Pengamat: Zulkarnaen Djabar tidak bisa dikategorikan pelaku korupsi
Kamis, 18 April 2013 - 18:48 WIB

Pengamat: Zulkarnaen Djabar tidak bisa dikategorikan pelaku korupsi
A
A
A
Sindonews.com - Ahli Hukum Pidana Universitas Trisakti Dian Adriawan menyatakan terdakwa dugaan korupsi pengadaan Alquran di Kementrian Agama (Kemenag) Zulkarnaen Djabar tidak bisa dikategorikan pelaku korupsi.
Menurut dia, Zulkarnaen Djabar yang kapasitasnya sebagai anggota DPR RI itu hanya memperdagangkan jabatannya sebagai penyelenggara negara dan itu tidak termasuk dari bagian korupsi pada kasus proyek pengadaan Alquran.
Dia menjelaskan, posisi Zulkarnaen dalam kasus tersebut hanya sebagai perantara dalam pemenangan proyek pengadaan Alquran tersebut bukanlah bagian dari korupsi.
"Kalau dalam konvensi internasional itu memang kategori korupsi, tetapi di Indonesia hal seperti itu belum ada aturannya," tegas Dian saat memberikan keterangan ahli dalam sidang lanjutan perkara dugaan korupsi Zulkarnaen Djabar dan anaknya Dendy Prasetya di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (18/4/2013).
Dia menambahkan, keterlibatan Zulkarnaen dalam menggunakan pengaruhnya sebagai anggota legislatif bukanlah merugikan negara, dan dalam hal tersebut tidak memenuhi unsur tindak pidana korupsi.
Menurut dia, posisi terdakwa Zulkarnaen dalam memperlancar urusan pihak swasta lain dalam proses pemenangan proyek pengadaan Alquran tersebut hanyalah sebatas memperdagangkan jabatan, dimana saat ini belum termaktub dalam aturan korupsi.
"Saya melihat tidak terpenuhi unsur korupsi, hanya ada suatu perbuatan memperdagangkan pengaruh, memperlancar urusan di eksekutif," ungkapnya.
Dia menuturkan, dalam kasus tersebut tidak terdapat kerugian negara, dan tentunya tidak bisa dikategorikan korupsi karena belum adanya ketentuan dalam Undang-Undang (UU) tipikor. Zulkarnaen yang hanya melakukan perbuatan memperdagangkan pengaruh tersebut tidak bisa dijerat dengan Pasal 5 dan 12 UU Tipikor.
Dalam hal penerimaan suap, imbuhnya, harus dilihat secara ril, artinya terdapat fakta yang melibatkan, atau melakukan perbuatan yang bertentangan dengan kewajibannya.
Dia juga berpendapat bahwa Zulkarnaen tidak bisa dikatakan penerima suap, karena dalam hal tersebut harus ada pihak pemberi suap, dan ada juga penerima suap. Dia menyatakan, penegak hukum tidak bisa membuat penafsiran tentang perbuatan memperdagangkan jabatan itu sebagai korupsi.
"Tentunya tidak bisa membuat penafsiran, perbuatan memperdagangkan pengaruh tidak relefan dengan tindak pidana korupsi," tegasnya lagi.
Seperti diketahui, Zulkarnaen Djabar dan Dendy Prasetya, didakwa menerima hadiah sebesar Rp14.390.000.000 terkait kapasitasnya sebagai anggota Badan Anggaran (Banggar) DPR RI yang telah menyetujui anggaran Kemenag.
Ayah dan anak tersebut diduga telah mengupayakan sejumlah perusahaan untuk menjadi pemenang dalam proyek pengadaan laboratorium komputer di Ditjen Pendidikan Islam tahun 2011 senilai Rp31,2 miliar, pengadaan penggandaan Alquran di Ditjen Bimas Islam tahun 2011 senilai Rp 22 miliar dan penggandaan Alquran di Ditjen Bimas Islam tahun 2012 senilai Rp50 miliar.
Menurut dia, Zulkarnaen Djabar yang kapasitasnya sebagai anggota DPR RI itu hanya memperdagangkan jabatannya sebagai penyelenggara negara dan itu tidak termasuk dari bagian korupsi pada kasus proyek pengadaan Alquran.
Dia menjelaskan, posisi Zulkarnaen dalam kasus tersebut hanya sebagai perantara dalam pemenangan proyek pengadaan Alquran tersebut bukanlah bagian dari korupsi.
"Kalau dalam konvensi internasional itu memang kategori korupsi, tetapi di Indonesia hal seperti itu belum ada aturannya," tegas Dian saat memberikan keterangan ahli dalam sidang lanjutan perkara dugaan korupsi Zulkarnaen Djabar dan anaknya Dendy Prasetya di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (18/4/2013).
Dia menambahkan, keterlibatan Zulkarnaen dalam menggunakan pengaruhnya sebagai anggota legislatif bukanlah merugikan negara, dan dalam hal tersebut tidak memenuhi unsur tindak pidana korupsi.
Menurut dia, posisi terdakwa Zulkarnaen dalam memperlancar urusan pihak swasta lain dalam proses pemenangan proyek pengadaan Alquran tersebut hanyalah sebatas memperdagangkan jabatan, dimana saat ini belum termaktub dalam aturan korupsi.
"Saya melihat tidak terpenuhi unsur korupsi, hanya ada suatu perbuatan memperdagangkan pengaruh, memperlancar urusan di eksekutif," ungkapnya.
Dia menuturkan, dalam kasus tersebut tidak terdapat kerugian negara, dan tentunya tidak bisa dikategorikan korupsi karena belum adanya ketentuan dalam Undang-Undang (UU) tipikor. Zulkarnaen yang hanya melakukan perbuatan memperdagangkan pengaruh tersebut tidak bisa dijerat dengan Pasal 5 dan 12 UU Tipikor.
Dalam hal penerimaan suap, imbuhnya, harus dilihat secara ril, artinya terdapat fakta yang melibatkan, atau melakukan perbuatan yang bertentangan dengan kewajibannya.
Dia juga berpendapat bahwa Zulkarnaen tidak bisa dikatakan penerima suap, karena dalam hal tersebut harus ada pihak pemberi suap, dan ada juga penerima suap. Dia menyatakan, penegak hukum tidak bisa membuat penafsiran tentang perbuatan memperdagangkan jabatan itu sebagai korupsi.
"Tentunya tidak bisa membuat penafsiran, perbuatan memperdagangkan pengaruh tidak relefan dengan tindak pidana korupsi," tegasnya lagi.
Seperti diketahui, Zulkarnaen Djabar dan Dendy Prasetya, didakwa menerima hadiah sebesar Rp14.390.000.000 terkait kapasitasnya sebagai anggota Badan Anggaran (Banggar) DPR RI yang telah menyetujui anggaran Kemenag.
Ayah dan anak tersebut diduga telah mengupayakan sejumlah perusahaan untuk menjadi pemenang dalam proyek pengadaan laboratorium komputer di Ditjen Pendidikan Islam tahun 2011 senilai Rp31,2 miliar, pengadaan penggandaan Alquran di Ditjen Bimas Islam tahun 2011 senilai Rp 22 miliar dan penggandaan Alquran di Ditjen Bimas Islam tahun 2012 senilai Rp50 miliar.
(kri)