Mantan anak buah SBY desak Kejagung adili Boediono
A
A
A
Sindonews.com- Putusan kasasi Mahkamah Agung (MA) menyebut Wakil Presiden Boediono bersama mantan direksi Bank Indonesia (BI) terkait dengan kasus skandal Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).
Menanggapi hal itu, Mantan Menteri Kehutanan MS Kaban mendesak kepada Kejaksaan Agung (Kejagung) untuk memeriksa dan mengadili Wakil Presiden Boediono terkait keterlibatan langsung dalam mega skandal BLBI atas putusan Kasasi MA tahun 2005.
"Jadi, keputusan MA itu harus dieksekusi atau dilaksanakan demi penegakan hukum," ujar Ketua Umum Partai Bulan Bintang (PBB) ini di Gedung Bawaslu RI, jalan MH Thamrin, Jakarta Pusat, Rabu (30/1/2013).
Menurutnya, penegakan hukum di Indonesia harus konsisten. Tidak memandang siapa dan apa posisinya, sebab dihadapan hukum semua sama.
"Karena kita melihat dalam sejarah, banyak pemimpin-pemimpin itu ketika melanggar hukum, dia hanya diberi sanksi politik. Menurut saya itu tidak cukup," katanya.
Kaban mencontohkan, ketika mantan Presiden Soekarno dianggap lalai hingga dikudeta peristiwa G30S PKI, lalu Soekarno di makzulkan. "Itu kan hukuman politik,"ucapnya.
Selain itu, soal Mantan Presiden Soeharto yang membawa Indonesia pada krisis moneter 1997. Ketika itu, karena dianggap membuat goncang ekonomi, Soeharto juga dihukum dengan diminta mengundurkan diri.
"Nah menurut saya itu tidak selesai, tidak memberi contoh yang baik. Oleh karena itu, kalau sudah MA memutuskan bahwasanya yang terlibat kasus itu harus diusut, ya harus diusut," tegasnya.
Kaban menuturkan, sejumlah mantan menteri juga pernah diganjar hukum atas sejumlah kasus. Ia mencontohkan, mantan Ka Bulog Bedu Amang, mantan Mensos Bachtiar Chamsyah, mantan Menkes Ahmad Sujudi, mantan Mendagri Hari Sabarno.
"Itu kan semua diusut. Itu kan kasus-kasus menurut saya kecil. Hanya dibikin disposisi kemudian dia dipenjarakan. Nah sekarang Pak Boediono misal, putusan MA itu jelas-jelas. Makanya saya setuju (Boediono diusut)," jelasnya.
Oleh karena itu, ia meminta, agar Boediono harus segera dihukum. Agar semua warga Indonesia sadar bahwa hukum itu berlaku untuk semua orang.
"Maka siapapun dia, tak memandang posisinya, harus dihukum. Seperti di Korea Selatan, dua perdana menteri dipenjarakan karena skandal terima suap. Jadi, kalau dia (Boediono) salah, ya dihukum saja," tegasnya.
Seperti diketahui, Putusan kasasi Mahkamah Agung (MA) menyebut Wakil Presiden Boediono bersama mantan direksi Bank Indonesia (BI) terkait dengan kasus skandal Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) .
Surat putusan itu tertuang dalam putusan atas Direktur BI Paul Sutopo No 979 K/PID/2004, putusan No 977 K/PID/2004,dan putusan No 981 K/PID/2004 yang berbunyi, ”...bahwa saldo debet yang diberikan terdakwa bersama-sama Hendrobudiyanto dan anggota Direksi BI lainnya yaitu Heru Soepratomo, Paul Soetopo Tjokronegoro, Boediono, Haryono, Mukhlis Rasyid, Soedradjat Djiwandono telah merugikan negara sebesar Rp18.164.798.150.266,51.”
Wakil Jaksa Agung Darmono yang dihubungi belum mengetahui tercatutnya nama Boediono dalam putusan MA soal skandal BLBI. ”Belum tahu,”ujar Darmono singkat. Dia mengaku akan melihat kembali putusan MA tersebut. ”Nanti saya lihat dulu ya,”ungkapnya. Namun, saat ditanya lebih mendalam lagi soal keterlibatan Boediono, Darmono mengelak.”Kalau itu nanti aja Mas,”jawabnya singkat.
Untuk diketahui, berdasarkan data putusan MA atas kasus BLBI disebutkan bahwa Boediono turut serta dalam kasus BLBI.Direktori Putusan MA setebal 96 halaman itu berisi tentang permohonan kasasi dari jaksa penuntut umum Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat terkait tersangka BLBI Hendrobudiyanto dan putusan MA bernomor 981 K/PID/2004 tentang permo-honan kasasi dari Jaksa penuntut umum Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat terkait tersangka BLBI Paul Soetopo Tjokronegoro.
Hendrobudiyanto, Heru Soepratomo, dan Paul Soetopo Tjokronegoro merupakan mantan direksi BI yang me-mutuskan keluarnya bantuan dana BLBI terhadap sejumlah bank di Indonesia yang mengalami pailit pada saat itu.
Tim Hukum Petisi 28 Ahmad Suryono menyatakan, pada 15 Agustus 1997, Boediono bersama- sama dengan anggota direksi BI membuat keputusan dalam rapat direksi yang intinya menyebutkan mengizinkan memberi bantuan likuiditas dengan memberikan fasilitas kelonggaran berupa fasilitas saldo debet kepada kantor pusat atau cabang bank yang mengalami kesulitan likuiditas hingga gejolak mereda.
Artinya, nasabah penyimpan dana bank diperbolehkan menarik dana secara tunai di Bank BI walau bersaldo negatif. Kemudian,pada 20 Agustus 1997, Boediono juga bersama anggota Direksi BI kembali membuat keputusan untuk kembali melakukan bantuan likuiditas dengan alasan perbankan belum pulih. Bantuan diberikan kepada 18 bank swasta yang disebut mengalami penarikan dana cukup besar oleh pihak ketiga.
”Keputusan rapat direksi tanggal 15 dan 20 Agustus 1997 itu bertentangan dengan ketentuan sanksi berupa penghentian sementara kliring lokal terhadap bank yang tidak dapat menyelesaikan saldo BI,”kata Ahmad Suryonodisela-sela acara diseminasi publik bertajuk 'Penjara dan Pemakzulan terkait Fakta Hukum Keterlibatan Langsung Boediono dalam Skandal BLBI' kemarin di Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta.
Dirinya melihat putusan MA itu jelas menyebutkan keterkaitan Boediono dan direksi BI lainnya dalam dugaan praktik korupsi yang mengakibatkan kerugian negara. ”Ini sudah sangat jelas dan mesti segera diadili baik secara sendiri maupun bersama-sama,”tegasnya.
Dalam putusan tervonis Paul Soetopo Tjokronegoro,korupsi itu dilakukan secara bersamasama.” Kami melihat ada kesalahan Boediono. Kalau memang kolektif kolegial dia masih bisa berlindung.Tapi kalau kesalahan kedua, dia tidak bisa mengelak karena MA mengatakan korupsi itu dilakukan bersamasama, ini menyangkut pada vonis Paul Soetopo Tjokronegoro,” ungkapnya.
Menanggapi hal itu, Mantan Menteri Kehutanan MS Kaban mendesak kepada Kejaksaan Agung (Kejagung) untuk memeriksa dan mengadili Wakil Presiden Boediono terkait keterlibatan langsung dalam mega skandal BLBI atas putusan Kasasi MA tahun 2005.
"Jadi, keputusan MA itu harus dieksekusi atau dilaksanakan demi penegakan hukum," ujar Ketua Umum Partai Bulan Bintang (PBB) ini di Gedung Bawaslu RI, jalan MH Thamrin, Jakarta Pusat, Rabu (30/1/2013).
Menurutnya, penegakan hukum di Indonesia harus konsisten. Tidak memandang siapa dan apa posisinya, sebab dihadapan hukum semua sama.
"Karena kita melihat dalam sejarah, banyak pemimpin-pemimpin itu ketika melanggar hukum, dia hanya diberi sanksi politik. Menurut saya itu tidak cukup," katanya.
Kaban mencontohkan, ketika mantan Presiden Soekarno dianggap lalai hingga dikudeta peristiwa G30S PKI, lalu Soekarno di makzulkan. "Itu kan hukuman politik,"ucapnya.
Selain itu, soal Mantan Presiden Soeharto yang membawa Indonesia pada krisis moneter 1997. Ketika itu, karena dianggap membuat goncang ekonomi, Soeharto juga dihukum dengan diminta mengundurkan diri.
"Nah menurut saya itu tidak selesai, tidak memberi contoh yang baik. Oleh karena itu, kalau sudah MA memutuskan bahwasanya yang terlibat kasus itu harus diusut, ya harus diusut," tegasnya.
Kaban menuturkan, sejumlah mantan menteri juga pernah diganjar hukum atas sejumlah kasus. Ia mencontohkan, mantan Ka Bulog Bedu Amang, mantan Mensos Bachtiar Chamsyah, mantan Menkes Ahmad Sujudi, mantan Mendagri Hari Sabarno.
"Itu kan semua diusut. Itu kan kasus-kasus menurut saya kecil. Hanya dibikin disposisi kemudian dia dipenjarakan. Nah sekarang Pak Boediono misal, putusan MA itu jelas-jelas. Makanya saya setuju (Boediono diusut)," jelasnya.
Oleh karena itu, ia meminta, agar Boediono harus segera dihukum. Agar semua warga Indonesia sadar bahwa hukum itu berlaku untuk semua orang.
"Maka siapapun dia, tak memandang posisinya, harus dihukum. Seperti di Korea Selatan, dua perdana menteri dipenjarakan karena skandal terima suap. Jadi, kalau dia (Boediono) salah, ya dihukum saja," tegasnya.
Seperti diketahui, Putusan kasasi Mahkamah Agung (MA) menyebut Wakil Presiden Boediono bersama mantan direksi Bank Indonesia (BI) terkait dengan kasus skandal Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) .
Surat putusan itu tertuang dalam putusan atas Direktur BI Paul Sutopo No 979 K/PID/2004, putusan No 977 K/PID/2004,dan putusan No 981 K/PID/2004 yang berbunyi, ”...bahwa saldo debet yang diberikan terdakwa bersama-sama Hendrobudiyanto dan anggota Direksi BI lainnya yaitu Heru Soepratomo, Paul Soetopo Tjokronegoro, Boediono, Haryono, Mukhlis Rasyid, Soedradjat Djiwandono telah merugikan negara sebesar Rp18.164.798.150.266,51.”
Wakil Jaksa Agung Darmono yang dihubungi belum mengetahui tercatutnya nama Boediono dalam putusan MA soal skandal BLBI. ”Belum tahu,”ujar Darmono singkat. Dia mengaku akan melihat kembali putusan MA tersebut. ”Nanti saya lihat dulu ya,”ungkapnya. Namun, saat ditanya lebih mendalam lagi soal keterlibatan Boediono, Darmono mengelak.”Kalau itu nanti aja Mas,”jawabnya singkat.
Untuk diketahui, berdasarkan data putusan MA atas kasus BLBI disebutkan bahwa Boediono turut serta dalam kasus BLBI.Direktori Putusan MA setebal 96 halaman itu berisi tentang permohonan kasasi dari jaksa penuntut umum Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat terkait tersangka BLBI Hendrobudiyanto dan putusan MA bernomor 981 K/PID/2004 tentang permo-honan kasasi dari Jaksa penuntut umum Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat terkait tersangka BLBI Paul Soetopo Tjokronegoro.
Hendrobudiyanto, Heru Soepratomo, dan Paul Soetopo Tjokronegoro merupakan mantan direksi BI yang me-mutuskan keluarnya bantuan dana BLBI terhadap sejumlah bank di Indonesia yang mengalami pailit pada saat itu.
Tim Hukum Petisi 28 Ahmad Suryono menyatakan, pada 15 Agustus 1997, Boediono bersama- sama dengan anggota direksi BI membuat keputusan dalam rapat direksi yang intinya menyebutkan mengizinkan memberi bantuan likuiditas dengan memberikan fasilitas kelonggaran berupa fasilitas saldo debet kepada kantor pusat atau cabang bank yang mengalami kesulitan likuiditas hingga gejolak mereda.
Artinya, nasabah penyimpan dana bank diperbolehkan menarik dana secara tunai di Bank BI walau bersaldo negatif. Kemudian,pada 20 Agustus 1997, Boediono juga bersama anggota Direksi BI kembali membuat keputusan untuk kembali melakukan bantuan likuiditas dengan alasan perbankan belum pulih. Bantuan diberikan kepada 18 bank swasta yang disebut mengalami penarikan dana cukup besar oleh pihak ketiga.
”Keputusan rapat direksi tanggal 15 dan 20 Agustus 1997 itu bertentangan dengan ketentuan sanksi berupa penghentian sementara kliring lokal terhadap bank yang tidak dapat menyelesaikan saldo BI,”kata Ahmad Suryonodisela-sela acara diseminasi publik bertajuk 'Penjara dan Pemakzulan terkait Fakta Hukum Keterlibatan Langsung Boediono dalam Skandal BLBI' kemarin di Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta.
Dirinya melihat putusan MA itu jelas menyebutkan keterkaitan Boediono dan direksi BI lainnya dalam dugaan praktik korupsi yang mengakibatkan kerugian negara. ”Ini sudah sangat jelas dan mesti segera diadili baik secara sendiri maupun bersama-sama,”tegasnya.
Dalam putusan tervonis Paul Soetopo Tjokronegoro,korupsi itu dilakukan secara bersamasama.” Kami melihat ada kesalahan Boediono. Kalau memang kolektif kolegial dia masih bisa berlindung.Tapi kalau kesalahan kedua, dia tidak bisa mengelak karena MA mengatakan korupsi itu dilakukan bersamasama, ini menyangkut pada vonis Paul Soetopo Tjokronegoro,” ungkapnya.
(kri)