Psikologis anak perlu dibina, bukannya dihukum
A
A
A
Sindonews.com - Anggota Komisi VIII DPR Raihan Iskandar mengatakan, pihak pemerintah perlu evaluasi untuk membuat pagar pembatas jalan tol lebih tinggi sehingga memperkecil kemungkinan kendaraan untuk menerobos jalur lawan arah.
Menurutnya, selain itu pihak berwajib juga harus mengevaluasi pembuatan Surat Izin Mengemudi (SIM) dapat diperketat. Kemudian perusahaan iklan seharusnya membuat iklan yang mendidik dan menyadarkan agar tertib berlalu lintas.
"Untuk lebih perhatian untuk mengedepankan aspek safety dalam berkendaraan. Dalam konteks hukum, proses penyelesaian kasus ini dapat mengacu kepada Undang-Undang Nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, khususnya di Pasal 5 ayat 1, yaitu dilakukan dengan pendekatan Keadilan Restoratif (restorative justice)," kata Raihan saat ditemui di Jakarta, Rabu (11/9/2013).
Untuk itu, lanjut dia, kasus yang menimpa anak ini harus diselesaikan dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku atau korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula.
Lanjutnya, dalam hal ini, peraturan tersebut baru berlaku tahun 2014, namun dapat ambil spirit dan filosofi positifnya. Untuk itu, solusinya dengan mencari jalan terbaik seperti jalan damai dan pembinaan anak, bukan dengan pendekatan retributive justice atau pemidanaan.
"Jika nanti tetap dijatuhkan hukuman, mekanismenya di luar pengadilan. Hal ini mengingat psikologis seorang anak itu perlu dibina, bukan serta merta dihukum pidana," ujar dia.
Menurutnya, selain itu pihak berwajib juga harus mengevaluasi pembuatan Surat Izin Mengemudi (SIM) dapat diperketat. Kemudian perusahaan iklan seharusnya membuat iklan yang mendidik dan menyadarkan agar tertib berlalu lintas.
"Untuk lebih perhatian untuk mengedepankan aspek safety dalam berkendaraan. Dalam konteks hukum, proses penyelesaian kasus ini dapat mengacu kepada Undang-Undang Nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, khususnya di Pasal 5 ayat 1, yaitu dilakukan dengan pendekatan Keadilan Restoratif (restorative justice)," kata Raihan saat ditemui di Jakarta, Rabu (11/9/2013).
Untuk itu, lanjut dia, kasus yang menimpa anak ini harus diselesaikan dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku atau korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula.
Lanjutnya, dalam hal ini, peraturan tersebut baru berlaku tahun 2014, namun dapat ambil spirit dan filosofi positifnya. Untuk itu, solusinya dengan mencari jalan terbaik seperti jalan damai dan pembinaan anak, bukan dengan pendekatan retributive justice atau pemidanaan.
"Jika nanti tetap dijatuhkan hukuman, mekanismenya di luar pengadilan. Hal ini mengingat psikologis seorang anak itu perlu dibina, bukan serta merta dihukum pidana," ujar dia.
(maf)