Jadi gubes pertama, Haula siap mengabdi pada negara
A
A
A
Sindonews.com - Universitas Indonesia (UI) kini mempunyai guru besar (gubes) tetap ilmu kebijakan pajak Fakultas Imu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) UI. Haula Rosdiana dikukuhkan di Balai Sidang UI, sekaligus membuat perempuan kelahiran Bogor, 5 Januari 1971 itu sebagai guru besar perempuan pertama di Indonesia di bidang perpajakan.
Haulia menyatakan, ia selalu mengedepankan idealisme dalam menjalankan peranannya di bidang perpajakan. Maka itu, ia selalu berjuang untuk kepentingan masyarakat. Perjuangan itu dilakukan melalui kajian dan penelitian.
"Saya bersyukur dan saya juga tidak menganggap predikat sebagai guru besar perempuan pertama di bidang perpajakan ini sebagai beban. Saya juga tidak menganggap yang paling pintar. Saya menganggap ini sebagai awal pengabdian kepada negara," ujarnya kepada wartawan, Rabu (12/6/2013).
Penelitian yang ia lakukan, di antaranya adalah kajian tentang diterapkan pajak untuk batu mulia sebesar 75 persen. Pajak itu membuat pengrajin batu mulia gulung tikar. Kemudian juga tentang penolakannya terhadap pemberian subsidi untuk daging. Ketidakikutsertaannya dalam pembahasan RUU Pajak Pertambahan Nilai (PPN) tahun 2009.
"Kasus pajak itu umumnya menjadi naskah akademik. Saya juga menjadi staf ahli di dewan. Namun untuk RUU PPN saya tidak ikut-ikutan. Pembuatan UU itu hanya kejar target. Konsep PPN tidak dikuasai. Akibatnya PPN ada penurunan," tuturnya.
Dalam disertasinya, ia menuliskan, jika Indonesia banyak memiliki aturan pungutan pajak. Namun pungutan pajak itu tidak dikelola dengan sistem yang baik. Ini terjadi karena semua kementerian dibebani target pajak. Seharusnya pungutan pajak itu disederhanakan dengan membangun lembaga satu atap.
"Dengan begitu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tidak perlu mencaritahu berapa penerimaan pajak. Pak Presiden jadinya hanya fokus menciptakan keamanan dan menciptakan sistem ekonomi yang baik dan kondusif," ujar dosen inti penelitian UI itu.
Haula menyatakan, bahwa dengan sistem pungutan pajak disederhanakan maka daya saing akan meningkat dan penerimaan negara pun akan meningkat. Contohnya pajak PPh itu enam persen.
"Kemudian sebuah industri telekomunikasi beromzet triliunan. Pajaknya itu tidak diminta dimuka melainkan diakhir tahun. Dengan begitu pajak yang diterima pemerintah lebih besar," tutupnya.
Haulia menyatakan, ia selalu mengedepankan idealisme dalam menjalankan peranannya di bidang perpajakan. Maka itu, ia selalu berjuang untuk kepentingan masyarakat. Perjuangan itu dilakukan melalui kajian dan penelitian.
"Saya bersyukur dan saya juga tidak menganggap predikat sebagai guru besar perempuan pertama di bidang perpajakan ini sebagai beban. Saya juga tidak menganggap yang paling pintar. Saya menganggap ini sebagai awal pengabdian kepada negara," ujarnya kepada wartawan, Rabu (12/6/2013).
Penelitian yang ia lakukan, di antaranya adalah kajian tentang diterapkan pajak untuk batu mulia sebesar 75 persen. Pajak itu membuat pengrajin batu mulia gulung tikar. Kemudian juga tentang penolakannya terhadap pemberian subsidi untuk daging. Ketidakikutsertaannya dalam pembahasan RUU Pajak Pertambahan Nilai (PPN) tahun 2009.
"Kasus pajak itu umumnya menjadi naskah akademik. Saya juga menjadi staf ahli di dewan. Namun untuk RUU PPN saya tidak ikut-ikutan. Pembuatan UU itu hanya kejar target. Konsep PPN tidak dikuasai. Akibatnya PPN ada penurunan," tuturnya.
Dalam disertasinya, ia menuliskan, jika Indonesia banyak memiliki aturan pungutan pajak. Namun pungutan pajak itu tidak dikelola dengan sistem yang baik. Ini terjadi karena semua kementerian dibebani target pajak. Seharusnya pungutan pajak itu disederhanakan dengan membangun lembaga satu atap.
"Dengan begitu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tidak perlu mencaritahu berapa penerimaan pajak. Pak Presiden jadinya hanya fokus menciptakan keamanan dan menciptakan sistem ekonomi yang baik dan kondusif," ujar dosen inti penelitian UI itu.
Haula menyatakan, bahwa dengan sistem pungutan pajak disederhanakan maka daya saing akan meningkat dan penerimaan negara pun akan meningkat. Contohnya pajak PPh itu enam persen.
"Kemudian sebuah industri telekomunikasi beromzet triliunan. Pajaknya itu tidak diminta dimuka melainkan diakhir tahun. Dengan begitu pajak yang diterima pemerintah lebih besar," tutupnya.
(mhd)