Saksi ahli: Penyelesaiannya harus gunakan UU Lingkungan Hidup

Selasa, 24 September 2013 - 00:10 WIB
Saksi ahli: Penyelesaiannya harus gunakan UU Lingkungan Hidup
Saksi ahli: Penyelesaiannya harus gunakan UU Lingkungan Hidup
A A A
Sindonews.com - Sidang lanjutan kasus korupsi proyek bioremediasi fiktif PT Chevron Pasific Indonesia dengan terdakwa General Manager (GM) Sumatera Light South (SLS) Operation, Bahtiar Abdul Fatah kembali digelar di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), Jakarta, Senin (23/9/2013).

Pada persidangan kali ini, kubu dari terdakwa menghadirkan saksi ahli sekaligus Pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Parahyangan (Unpar) Bandung, Profesor Asep Warlan Yusuf.

Menurut Asep, kasus bioremediasi hanya bisa diselesaikan dengan Undang-Undang Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

"Ketika ada pelanggaran lingkungan hidup, maka penyelesaiannya dengan pidana lingkungan hidup dari UU Nomor 32 tahun 2009," terangnya.

Asep melanjutkan, sebagaimana diatur dalam UU Lingkungan Hidup tersebut, untuk menjatuhkan hukuman, pemerintah akan menilai apakah perusahaan itu telah mentaati sejumlah ketentuan, misal izin mengolah limbah B3.

"Kalau memang tingkat ketaatan perusahaan itu rendah dan jauh dari yang ditentukan UU, maka pemerintah akan meningkatkan pengawasannya," paparnya.

Namun, lanjut Asep, jika suatu perusahaan sudah melakukan apa yang disyaratkan UU Lingkungan Hidup setelah pemerintah melakukan pengawasan, diskusi, pemberian proper, dan lainnya, maka hal itu menunjukan adanya upaya nyata dalam pengendalian pengelolaan limbah.

"Hasil pengawasan itu yang akan menentukan ada tidaknya pelanggaran. Pengawasan, diskusi, proper, itu artinya ada pengendalian secara faktual, meskipun izinnya sudah berakhir," terangnya.

Ia menjelaskan, dalam UU Nomor 23 tahun 1997 tentang Pencemaran, memang sulit dibuktikan terjadinya pencemaran. Namun setelah adanya UU Nomor 32 tahun 2009, standar pencemaran itu baru dimasukan.

"UU 23 tahun 1997, pencemaran itu sulit dibuktikan, karena setiap orang yang memasukan satu zat dan merubah peruntukannya maka dipidana, tapi itu sulit dibuktikan di pengadilan," tukasnya.

Maka dari itu, sambung Asep, dengan adanya UU 32 tahun 2009, barang siapa yang memasukan satu zat pada lingkungan dan melampaui baku mutunya bisa dinyatakan melakukan pencemaran.

"Pencemaran itu dirumuskan dalam dua norma yakni delik formal dan delik materil," pungkasnya.
(kri)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6628 seconds (0.1#10.140)
pixels