Jaksa KPK dinilai gagal buktikan kesalahan Hartati Murdaya
A
A
A
Sindonews.com- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dinilai gagal membuktikan adanya perbuatan melanggar hukum serta gagal membuktikan kesalahan pengusaha Hartati Murdaya yang kini ditahan dan disidangkan karena didakwa memberikan suap kepada mantan Bupati Buol, Amran Batalipu.
Semua pasal yang didakwakan oleh jaksa penuntut umum (JPU) dari KPK di depan hakim Tipikor Jakarta, tidak satu pun terbukti di dalam persidangan. Bahkan saksi-saksi yang dihadirkan oleh jaksa pun justru memberikan keterangan yang intinya justru menegaskan bahwa Hartati tidak bersalah.
"Saksi-saksi yang dihadirkan jaksa justru menegaskan pemberian uang ke Buol adalah dana Pemilukada dan tidak terkait surat perijinan perusahaan. Saksi-saksi juga menegaskan pemberian uang tidak atas perintah Hartati," kata kuasa hukum Hartati, Patra M Zein melalui rilis yang diterima Sindonews, Rabu (23/1/2013).
Jaksa menuntut Hartati dengan Pasal 5 ayat UU pemberantasan korupsi junto Pasal 64 dan Pasal 55 KUHP atau Pasal 13 UU Pemberantasan Korupsi. Namun, dari 13 saksi yang dihadirkan oleh jaksa tidak satupun yang berhasil membuktikan Hartati memerintahkan memberikan uang ke Amran Batalipu untuk memuluskan perizinan lahan.
Saksi ahli Yusril Ihza Mahendra misalnya, kata Patra, mengatakan bahwa PT HIP milik Hartati tidak perlu lagi mengurus surat izin apapun untuk lahan perkebunannya. Pasalnya, izin prinsip yang terbit tahun 1993 untuk tanah seluas 75 ribu hektar masih berlaku.
"Fakta-fakta seperti itu menunjukkan bahwa Hartati tidak mempunyai kepentingan untuk mengurus surat-surat perizinan. Apalagi sampai harus memberikan uang untuk memuluskan perizinan itu," kata mantan Ketua Lembaga Bantuan Hukum Jakarta ini.
Ditambahkan, fakta yang terungkap yang di persidangan juga membuktikan bahwa kliennya tidak pernah memerintahkan memberikan uang kepada Amran. Yang terungkap uang ke tangan Amran bukan atas perintah Hartati melainkan atas perintah salah satu direktur PT HIP, Totok Lestiyo.
"Totok di bawah sumpah di hadapan majelis hakim mengakui dirinya-lah inisiator pemberian uang ke Amran," tambahnya.
Hartati Murdaya sendiri jengkel atas ulah Totok ini. Ia menilai, Totok menyalahi aturan perusahaan mencairkan uang Rp 2 miliar tanpa diketahui direktur utama, sehingga Hartati melaporkan Totok ke kepolisian atas dugaan penggelapan dana perusahaan.
Jaksa KPK, lanjut Patra, memaksakan tuntutan dengan secara sengaja mengkaitkan pertemuan yang kebetulan dihadiri Hartati dan Amran Abdulah Batalipu. Jaksa juga memutar rekaman percakapan antara Hartati dengan Amran, tapi rekaman tidak diputar utuh atau sengaja dipotong-potong untuk menunjukkan seolah-olah Hartati memang bersalah.
"Percakapan telepon yang diperdengarkan di persidangan bertujuan untuk memperdaya masyarakat agar dibuat percaya bahwa Hartati bersalah," katanya.
Menurut Patra, jaksa secara sadar telah memanipulasi fakta dalam surat dakwaan dan surat tuntutan, seolah-olah terdakwa secara bersama-sama telah melakukan perbuatan yang didakwakan.
Jaksa juga telah memanipulasi fakta seakan-akan terdakwa bertanggungjawab atas perbuatan berlanjut sebagaimana diatur dalam Pasal 64 KUHP yakni bertanggungjawab atas pemberian uang Rp 1 miliar pada 18 Juni 2012 dan bertanggungjawab atas pemberian uang Rp 2 miliar pada 26 Juni 2012.
"Di persidangan tidak ada pun satu alat bukti pun yang diajukan oleh jaksa untuk membuktikan bahwa terdakwa mengetahui, mengizinkan apalagi memerintahkan pemberian uang Rp 3 miliar untuk Amran. Tidak pernah terdakwa menyetujui pemberian uang Rp3 miliar kepada Amran, dan tidak ada satu pun alat bukti yang diajukan jaksa perihal rencana penyerahan uang itu," demikian Patra.
Semua pasal yang didakwakan oleh jaksa penuntut umum (JPU) dari KPK di depan hakim Tipikor Jakarta, tidak satu pun terbukti di dalam persidangan. Bahkan saksi-saksi yang dihadirkan oleh jaksa pun justru memberikan keterangan yang intinya justru menegaskan bahwa Hartati tidak bersalah.
"Saksi-saksi yang dihadirkan jaksa justru menegaskan pemberian uang ke Buol adalah dana Pemilukada dan tidak terkait surat perijinan perusahaan. Saksi-saksi juga menegaskan pemberian uang tidak atas perintah Hartati," kata kuasa hukum Hartati, Patra M Zein melalui rilis yang diterima Sindonews, Rabu (23/1/2013).
Jaksa menuntut Hartati dengan Pasal 5 ayat UU pemberantasan korupsi junto Pasal 64 dan Pasal 55 KUHP atau Pasal 13 UU Pemberantasan Korupsi. Namun, dari 13 saksi yang dihadirkan oleh jaksa tidak satupun yang berhasil membuktikan Hartati memerintahkan memberikan uang ke Amran Batalipu untuk memuluskan perizinan lahan.
Saksi ahli Yusril Ihza Mahendra misalnya, kata Patra, mengatakan bahwa PT HIP milik Hartati tidak perlu lagi mengurus surat izin apapun untuk lahan perkebunannya. Pasalnya, izin prinsip yang terbit tahun 1993 untuk tanah seluas 75 ribu hektar masih berlaku.
"Fakta-fakta seperti itu menunjukkan bahwa Hartati tidak mempunyai kepentingan untuk mengurus surat-surat perizinan. Apalagi sampai harus memberikan uang untuk memuluskan perizinan itu," kata mantan Ketua Lembaga Bantuan Hukum Jakarta ini.
Ditambahkan, fakta yang terungkap yang di persidangan juga membuktikan bahwa kliennya tidak pernah memerintahkan memberikan uang kepada Amran. Yang terungkap uang ke tangan Amran bukan atas perintah Hartati melainkan atas perintah salah satu direktur PT HIP, Totok Lestiyo.
"Totok di bawah sumpah di hadapan majelis hakim mengakui dirinya-lah inisiator pemberian uang ke Amran," tambahnya.
Hartati Murdaya sendiri jengkel atas ulah Totok ini. Ia menilai, Totok menyalahi aturan perusahaan mencairkan uang Rp 2 miliar tanpa diketahui direktur utama, sehingga Hartati melaporkan Totok ke kepolisian atas dugaan penggelapan dana perusahaan.
Jaksa KPK, lanjut Patra, memaksakan tuntutan dengan secara sengaja mengkaitkan pertemuan yang kebetulan dihadiri Hartati dan Amran Abdulah Batalipu. Jaksa juga memutar rekaman percakapan antara Hartati dengan Amran, tapi rekaman tidak diputar utuh atau sengaja dipotong-potong untuk menunjukkan seolah-olah Hartati memang bersalah.
"Percakapan telepon yang diperdengarkan di persidangan bertujuan untuk memperdaya masyarakat agar dibuat percaya bahwa Hartati bersalah," katanya.
Menurut Patra, jaksa secara sadar telah memanipulasi fakta dalam surat dakwaan dan surat tuntutan, seolah-olah terdakwa secara bersama-sama telah melakukan perbuatan yang didakwakan.
Jaksa juga telah memanipulasi fakta seakan-akan terdakwa bertanggungjawab atas perbuatan berlanjut sebagaimana diatur dalam Pasal 64 KUHP yakni bertanggungjawab atas pemberian uang Rp 1 miliar pada 18 Juni 2012 dan bertanggungjawab atas pemberian uang Rp 2 miliar pada 26 Juni 2012.
"Di persidangan tidak ada pun satu alat bukti pun yang diajukan oleh jaksa untuk membuktikan bahwa terdakwa mengetahui, mengizinkan apalagi memerintahkan pemberian uang Rp 3 miliar untuk Amran. Tidak pernah terdakwa menyetujui pemberian uang Rp3 miliar kepada Amran, dan tidak ada satu pun alat bukti yang diajukan jaksa perihal rencana penyerahan uang itu," demikian Patra.
(kri)