Rapuhnya keluarga, penyebab kekerasan pada anak
A
A
A
Sindonews.com - Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) mengungkapkan, dalam kurun waktu setengah tahun pada 2013, terdapat 1.032 kasus kekerasan pada anak dan 54 persennya adalah kekerasan seksual.
Ketua Komnas PA Arist Merdeka Sirait mengatakan, saat ini dengan berbagai kasus yang menimpa pada anak Indonesia belum menjadikan kekerasan pada anak menjadi permasalahan darurat.
Sehingga terjadi pembiaran dan kurang efektif yang dilakukan pemerintah dan DPR selama ini. Selain itu, penegak hukum juga tidak mempunyai pegangan dan aturan yang jelas dalam menangani kasus kekerasan anak.
Dalam hal ini, Komnas PA menuntut kepada pemerintah dan DPR, untuk mengamanden Undang-Undang (UU) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan hukum pidana minimal 20 tahun dan maksimal hukuman seumur hidup.
"Hal ini belum direspon sama sekali, tentunya kami akan tetap meminta penetapan payung hukum ini," kata Arist, saat ditemui di Komnas Anak, di Jakarta, Kamis (18/7/2013).
Terkait hal ini Komnas PA melihat peran Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Menag PP dan PA) tidak menjalankan amanat yang telah ditetapkan dengan baik. Untuk itu, seyogyanya peran ibu negara untuk dapat mengambil alih dan mengkampanyekan bahwa Indonesia menjadi negara darurat kekerasan seksual pada anak.
Disamping itu, setiap RT/RW didaerah juga harus didirikan kelompok kerja yang bergerak dalam menangani kekerasan pada anak dan perempuan untuk dapat menaggulangi. "Jadi ini sifatnya peneguran langsung, jika ada indikasi di suatu rumah atau keluarga yang menjadi pelaku atau korban dari kekerasan pada anak dan perempuan," tegasnya.
Sekjen Komnas PA Samsudin Ridwan mengatakan, saat ini terdapat 59.396.339 kasus pelanggaran hak anak yang bersumber dari pengaduan langsung masyarakat dan pemantauan serta monitoring yang dilakukan media. Pendataan yang dilakukan semenjak 1 januari sampai pada pertengah bulan Juli 70 persen dari jumlah anak 80 juta saat ini mengalami pelanggaran hak.
Menurutnya, dari kasus pelanggaran terbesar yang menimpa anak saat ini ialah 50juta anak Indonesia tidak mempunyai akta kelahiran. Hal ini menandakan bahwa negara menafikan peran dan tanggungjawabnya melalui hak dasar yang seharusnya dimiliki semua anak.
Selain kasus tersebut, terdapat kasus besar lainnya seperti kekerasan pada anak, baik fisik maupun seksual 1.032 kasus, pengguna narkoba 14.000 kasus, perkawinan usia dini pada anak 680 kasus, anak tidak sekolah dan putus sekolah 3 juta, ABH 396 kasus, perdagangan anak 102 kasus dan kasus pekerja pada anak 1,7 juta.
"Yang lainya seperti kasus gizi buruk pada anak 4 juta kasus, kasus pengasuhan dan perwakilan 116 kasus, kasus HIV pada anak 329, kasus akibat konflik tanah dan lahan 102 dan, penculikan 51 kasus dan tawuran 34 kasus," ujarnya.
Samsudin mengatakan, akibat rapuhnya peran keluarga dan masyarakat dinilai mengakibatkan melonjaknya kasus kekerasan seksual pada anak dan serangkaian peristiwa buruk lainnya. Saat ini, tidak ada kemajuan yang dilakukan negara dalam menangani kasus perlindungan anak baik kekerasan maupun perlakuan buruk.
Menurutnya, apa yang dilakukan negara tidak melibatkan masyarakat. Selain itu pemerintah juga tidak melihat fakta di lapangan kasus pelanggaran hak anak. "Masyarakat sangat menunggu program real dan intervensi yang dilakukan negara yang saat ini masih sangat minim. Hal ini menjadi parameter kemunduran pemerintah," kata Samsudin.
Ketua Komnas PA Arist Merdeka Sirait mengatakan, saat ini dengan berbagai kasus yang menimpa pada anak Indonesia belum menjadikan kekerasan pada anak menjadi permasalahan darurat.
Sehingga terjadi pembiaran dan kurang efektif yang dilakukan pemerintah dan DPR selama ini. Selain itu, penegak hukum juga tidak mempunyai pegangan dan aturan yang jelas dalam menangani kasus kekerasan anak.
Dalam hal ini, Komnas PA menuntut kepada pemerintah dan DPR, untuk mengamanden Undang-Undang (UU) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan hukum pidana minimal 20 tahun dan maksimal hukuman seumur hidup.
"Hal ini belum direspon sama sekali, tentunya kami akan tetap meminta penetapan payung hukum ini," kata Arist, saat ditemui di Komnas Anak, di Jakarta, Kamis (18/7/2013).
Terkait hal ini Komnas PA melihat peran Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Menag PP dan PA) tidak menjalankan amanat yang telah ditetapkan dengan baik. Untuk itu, seyogyanya peran ibu negara untuk dapat mengambil alih dan mengkampanyekan bahwa Indonesia menjadi negara darurat kekerasan seksual pada anak.
Disamping itu, setiap RT/RW didaerah juga harus didirikan kelompok kerja yang bergerak dalam menangani kekerasan pada anak dan perempuan untuk dapat menaggulangi. "Jadi ini sifatnya peneguran langsung, jika ada indikasi di suatu rumah atau keluarga yang menjadi pelaku atau korban dari kekerasan pada anak dan perempuan," tegasnya.
Sekjen Komnas PA Samsudin Ridwan mengatakan, saat ini terdapat 59.396.339 kasus pelanggaran hak anak yang bersumber dari pengaduan langsung masyarakat dan pemantauan serta monitoring yang dilakukan media. Pendataan yang dilakukan semenjak 1 januari sampai pada pertengah bulan Juli 70 persen dari jumlah anak 80 juta saat ini mengalami pelanggaran hak.
Menurutnya, dari kasus pelanggaran terbesar yang menimpa anak saat ini ialah 50juta anak Indonesia tidak mempunyai akta kelahiran. Hal ini menandakan bahwa negara menafikan peran dan tanggungjawabnya melalui hak dasar yang seharusnya dimiliki semua anak.
Selain kasus tersebut, terdapat kasus besar lainnya seperti kekerasan pada anak, baik fisik maupun seksual 1.032 kasus, pengguna narkoba 14.000 kasus, perkawinan usia dini pada anak 680 kasus, anak tidak sekolah dan putus sekolah 3 juta, ABH 396 kasus, perdagangan anak 102 kasus dan kasus pekerja pada anak 1,7 juta.
"Yang lainya seperti kasus gizi buruk pada anak 4 juta kasus, kasus pengasuhan dan perwakilan 116 kasus, kasus HIV pada anak 329, kasus akibat konflik tanah dan lahan 102 dan, penculikan 51 kasus dan tawuran 34 kasus," ujarnya.
Samsudin mengatakan, akibat rapuhnya peran keluarga dan masyarakat dinilai mengakibatkan melonjaknya kasus kekerasan seksual pada anak dan serangkaian peristiwa buruk lainnya. Saat ini, tidak ada kemajuan yang dilakukan negara dalam menangani kasus perlindungan anak baik kekerasan maupun perlakuan buruk.
Menurutnya, apa yang dilakukan negara tidak melibatkan masyarakat. Selain itu pemerintah juga tidak melihat fakta di lapangan kasus pelanggaran hak anak. "Masyarakat sangat menunggu program real dan intervensi yang dilakukan negara yang saat ini masih sangat minim. Hal ini menjadi parameter kemunduran pemerintah," kata Samsudin.
(maf)