KPK pastikan pencabutan hak politik Djoko sesuai UU
A
A
A
Sindonews.com - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memastikan pencabutan hak politik terdakwa Irjen Pol Djoko Susilo sesuai dengan aturan perundang-undangan yang berlaku.
Juru Bicara KPK Johan Budi SP menyatakan, tuntutan pidana tambahan berupa pencabutan hak politik dan menduduki jabatan publik terhadap Djoko dimaksudkan bawah KPK mecoba menggunakan segala kententuan yang ada terkait dengan dugaan terjadinya tidak pidana yang dilakukan terdakwa.
Penggunaan tuntutan itu lanjutnya bukan tanpa dasar hukum. Pasalnya penerapan itu sesuai dengan Pasal 10 KUHP dan Pasal 18 Undang-Undang (UU) Nomor 31/1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).
"Dimana di situ disebutkan bahwa seseorang yang melakukan pidana itu dapat dikenakan tambahan hukumannya dengan mencabut hak memilih dan diplih dalam jabatan publik," kata Johan saat konferensi pers di Gedung KPK, Jakarta, Rabu (21/8/13).
Diketahui, di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), Jakarta, Selasa (20/8) Jaksa Penuntut Umum KPK menuntut terdakwa Irjen Pol Djoko Susilo 18 tahun pidana penjara. Serta pidana denda Rp1 miliar subsider satu tahun kurungan penjara. Mantan Kakorlantas itu juga dituntut dijatuhkan pidana uang pengganti Rp32 miliar.
Selain itu, dalam surat tuntutan setebal 2934 halaman yang terdiri dari lebih 900 halaman analisa yuridis itu jaksa juga meminta hakim menjatuhkan saksi secara politik kepada Djoko untuk tidak menduduki jabatan sebagai pejabat publik serta tidak bisa memilih dan dipilih.
Johan melanjutkan, penerapan tuntutan pidana tambahan tersebut juga karena terdakwa yang merupakan jenderal polisi bintang dua itu adalah pelaku Tipikor yang dianggap menciderai hak-hak masyarakat luas. "Karena perbutan tipikor terdakwa menciderai hak masyarakat," bebernya.
Selain itu, KPK menerapkan tambahan hukuman ini untuk mengantisipasi jangan sampai ada terpidana yang sudah vonis bersalah dan dihukum misalnya kembali menjabat di jabatan publik.
"Jadi jangan sampai lagi duduki jabatan publik. Kalau di KPK ini pertama kali penerapannya. Nah, Jabatan publik itu seperti anggota DPR, Gubernur. Ketua RT enggak termasuk," tandasnya.
Sementara pihak Djoko sendiri menilai bahwa pidana tambahan itu menghancurkan hak berpolitik seorang warga negara Indonesia. "Itu sama saja menghancurkan hak politik seorang warga negara. Kan padahal dia (Djoko Susilo) punya banyak jasa bagi Kepolisian dan negara ini," kata kuasa hukum Djoko, Nasrullah.
Juru Bicara KPK Johan Budi SP menyatakan, tuntutan pidana tambahan berupa pencabutan hak politik dan menduduki jabatan publik terhadap Djoko dimaksudkan bawah KPK mecoba menggunakan segala kententuan yang ada terkait dengan dugaan terjadinya tidak pidana yang dilakukan terdakwa.
Penggunaan tuntutan itu lanjutnya bukan tanpa dasar hukum. Pasalnya penerapan itu sesuai dengan Pasal 10 KUHP dan Pasal 18 Undang-Undang (UU) Nomor 31/1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).
"Dimana di situ disebutkan bahwa seseorang yang melakukan pidana itu dapat dikenakan tambahan hukumannya dengan mencabut hak memilih dan diplih dalam jabatan publik," kata Johan saat konferensi pers di Gedung KPK, Jakarta, Rabu (21/8/13).
Diketahui, di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), Jakarta, Selasa (20/8) Jaksa Penuntut Umum KPK menuntut terdakwa Irjen Pol Djoko Susilo 18 tahun pidana penjara. Serta pidana denda Rp1 miliar subsider satu tahun kurungan penjara. Mantan Kakorlantas itu juga dituntut dijatuhkan pidana uang pengganti Rp32 miliar.
Selain itu, dalam surat tuntutan setebal 2934 halaman yang terdiri dari lebih 900 halaman analisa yuridis itu jaksa juga meminta hakim menjatuhkan saksi secara politik kepada Djoko untuk tidak menduduki jabatan sebagai pejabat publik serta tidak bisa memilih dan dipilih.
Johan melanjutkan, penerapan tuntutan pidana tambahan tersebut juga karena terdakwa yang merupakan jenderal polisi bintang dua itu adalah pelaku Tipikor yang dianggap menciderai hak-hak masyarakat luas. "Karena perbutan tipikor terdakwa menciderai hak masyarakat," bebernya.
Selain itu, KPK menerapkan tambahan hukuman ini untuk mengantisipasi jangan sampai ada terpidana yang sudah vonis bersalah dan dihukum misalnya kembali menjabat di jabatan publik.
"Jadi jangan sampai lagi duduki jabatan publik. Kalau di KPK ini pertama kali penerapannya. Nah, Jabatan publik itu seperti anggota DPR, Gubernur. Ketua RT enggak termasuk," tandasnya.
Sementara pihak Djoko sendiri menilai bahwa pidana tambahan itu menghancurkan hak berpolitik seorang warga negara Indonesia. "Itu sama saja menghancurkan hak politik seorang warga negara. Kan padahal dia (Djoko Susilo) punya banyak jasa bagi Kepolisian dan negara ini," kata kuasa hukum Djoko, Nasrullah.
(kri)