Istana: Toleransi bukan urusan negara
A
A
A
Sindonews.com - Staf Khusus Presiden bidang Komunikasi Politik Daniel Sparringa mengatakan, toleransi merupakan isu problematis di semua masyarakat majemuk. Isu ini merupakan sesuatu yang menjadi wilayah masyarakat, bukan negara, lebih khusus lagi pemerintah.
“Toleransi adalah sebuah konsep yang menggambarkan pemuliaan pada perbedaan dan atau kebedaan. Ihwal ini berhubungan dengan nilai-nilai dan etika, keduanya merupakan dua isu yang berwilayah di masyarakat,” kata Daniel di Jakarta, Senin (27/5/2013), sebagaimana dilansir laman Setkab.
Daniel mengatakan, memburuknya intoleransi dalam masa pemerintahan SBY merupakan konsekuensi logis, sebagai dampak dari keterbukaan kebebasan. “Inilah sesunggunya gambaran yang paling nyata dari masyarakat majemuk kita, yang kerap coba kita tutupi sendiri,” jelas Daniel.
Ia menyebutkan, di masa Orde Baru, ketegangan inheren masyarakat majemuk dikendalikan oleh negara melalui kontrol yang kuat atas kebebasan pers, berbicara, dan berekspresi. “Kita tidak melihat intoleransi dengan mata telanjang. Kita juga praktis tidak melihat kekerasan bermotifkan perbedaan paham keagamaan, karena semuanya dalam kendali represif negara,” ungkap dosen Sosiologi Universitas Airlangga itu.
Apa yang dulu laten, lanjut Daniel, sekarang menjadi sangat manifes. Apa yang dulu tampak rukun dan damai, sekarang menjadi sesuatu yang harus diupayakan. "Sering dengan insiden yang menggambarkan kegagalan kita dalam memelihara harmoni dan mengelola kemajemukan," kata Daniel.
“Itulah gambaran masyarakat majemuk kita saat ini, inilah yang menurut saya merupakan situasi nol kilometer kita dalam ihwal itu, inilah tantangan kita yang sesungguhnya dari masyarakat majemuk kita,” papar Daniel.
Masyarakat majemuk di mana pun, lanjutnya, menyimpan sumber ketegangan yang tersembunyi. “Kita memang patut merayakan kemajemukan, namun juga dengan kesadaran bahwa kita juga perlu mengelolanya secara berhati-hati,” tutur Daniel.
Daniel mengakui, negara memang punya kontribusi dalam menciptakan wajah Indonesia yang terlihat ugly akhir-akhir ini. Namun ia mengingatkan, negara praktis tidak memiliki instrumen yang memadai untuk mencegah, apalagi menindak, berbagai bentuk seruan dan ajakan yang di dalamnya mengandung hasutan dengan tujuan menyebar kebencian dan atau permusuhan yang berbasiskan perbedaan agama, keyakinan, dan atau etnik.
“Tidak ada undang-undang yang dengan sangat jelas memberi kewenangan kepada kepolisian untuk menyeret seseorang karena ihwal itu,” pungkas Daniel.
“Toleransi adalah sebuah konsep yang menggambarkan pemuliaan pada perbedaan dan atau kebedaan. Ihwal ini berhubungan dengan nilai-nilai dan etika, keduanya merupakan dua isu yang berwilayah di masyarakat,” kata Daniel di Jakarta, Senin (27/5/2013), sebagaimana dilansir laman Setkab.
Daniel mengatakan, memburuknya intoleransi dalam masa pemerintahan SBY merupakan konsekuensi logis, sebagai dampak dari keterbukaan kebebasan. “Inilah sesunggunya gambaran yang paling nyata dari masyarakat majemuk kita, yang kerap coba kita tutupi sendiri,” jelas Daniel.
Ia menyebutkan, di masa Orde Baru, ketegangan inheren masyarakat majemuk dikendalikan oleh negara melalui kontrol yang kuat atas kebebasan pers, berbicara, dan berekspresi. “Kita tidak melihat intoleransi dengan mata telanjang. Kita juga praktis tidak melihat kekerasan bermotifkan perbedaan paham keagamaan, karena semuanya dalam kendali represif negara,” ungkap dosen Sosiologi Universitas Airlangga itu.
Apa yang dulu laten, lanjut Daniel, sekarang menjadi sangat manifes. Apa yang dulu tampak rukun dan damai, sekarang menjadi sesuatu yang harus diupayakan. "Sering dengan insiden yang menggambarkan kegagalan kita dalam memelihara harmoni dan mengelola kemajemukan," kata Daniel.
“Itulah gambaran masyarakat majemuk kita saat ini, inilah yang menurut saya merupakan situasi nol kilometer kita dalam ihwal itu, inilah tantangan kita yang sesungguhnya dari masyarakat majemuk kita,” papar Daniel.
Masyarakat majemuk di mana pun, lanjutnya, menyimpan sumber ketegangan yang tersembunyi. “Kita memang patut merayakan kemajemukan, namun juga dengan kesadaran bahwa kita juga perlu mengelolanya secara berhati-hati,” tutur Daniel.
Daniel mengakui, negara memang punya kontribusi dalam menciptakan wajah Indonesia yang terlihat ugly akhir-akhir ini. Namun ia mengingatkan, negara praktis tidak memiliki instrumen yang memadai untuk mencegah, apalagi menindak, berbagai bentuk seruan dan ajakan yang di dalamnya mengandung hasutan dengan tujuan menyebar kebencian dan atau permusuhan yang berbasiskan perbedaan agama, keyakinan, dan atau etnik.
“Tidak ada undang-undang yang dengan sangat jelas memberi kewenangan kepada kepolisian untuk menyeret seseorang karena ihwal itu,” pungkas Daniel.
(lal)