Jimly: Prosedur penunjukkan Patrialis Akbar kurang sempurna

Kamis, 08 Agustus 2013 - 13:18 WIB
Jimly: Prosedur penunjukkan...
Jimly: Prosedur penunjukkan Patrialis Akbar kurang sempurna
A A A
Sindonews.com - Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Jimly Asshidiqqie ikut angkat bicara terkait pemilihan Patrialis Akbar oleh Presiden Susilo Yudhoyono (SBY) menjadi Hakim Konstitusi.

Menurutnya, proses penetapan mantan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia itu sebagai Hakim Konstitusi kurang sempurna dari segi prosedurnya.

"Kurang sempurna dari segi prosedur. Tetapi tidak ada sanksinya karena itu kewenangan pemerintah," ujarnya di kompleks Istana Negara, Jakarta, Kamis (8/8/2013).

Sebab, lanjutnya, tak ada asas transparansi dan partisipatif dalam penunjukkan Patrialis menjadi Hakim Konstitusi oleh Presiden SBY.

"Yah bau-baunya melanggar. Karena tidak transparan dan tidak partisipatif," katanya.

Diberitakan Sindonews sebelumnya, Penunjukkan mantan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Patrialis Akbar sebagai Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) dari unsur pemerintah yang dilakukan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), disoal.

Bahkan, Presiden SBY mendapat somasi atas penunjukkan Patrialis Akbar yang dianggap tidak transparan dan melanggar Undang-Undang Mahkamah Konstitusi (UU MK). Somasi itu dilayangkan oleh Koalisi masyarakat sipil selamatkan Mahkamah Konstitusi (Koalisi-MK).

"Somasi ini kita layangkan lewat fax ke Setneg,"ujar salah satu perwakilan dari Koalisi masyarakat sipil selamatkan Mahkamah Konstitusi (Koalisi-MK) yang juga sebagai Ketua Badan Pengurus YLBHI, Alvon Kurnia Palma saat konferensi pers di kantornya, Jalan Diponegoro, Jakarta Pusat, Selasa 6 Agustus 2013.

Somasi ini dilayangkan hari ini, lantaran pelantikan hakim konstitusi akan dilaksanakan pada tanggal 13 Agustus 2013 mendatang.

Mereka menilai pengangkatan Patrialis Akbar sebagai hakim konstitusi ini melanggar ketentuan yang terdapat pada pasal 9 dan 25 Undang-Undang Dasar 1945 serta pasal 19 Undang-Undang Nomor 24 tahun 2003 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK).

Mereka menyatakan bahwa dalam pasal 25 Undang-Undang Dasar 1945 menyebutkan 'syarat-syarat untuk menjadi dan untuk diberhentikan sebagai hakim konstitusi ditetapkan dalam Undang-Undang'.

Sementara di pasal 19 UU MK secara tegas telah mengatur pencalonan hakim konstitusi dilaksanakan secara transparan dan partisipatif. Dalam penjelasan pasal 19 UU MK menjelaskan 'calon hakim konstitusi dipublikasikan di media massa baik cetak maupun elektronik, sehingga masyarakat mempunyai kesempatan untuk ikut memberi masukan atas calon hakim yang bersangkutan'.

Koalisi ini terdiri dari Indonesia Corruption Watch, Indonesian Legal Roundtable, Pukat FH UGM, Elsam, LBH Padang dan Yayasan LBH Indonesia.
(kri)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.8702 seconds (0.1#10.140)