Menunggu pemimpin profetik dengan kecerdasan sosial
A
A
A
Praktik korupsi yang belakangan mulai melibatkan elite partai berlatar belakang gerakan keagamaan mengindikasikan pola rekrutmen tidak sehat, kesalahan (baca: dosa) kolektif, selain praktik keagamaan dengan ketuhanan utopis.
Surga-neraka seolah merupakan wilayah dunia antah berantah dengan Tuhan tak tersentuh. Korupsi dipandang sebagai bukan dosa besar yang tidak mungkin memperoleh ampunan Allah. Menelantarkan rakyat dan umat bukan sebuah maksiat atau dosa, melainkan sekadar sebuah kekeliruan kecil seperti salah-ucap (slip of the tongue). Dalam situasi demikian, rakyat negeri ini merindukan kehadiran pemimpin yang memiliki kesadaran profetik dan keberpihakan humanis dengan kecerdasan sosial tinggi.
Suatu kecerdasan yang meletakkan dosa-pahala sebagai wilayah empirik tentang kemampuan memenuhi kebutuhan sebagian besar warga yang tidak beruntung alias miskin, papa, dan menderita. Tuhan bukan sesuatu yang jauh, surga-neraka bukan wilayah utopis, melainkan hadir dalam praksis kehidupan sehari-hari. Pemimpin dengan kecerdasan sosial tinggi demikian tidak meletakkan jabatan sebagai kehormatan dengan sejumlah aksesori protokoler dan ajudan.
Pemimpin berkecerdasan sosial tinggi menempatkan diri sebagai manusia biasa dengan tanggung jawab sosial-politik yang setiap saat tampil bersama rakyat dan umat yang dipimpin. Pemimpin yang terus membuka diri berdialog dengan rakyat tanpa aksesori protokoler yang sering menjadi penghalang rakyat berhubungan langsung dengan sang pemimpin. Pemimpin berkecerdasan sosial tinggi itulah yang disebut pemimpin profetik yang menyatu dengan jiwa rakyat dan umat.
Secara sosiologis ia berbeda dengan pemimpin imam yang lebih cenderung mengurusi Tuhan utopis sehingga tidak jarang menjadikan umatnya sebagai tumbal surgawi. Di mana posisi pemimpin profetik dalam berbagai survei tentang calon presiden negeri ini? Sayang, survei-survei yang dilakukan berbagai lembaga belum memasukkan kecerdasan sosial sebagai salah satu variabel yang patut dilacak dalam dunia empirik. Kendati demikian, bukan berarti nama-nama yang beredar dalam berbagai survei tidak ada yang memiliki kecerdasan sosial tinggi.
Soalnya, bagaimana mengenali kecerdasan sosial seseorang calon pemimpin? Larisnya lembaga survei mengenai elektabilitas partai dan sosok seseorang sebagai calon presiden menjadi salah satu penanda negeri ini merindukan pemimpin baru.
Soalnya, apakah pemimpin baru yang lahir dari proses demokrasi Pemilihan Umum Presiden 2014 nanti dijamin bisa mengangkat harkat dan martabat sebagian besar rakyat yang hingga kini belum menikmati hidup layak dalam alam yang merdeka? Hanya pemimpin dengan kecerdasan sosial tinggi yang memiliki kemampuan memahami kebutuhan rakyat banyak dan bersedia secara gigih (tanpa pamrih) memperjuangkan pemenuhan kebutuhan rakyatnya terutama yang miskin dan menderita tersebut.
Korupsi yang melibatkan orang-orang berlatar belakang pendidikan tinggi, pemimpin gerakan keagamaan, atau partai berbasis keagamaan, mendorong banyak orang mulai mencari penjelasan dari sudut pandang ekstrem. Sementara pertumbuhan ekonomi tinggi negeri ini ternyata bukan indikasi rakyat miskin memperoleh layanan kesehatan memadai. Rakyat miskin seolah dilarang sakit, dilarang bersekolah, dan dilarang cerdas.
Konstitusi memang memberi mandat pada negara untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, namun faktanya banyak rakyat miskin yang gagal bersekolah dan gagal berobat di tengah tebaran iklan pendidikan gratis. Praktik bernegara dan beragama utopis tidak bisa menjamin pengelolaan kehidupan bersama menjadi lebih nyaman bagi semua orang. Kecerdasan inteligensi tinggi tidak memberi jaminan seseorang bertindak lebih bijak dan arif dalam kehidupan sosial.
Di sini pandangan Socrates lebih 2000 tahun lalu mengenai fungsi ilmu atau filsafat sebagai penggesa hidup manusia lebih bijak dan lebih cerdas menjadi penting. Kuncinya terletak pada penempatan ilmu (filsafat) bukan sekadar instrumen pencapaian material kehidupan, melainkan pencarian kebajikan dan pengembangan hidup bajik itu sendiri. Ironisnya, jalan ilmu atau filsafat yang bisa membuat hidup bersama berbangsa ini lebih nyaman dan lebih bajik adalahjalansulitnansunyitanpa aksesori indah.
Sementara jalan indah penuh aksesori yang mengundang selera dan syahwat adalah jalan politik dan kekuasaan. Jalan ilmu dan filsafat adalah jalan panjang bagai pohon yang lama berbuah. Jika berbuah, rasanya kadang pahit. Barulah jika diolah melalui proses yang rumit, buah ilmu itu terasa lezat yang bisa membuat ketagihan. Akibatnya, banyak orang lebih bersyahwat meniti jalan politik dan kekuasaan daripada jalan filsafat dan ilmu, lebih-lebih lagi menjelang tahun politik 2014.
Dalam situasi demikian itulah banyak orang mulai mencari tolok ukur kepemimpinan yang bisa membawa bangsa ini menjadi lebih makmur dan berkeadilan. Secara berseloroh seorang teman melontarkan gagasan kecerdasan sosial sebagai basis utama kepemimpinan ideal. Pemimpin yang memilih jalan praksis ilmu dan filsafat guna mencapai kearifan dan kecerdasan sekaligus.
Berbeda dari kecerdasan inteligensi yang sudah berlaku berabadabad dengan baku-uji terukur, kecerdasan sosial belum banyak dikenal dan belum banyak menjadi fokus kajian. Kecerdasan sosial lebih banyak berkaitan dengan persoalan kepemimpinan dalam kehidupan bersama dalam sebuah formula kebangsaan dan kenegaraan.
Kecerdasan inteligensi seseorang tidak menjamin yang bersangkutan berhasil menjalani hidup sosialnya. Sukses sosial seseorang dengan kecerdasan inteligensi tinggi masih memerlukankecerdasanemosional agar bisa berkomunikasi dengan orang lain atau kelompok lain secara lebih baik. Namun, bagi orang yang menghadapi persoalan rumit yang belum pernah dihadapi sebelumnya yang membutuhkan sikap dan daya kritis tinggi, kecerdasan lain yang dikenal sebagai kecerdasan spiritual diperlukan.
Kemampuan orang yang memiliki kecerdasan spiritual disebut para ahli sebagai fungsi variabel “Titik Tuhan” atau “God Spot”. Mereka yang memiliki kepedulian sosial tinggi sekaligus dikaruniai “Titik Tuhan” karena mampu menerobos melampaui tradisi (birokrasi dan lainnya) menyatu dengan jiwa rakyat hampir tanpa batas guna mencapai tujuan kolektif. Itulah pemilik kecerdasan sosial.
Seorang kepala daerah tanpa aksesori yang blusukan ke loronglorong kumuh untuk mengerti rakyatnya, tidak segan masuk gorong-gorong, menyeberang jembatan yang mau roboh ikut merasakan kegetiran warganya, tanpa pengawal dan protokoler, merupakan beberapa contoh yang memberi indikasi kepemilikan kecerdasan sosial tinggi. Kepemimpinan profetik mendahulukan kepentingan publik menempatkan birokrasi dan lembaga sebagai alat memenuhi kepentingan publik.
Jika perlu, pemimpin profetik itu melakukan tindakan yang bahkan melampaui tradisi birokrasi menciptakan tradisi dan tata-nilai baru yang tidak lazim pada zamannya. Indikasi sosok pemimpin profetik demikian akan terlihat dari respons warga yang muncul dari berbagai kelompok melampaui batas-batas etnis, keagamaan, dan partai. Seperti seorang nabi, meski memperoleh mandat Tuhan, ia hidup menyatu dengan sesama sebagai manusia biasa membangun tradisi baru menerobos melampaui tradisi pada zamannya. Dalam dunia pewayangan kita kenal tokoh Semar, seorang dewa yang menjalani hidup sebagai pelayan para ksatria.
Semarlah yang sebenar- benarnya sang pemimpin. Perilaku profetiknya menjadi dasar bagi semua orang untuk menempatkannya sebagai bagian dari hidupnya sebagai wonge dewe (Jawa), wong kito (Palembang), orang kita. Sosok pemimpin profetik demikian menjadi milik bersama diakui sebagai bagian kehidupan melampaui batas-batas etnis, keberagamaan, dan keberpartaian. Jalan sunyi kepemimpinan profetik tersebut secara primordial lebih dikenal sebagai almahdiatau satrio piningit(Jawa) yang semakin hari semakin dirindukan kehadirannya.
Siapa mau meniti jalan sunyi kekuasaan sebagai pemimpin profetik bagai dewata yang mewujud sebagai pelayan rakyat seperti Semar? Mungkin muncul pada 2014 atau sekadar sebuah harapan. Lumayan ... Sekurangnya masih ada harapan, ada asa, bukan putus asa!.
ABDUL MUNIR MULKHAN
Komisioner Komnas HAM 2007- 2012, Wakil Sekretaris Pimpinan Pusat Muhammadiyah 2000-2005, Guru Besar Fakultas Tarbiyah & Keguruan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Surga-neraka seolah merupakan wilayah dunia antah berantah dengan Tuhan tak tersentuh. Korupsi dipandang sebagai bukan dosa besar yang tidak mungkin memperoleh ampunan Allah. Menelantarkan rakyat dan umat bukan sebuah maksiat atau dosa, melainkan sekadar sebuah kekeliruan kecil seperti salah-ucap (slip of the tongue). Dalam situasi demikian, rakyat negeri ini merindukan kehadiran pemimpin yang memiliki kesadaran profetik dan keberpihakan humanis dengan kecerdasan sosial tinggi.
Suatu kecerdasan yang meletakkan dosa-pahala sebagai wilayah empirik tentang kemampuan memenuhi kebutuhan sebagian besar warga yang tidak beruntung alias miskin, papa, dan menderita. Tuhan bukan sesuatu yang jauh, surga-neraka bukan wilayah utopis, melainkan hadir dalam praksis kehidupan sehari-hari. Pemimpin dengan kecerdasan sosial tinggi demikian tidak meletakkan jabatan sebagai kehormatan dengan sejumlah aksesori protokoler dan ajudan.
Pemimpin berkecerdasan sosial tinggi menempatkan diri sebagai manusia biasa dengan tanggung jawab sosial-politik yang setiap saat tampil bersama rakyat dan umat yang dipimpin. Pemimpin yang terus membuka diri berdialog dengan rakyat tanpa aksesori protokoler yang sering menjadi penghalang rakyat berhubungan langsung dengan sang pemimpin. Pemimpin berkecerdasan sosial tinggi itulah yang disebut pemimpin profetik yang menyatu dengan jiwa rakyat dan umat.
Secara sosiologis ia berbeda dengan pemimpin imam yang lebih cenderung mengurusi Tuhan utopis sehingga tidak jarang menjadikan umatnya sebagai tumbal surgawi. Di mana posisi pemimpin profetik dalam berbagai survei tentang calon presiden negeri ini? Sayang, survei-survei yang dilakukan berbagai lembaga belum memasukkan kecerdasan sosial sebagai salah satu variabel yang patut dilacak dalam dunia empirik. Kendati demikian, bukan berarti nama-nama yang beredar dalam berbagai survei tidak ada yang memiliki kecerdasan sosial tinggi.
Soalnya, bagaimana mengenali kecerdasan sosial seseorang calon pemimpin? Larisnya lembaga survei mengenai elektabilitas partai dan sosok seseorang sebagai calon presiden menjadi salah satu penanda negeri ini merindukan pemimpin baru.
Soalnya, apakah pemimpin baru yang lahir dari proses demokrasi Pemilihan Umum Presiden 2014 nanti dijamin bisa mengangkat harkat dan martabat sebagian besar rakyat yang hingga kini belum menikmati hidup layak dalam alam yang merdeka? Hanya pemimpin dengan kecerdasan sosial tinggi yang memiliki kemampuan memahami kebutuhan rakyat banyak dan bersedia secara gigih (tanpa pamrih) memperjuangkan pemenuhan kebutuhan rakyatnya terutama yang miskin dan menderita tersebut.
Korupsi yang melibatkan orang-orang berlatar belakang pendidikan tinggi, pemimpin gerakan keagamaan, atau partai berbasis keagamaan, mendorong banyak orang mulai mencari penjelasan dari sudut pandang ekstrem. Sementara pertumbuhan ekonomi tinggi negeri ini ternyata bukan indikasi rakyat miskin memperoleh layanan kesehatan memadai. Rakyat miskin seolah dilarang sakit, dilarang bersekolah, dan dilarang cerdas.
Konstitusi memang memberi mandat pada negara untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, namun faktanya banyak rakyat miskin yang gagal bersekolah dan gagal berobat di tengah tebaran iklan pendidikan gratis. Praktik bernegara dan beragama utopis tidak bisa menjamin pengelolaan kehidupan bersama menjadi lebih nyaman bagi semua orang. Kecerdasan inteligensi tinggi tidak memberi jaminan seseorang bertindak lebih bijak dan arif dalam kehidupan sosial.
Di sini pandangan Socrates lebih 2000 tahun lalu mengenai fungsi ilmu atau filsafat sebagai penggesa hidup manusia lebih bijak dan lebih cerdas menjadi penting. Kuncinya terletak pada penempatan ilmu (filsafat) bukan sekadar instrumen pencapaian material kehidupan, melainkan pencarian kebajikan dan pengembangan hidup bajik itu sendiri. Ironisnya, jalan ilmu atau filsafat yang bisa membuat hidup bersama berbangsa ini lebih nyaman dan lebih bajik adalahjalansulitnansunyitanpa aksesori indah.
Sementara jalan indah penuh aksesori yang mengundang selera dan syahwat adalah jalan politik dan kekuasaan. Jalan ilmu dan filsafat adalah jalan panjang bagai pohon yang lama berbuah. Jika berbuah, rasanya kadang pahit. Barulah jika diolah melalui proses yang rumit, buah ilmu itu terasa lezat yang bisa membuat ketagihan. Akibatnya, banyak orang lebih bersyahwat meniti jalan politik dan kekuasaan daripada jalan filsafat dan ilmu, lebih-lebih lagi menjelang tahun politik 2014.
Dalam situasi demikian itulah banyak orang mulai mencari tolok ukur kepemimpinan yang bisa membawa bangsa ini menjadi lebih makmur dan berkeadilan. Secara berseloroh seorang teman melontarkan gagasan kecerdasan sosial sebagai basis utama kepemimpinan ideal. Pemimpin yang memilih jalan praksis ilmu dan filsafat guna mencapai kearifan dan kecerdasan sekaligus.
Berbeda dari kecerdasan inteligensi yang sudah berlaku berabadabad dengan baku-uji terukur, kecerdasan sosial belum banyak dikenal dan belum banyak menjadi fokus kajian. Kecerdasan sosial lebih banyak berkaitan dengan persoalan kepemimpinan dalam kehidupan bersama dalam sebuah formula kebangsaan dan kenegaraan.
Kecerdasan inteligensi seseorang tidak menjamin yang bersangkutan berhasil menjalani hidup sosialnya. Sukses sosial seseorang dengan kecerdasan inteligensi tinggi masih memerlukankecerdasanemosional agar bisa berkomunikasi dengan orang lain atau kelompok lain secara lebih baik. Namun, bagi orang yang menghadapi persoalan rumit yang belum pernah dihadapi sebelumnya yang membutuhkan sikap dan daya kritis tinggi, kecerdasan lain yang dikenal sebagai kecerdasan spiritual diperlukan.
Kemampuan orang yang memiliki kecerdasan spiritual disebut para ahli sebagai fungsi variabel “Titik Tuhan” atau “God Spot”. Mereka yang memiliki kepedulian sosial tinggi sekaligus dikaruniai “Titik Tuhan” karena mampu menerobos melampaui tradisi (birokrasi dan lainnya) menyatu dengan jiwa rakyat hampir tanpa batas guna mencapai tujuan kolektif. Itulah pemilik kecerdasan sosial.
Seorang kepala daerah tanpa aksesori yang blusukan ke loronglorong kumuh untuk mengerti rakyatnya, tidak segan masuk gorong-gorong, menyeberang jembatan yang mau roboh ikut merasakan kegetiran warganya, tanpa pengawal dan protokoler, merupakan beberapa contoh yang memberi indikasi kepemilikan kecerdasan sosial tinggi. Kepemimpinan profetik mendahulukan kepentingan publik menempatkan birokrasi dan lembaga sebagai alat memenuhi kepentingan publik.
Jika perlu, pemimpin profetik itu melakukan tindakan yang bahkan melampaui tradisi birokrasi menciptakan tradisi dan tata-nilai baru yang tidak lazim pada zamannya. Indikasi sosok pemimpin profetik demikian akan terlihat dari respons warga yang muncul dari berbagai kelompok melampaui batas-batas etnis, keagamaan, dan partai. Seperti seorang nabi, meski memperoleh mandat Tuhan, ia hidup menyatu dengan sesama sebagai manusia biasa membangun tradisi baru menerobos melampaui tradisi pada zamannya. Dalam dunia pewayangan kita kenal tokoh Semar, seorang dewa yang menjalani hidup sebagai pelayan para ksatria.
Semarlah yang sebenar- benarnya sang pemimpin. Perilaku profetiknya menjadi dasar bagi semua orang untuk menempatkannya sebagai bagian dari hidupnya sebagai wonge dewe (Jawa), wong kito (Palembang), orang kita. Sosok pemimpin profetik demikian menjadi milik bersama diakui sebagai bagian kehidupan melampaui batas-batas etnis, keberagamaan, dan keberpartaian. Jalan sunyi kepemimpinan profetik tersebut secara primordial lebih dikenal sebagai almahdiatau satrio piningit(Jawa) yang semakin hari semakin dirindukan kehadirannya.
Siapa mau meniti jalan sunyi kekuasaan sebagai pemimpin profetik bagai dewata yang mewujud sebagai pelayan rakyat seperti Semar? Mungkin muncul pada 2014 atau sekadar sebuah harapan. Lumayan ... Sekurangnya masih ada harapan, ada asa, bukan putus asa!.
ABDUL MUNIR MULKHAN
Komisioner Komnas HAM 2007- 2012, Wakil Sekretaris Pimpinan Pusat Muhammadiyah 2000-2005, Guru Besar Fakultas Tarbiyah & Keguruan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
(mhd)