Perempuan dalam dunia politik
A
A
A
Sindonesws.com - Kendati perempuan telah masuk dan duduk di dunia politik namun perannya belum dinilai maksimal. Pasalnya, terdapat sejumlah kendala yang menghambat langkah perempuan dalam dunia politik.
Misalnya saja kendala dalam pribadi yang bersangkutan. Atau dengan kata lain kurangnya kesadaran dari perempuan yang berkecimpung dalam politik untuk lebih peka terhadap pengambilan kebijakan.
"Kendala lainnya karena adanya aturan dalam patai politik tertentu yang tidak memperbolehkan perempuan untuk duduk di pucuk pimpinan atau di lini tertentu," kata peneliti Pusat Kajian Politik Departemen Ilmu Politik (Puskapol) Universitas Indonesia (UI), Dirga Ardiansa, di Fisip UI, Depok, Kamis (20/6/2013).
Kendala lain yang dicatat Puskapol UI yaitu, pada proses pemilihan dalam pencalonan hingga peran mereka sebagai representasi perempuan Indonesia di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
"Misalnya saja pada pemilihan 2009 partisipasi calon legislatif perempuan memang sudah sesuai dengan Undang-undang yang mengharuskan 30 persen perempuan, yaitu 33,6 persen. Namun, jumlah yang tidak signifikan itu hanya lolos meraih kursi anggota DPR RI hanya sebanyak 18.4 persen atau 103 kursi dari 663 anggota DPR," ucapnya.
Menurut dia, salah satu akibatnya dikarenakan penempatan nomor urut. Dalam pemilihan nomor urut 1 selalu ditempat laki-laki. Dikatakan penentuan nomor urut sangat mentukan tingkat keterpilihan perempuan.
Berdasarkan pemilihan umum 2009, sebanyak 93 persen caleg perempuan DPR RI yang lolos adalah yang bernomor urut 1-3. Semntara di DPRD Provinsi ada 85 persen dan DPRD Kota/Kabupaten 82 persen. Hal ini menandakan tingginya tingkat keterpilihan mereka sesuai nomor urut. "Jadi nomor urut itu penting dan mendukung," ungkapnya.
Misalnya saja kendala dalam pribadi yang bersangkutan. Atau dengan kata lain kurangnya kesadaran dari perempuan yang berkecimpung dalam politik untuk lebih peka terhadap pengambilan kebijakan.
"Kendala lainnya karena adanya aturan dalam patai politik tertentu yang tidak memperbolehkan perempuan untuk duduk di pucuk pimpinan atau di lini tertentu," kata peneliti Pusat Kajian Politik Departemen Ilmu Politik (Puskapol) Universitas Indonesia (UI), Dirga Ardiansa, di Fisip UI, Depok, Kamis (20/6/2013).
Kendala lain yang dicatat Puskapol UI yaitu, pada proses pemilihan dalam pencalonan hingga peran mereka sebagai representasi perempuan Indonesia di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
"Misalnya saja pada pemilihan 2009 partisipasi calon legislatif perempuan memang sudah sesuai dengan Undang-undang yang mengharuskan 30 persen perempuan, yaitu 33,6 persen. Namun, jumlah yang tidak signifikan itu hanya lolos meraih kursi anggota DPR RI hanya sebanyak 18.4 persen atau 103 kursi dari 663 anggota DPR," ucapnya.
Menurut dia, salah satu akibatnya dikarenakan penempatan nomor urut. Dalam pemilihan nomor urut 1 selalu ditempat laki-laki. Dikatakan penentuan nomor urut sangat mentukan tingkat keterpilihan perempuan.
Berdasarkan pemilihan umum 2009, sebanyak 93 persen caleg perempuan DPR RI yang lolos adalah yang bernomor urut 1-3. Semntara di DPRD Provinsi ada 85 persen dan DPRD Kota/Kabupaten 82 persen. Hal ini menandakan tingginya tingkat keterpilihan mereka sesuai nomor urut. "Jadi nomor urut itu penting dan mendukung," ungkapnya.
(maf)