KPU & Bawaslu beda tafsir soal UU Pemilu
A
A
A
Sindonews.com - Komisi Pemilihan Umum (KPU) kembali menjalani persidangan di Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), karena dugaan pelanggaran kode etik yang dilayangkan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan Correct Jakarta.
Dalam sidang beragendakan mendengarkan keterangan ahli ini, pakar hukum tata negara Universitas Andalas, Saldi Isra menilai, jika sengketa di kedua penyelenggara pemilu ini dapat terjadi karena adanya perbedaan penafsiran.
Menurut Saldi, perbedaan penafsiran itu mengenai Undang-undang (UU) Pemilu Nomor 8/2012 khususnya pada pasal 259 ayat 1, 2, dan 3.
"Pasal 259 ayat 1 memang dibelah jadi dua. Ada pasal atau frasa yang setiap putusan yang diambil bersifat final dan mengikat. Tapi ada pengecualian mengenai verifikasi faktual dan daftar calon tetap (DCT)," kata Saldi dalam persidangan di ruang sidang DKPP, Jalan MH Thamrin, Jakarta Pusat, Rabu (10/4/2013).
Dikatakan dia, meski ada perbedaan dalil yang digunakan oleh dua institusi itu, namun menurutnya KPU tidak menyalahi UU meski tidak melaksanakan putusan Bawaslu mengenai hasil sidang ajudikasi dengan merekomendasikan Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI) menjadi peserta Pemilu 2014.
"Dalam pembahasan saya, tidak salah kalau KPU tidak melaksanakan itu karena dikecualikan pasal 259 ayat 1. Kemungkinan KPU tidak melaksanakan diatur dalam pasal 259 ayat 3," terangnya.
Lebih lanjut dirinya menerangkan, sulit bagi Bawaslu menyatakan KPU telah melanggar kode etik, ini karena putusan mereka tidak bersifat inkrah. "Kalau tidak dilaksanakan, ada ruang (gugatan) ke PT TUN (Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara)," jelasnya.
Untuk diketahui, sidang DKPP ini adalah sidang yang ketiga sengketa Bawaslu dengan KPU. Dalam sidang kali ini seluruh komisioner lembaga pemilihan ini pun terlihat hadir mengikuti jalannya persidangan.
Dalam sidang beragendakan mendengarkan keterangan ahli ini, pakar hukum tata negara Universitas Andalas, Saldi Isra menilai, jika sengketa di kedua penyelenggara pemilu ini dapat terjadi karena adanya perbedaan penafsiran.
Menurut Saldi, perbedaan penafsiran itu mengenai Undang-undang (UU) Pemilu Nomor 8/2012 khususnya pada pasal 259 ayat 1, 2, dan 3.
"Pasal 259 ayat 1 memang dibelah jadi dua. Ada pasal atau frasa yang setiap putusan yang diambil bersifat final dan mengikat. Tapi ada pengecualian mengenai verifikasi faktual dan daftar calon tetap (DCT)," kata Saldi dalam persidangan di ruang sidang DKPP, Jalan MH Thamrin, Jakarta Pusat, Rabu (10/4/2013).
Dikatakan dia, meski ada perbedaan dalil yang digunakan oleh dua institusi itu, namun menurutnya KPU tidak menyalahi UU meski tidak melaksanakan putusan Bawaslu mengenai hasil sidang ajudikasi dengan merekomendasikan Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI) menjadi peserta Pemilu 2014.
"Dalam pembahasan saya, tidak salah kalau KPU tidak melaksanakan itu karena dikecualikan pasal 259 ayat 1. Kemungkinan KPU tidak melaksanakan diatur dalam pasal 259 ayat 3," terangnya.
Lebih lanjut dirinya menerangkan, sulit bagi Bawaslu menyatakan KPU telah melanggar kode etik, ini karena putusan mereka tidak bersifat inkrah. "Kalau tidak dilaksanakan, ada ruang (gugatan) ke PT TUN (Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara)," jelasnya.
Untuk diketahui, sidang DKPP ini adalah sidang yang ketiga sengketa Bawaslu dengan KPU. Dalam sidang kali ini seluruh komisioner lembaga pemilihan ini pun terlihat hadir mengikuti jalannya persidangan.
(maf)