Panggung pencitraan warnai isu kenaikan harga BBM
A
A
A
Sindonews.com – Tim Prapancha Reaserch (PR) Adi Ahdiat mengatakan, dari hasil riset mereka yang menggunakan media konvensional dan jejaring media sosial, terlihat adanya pergeseran isu kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) kepada aksi panggung pencitraan oleh para aktor politik terkait bantuan langsung sementara masyarakat (BLSM).
Menurutnya, dalam perbincangan sosial media, Dahlan Iskan menempati posisi tertinggi dengan 22.112 mention di media sosial dalam kurun waktu direncanakan dan dilaksanakannya pembagian BLSM 10 persen kicauan paling berpengaruh tentang tokoh ini membicarakannya dalam kaitannya dengan BLSM.
Kemudian diikuti oleh Hatta Rajasa sebesar 9.716 mention (lima persen kicauan paling berpengaruh membicarakannya dalam kaitan dengan BLSM), Gita Wirjawan sebesar 6.865 (tak ada kicauan berpengaruh tentang BLSM) dan Suswono sebesar 5.316 mention (tak ada kicauan berpengaruh tentang BLSM).
Sementara, Tifatul Sembiring 2.838 mention (10 persen kicauan paling berpengaruh membicarakannya dalam kaitan dengan Balsem).
“Bahwa ketika sebelum diumumkan isu seputar BBM teralihkan dengan isu konflik elite dan partai. Setelah diumumkan, isu pemberitaan bergeser ke penggunaan BLSM sebagai panggung politik oleh para elite dan konflik dari pelaku ekonomi seperti pengusaha makanan dan transportasi,” ucapnya kepada wartawan di Kampus Universitas Indonesia (UI), Kamis, 27 Juni 2013 sore.
Sementara itu, peneliti kajian budaya dan pengamat sosial UI Devie Rahmawati menilai, pada kasus kenaikan harga BBM sebanyak dua kali di 2005, sosok pemimpin negara cenderung menjadi sasaran kecaman.
Namun pada kasus kali ini, setidaknya media massa dan publik sosial media yang terpantau olehnya, cenderung tersita pada ketidaktegasan pemerintah, ketidaktertiban aksi unjuk rasa, serta dinamika koalisi yang memunculkan satu aktor antagonis baru di luar partai koalisi maupun oposisi, yakni Partai Keadilan Sejahtera (PKS).
“Manuver PKS cenderung merugikan citranya sendiri. Pemberitaan di media massa yang tertuju kepada PKS pun memperlihatkan sentimen yang semuanya besar negatif. Berita-berita yang berkembang mengesankan PKS tidak berpendirian dan pragmatis mencari keuntungan ganda dari posisinya melawan sekaligus di dalam pemerintahan,” terangnya.
Tapi, lanjutnya, bila dipantau dalam kurun yang lebih luas, isu sikap mendua PKS ini bisa dikatakan menguntungkan citranya. Pasalnya, sebelum isu kenaikan harga BBM, PKS dibicarakan karena skandal korupsinya. Sejak isu BBM ini, PKS dibicarakan karena sikap ambigunya.
“Meski kedua bentuk pembicaraan tersebut sama-sama negatif, yang terakhir tidak memiliki ekses citra seburuk yang pertama,” ungkapnya.
Menurutnya, dalam perbincangan sosial media, Dahlan Iskan menempati posisi tertinggi dengan 22.112 mention di media sosial dalam kurun waktu direncanakan dan dilaksanakannya pembagian BLSM 10 persen kicauan paling berpengaruh tentang tokoh ini membicarakannya dalam kaitannya dengan BLSM.
Kemudian diikuti oleh Hatta Rajasa sebesar 9.716 mention (lima persen kicauan paling berpengaruh membicarakannya dalam kaitan dengan BLSM), Gita Wirjawan sebesar 6.865 (tak ada kicauan berpengaruh tentang BLSM) dan Suswono sebesar 5.316 mention (tak ada kicauan berpengaruh tentang BLSM).
Sementara, Tifatul Sembiring 2.838 mention (10 persen kicauan paling berpengaruh membicarakannya dalam kaitan dengan Balsem).
“Bahwa ketika sebelum diumumkan isu seputar BBM teralihkan dengan isu konflik elite dan partai. Setelah diumumkan, isu pemberitaan bergeser ke penggunaan BLSM sebagai panggung politik oleh para elite dan konflik dari pelaku ekonomi seperti pengusaha makanan dan transportasi,” ucapnya kepada wartawan di Kampus Universitas Indonesia (UI), Kamis, 27 Juni 2013 sore.
Sementara itu, peneliti kajian budaya dan pengamat sosial UI Devie Rahmawati menilai, pada kasus kenaikan harga BBM sebanyak dua kali di 2005, sosok pemimpin negara cenderung menjadi sasaran kecaman.
Namun pada kasus kali ini, setidaknya media massa dan publik sosial media yang terpantau olehnya, cenderung tersita pada ketidaktegasan pemerintah, ketidaktertiban aksi unjuk rasa, serta dinamika koalisi yang memunculkan satu aktor antagonis baru di luar partai koalisi maupun oposisi, yakni Partai Keadilan Sejahtera (PKS).
“Manuver PKS cenderung merugikan citranya sendiri. Pemberitaan di media massa yang tertuju kepada PKS pun memperlihatkan sentimen yang semuanya besar negatif. Berita-berita yang berkembang mengesankan PKS tidak berpendirian dan pragmatis mencari keuntungan ganda dari posisinya melawan sekaligus di dalam pemerintahan,” terangnya.
Tapi, lanjutnya, bila dipantau dalam kurun yang lebih luas, isu sikap mendua PKS ini bisa dikatakan menguntungkan citranya. Pasalnya, sebelum isu kenaikan harga BBM, PKS dibicarakan karena skandal korupsinya. Sejak isu BBM ini, PKS dibicarakan karena sikap ambigunya.
“Meski kedua bentuk pembicaraan tersebut sama-sama negatif, yang terakhir tidak memiliki ekses citra seburuk yang pertama,” ungkapnya.
(kur)