktur Lembaga Pemilih Indonesia Boni Hargens dalam Dialog Kenegaraan "Memberantas Korupsi di Daerah" yang digelar DPD di komplek Parlemen Senayan, Jakarta, Rabu (25/9/2013).
Mereka yang disebut Bosisme lokal, kata Boni, antara lain orang partai, konglomerat, birokrat, elite kultural lokal, aparat keamanan bisa Polri dan preman sipil. "Ini segelintir orang yang selalu kuasai proses politik dan pilkada itu adalah pertarungan figur yang dicetak oleh bosisme ini," jelasnya.
Selanjutnya, kata Boni, setelah pemerintahan terbentuk, kelompok inilah juga yang berkuasa dan penguasaan sumber daya alam dikuasai oleh bos ini.
"Korupsi politik subur karena kepentingan sekelompok bos ini, jadi bosisme lokal menjadi akar persoalan korupsi politik dan mandegnya demokratisasi lokal."
"Musuh demokrasi lokal adalah sistem bosisme itu, segelintir elite yang menguasai pusat-pusat ekonomi bisnis itu dan korupsi hanyalah modus yang dibuang pada saat pemilu dan upaya mencari untung," tambahnya.
Persoalan ini, kata dia, masih dianggap remeh oleh pemerintah, apalagi politik Indonesia sangat Jakarta sentris. Untuk itu, menurut Boni, Dewan Perwakilan Daerah (DPD) harus menjadi instrumen yang menjembatani kepentingan lokal dengan pusat.
"Persoalan sekarang ini DPD selalu beralasan kewenangan mereka tidak cukup di aturan konstitusi sehingga mereka tidak bergerak banyak, alasan ini menjadi justifikasi dari kelambanan DPD sendiri," terangnya.
Karena itu, Boni mendorong DPD untuk lebih aktif dalam mencermati masalah-masalah di daerah. "Ini sangat ditentukan oleh seberapa komitmen DPD dalam membantu daerah," pungkasnya.
(kri)