Berkomunikasi dianggap candu
A
A
A
TAK hanya pulsa telepon seluler yang rencananya akan dikenakan cukai. Sejumlah produk pun dikategorikan sebagai barang kena cukai (BKC). Pemerintah beralasan penggunaannya harus diawasi agar tidak merugikan masyarakat.
Berhembusnya kabar tentang rencana pengenaan BKC terbaru, termasuk pada pulsa telepon seluler memicu reaksi banyak pihak. Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Bambang Brodjonegoro mengungkapkan alasan wacana pengenaan cukai terhadap minuman ringan berkarbonasi, emisi kendaraan bermotor, telepon seluler, dan limbah pabrik saat rapat dengan Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) di Jakarta, Selasa 11 Desember.
Dia menjelaskan secara terperinci alasan barang-barang termasuk dalam BKC. ”Alasan pengenaan cukai terhadap minuman ringan berkarbonasi karena konsumsi dan peredarannya menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat,” ujarnya. Konsumsi berlebihan terhadap minuman ringan berkarbonasi dapat menyebabkan gangguan ginjal, diabetes, dan obesitas. Cukai minuman ringan berkarbonasi ini akan dikenakan kepada produsen dan importir yang memiliki nomor pokok pengusaha BKC.
Sedangkan untuk cukai emisi kendaraan bermotor, Bambang menjelaskan bahwa gas karbon dioksida (CO2) dan gas pencemar lain berdampak negatif terhadap kesehatan, pemanasan global,dan perubahan iklim. Gas pembuangan kendaraan akan menimbulkan efek rumah kaca yang berbahaya bagi kesehatan masyarakat. Untuk mengatasi itu, pemerintah berupaya dengan program penanaman satu miliar pohon sebagai bentuk pencegahan.
Pencegahan efek rumah kaca harus didukung seluruh masyarakat dengan menjadikannya sebagai pola hidup. Penggunaan energi yang tidak dapat diperbarui juga harus dibatasi dengan mengenakan cukai. ”Nanti mobil-mobil dites emisi. Kalau di atas ambang batas, kena cukai. Selain itu, kendaraan bermotor juga menyebabkan kemacetan dan membuat subsidi bahan bakar minyak membengkak,” kata Bambang.
Selain minuman ringan berkarbonasi, gas emisi kendaraan, dan limbah pabrik, pemerintah juga berencana mengajukan pulsa telepon seluler sebagai BKC. Pemerintah berdalih, selain pemakaian telepon seluler yang berlebihan, penggunaan telepon seluler juga berpotensi menimbulkan gangguan kesehatan. Penggunaan telepon seluler dalam jangka waktu panjang dapat membahayakan kesehatan.
Hal inilah yang mendorong Kemenkeu berencana mengeluarkan kebijakan pengenaan cukai pada pulsa telepon seluler. ”Untuk telepon seluler lebih ke pulsa, cukai berperan sebagai instrumen untuk membatasi pemakaian pulsa telepon seluler,” kata Bambang. Dengan ada rencana pengenaan cukai pada pulsa telepon seluler, hal ini berarti menyejajarkan pulsa dengan rokok dan minuman beralkohol. Rokok dan alkohol merupakan barang adiktif dan eksesif yang menyebabkan ketergantungan dan membuat ekses negatif bagi kesehatan.
Secara tidak langsung, pemakaian telepon seluler dianggap menyebabkan ketergantungan dan membahayakan kesehatan. Sementara itu, menurut Kepala Pusat Informasi dan Humas Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) Gatot Dewa Broto,pulsa tidak bersifat adiktif yang menyebabkan ketergantungan. "Pulsa tidak bersifat adiktif. Pulsa merupakan bagian dari telekomunikasi. Tanpa pulsa, bagaimana orangorang dapat berkomunikasi satu sama lain,” ungkapnya kepada harian Seputar Indonesia (SINDO), Kamis 27 Desember.
Alasan kesehatan yang melatarbelakangi kebijakan ini dibantah Gatot. ”Bahwasanya ada radiasi di telepon seluler itu betul, tapi Kemenkominfo telah menguji semua telepon seluler resmi sebelum turun di pasaran. Jika telepon seluler tersebut memiliki radiasi, akan kami kembalikan karena standar yang kami gunakan berasal dari World Health Organization (WHO). Kecuali telepon seluler yang ilegal, kami tidak jamin,”tandas Gatot.
Sementara itu, menurut pengamat telekomunikasi Heru Sutadi, berkomunikasi berbeda dengan merokok yang sebaiknya dihindari karena dapat mengganggu kesehatan dan orang lain. Sedangkan telekomunikasi merupakan bagian dari hak asasi manusia yang dijamin Undang-Undang dan UUD Negara 1945 Pasal 28 huruf s.
”Jika pulsa akan dikenakan cukai, kami bingung menentukan dasarnya karena tarif telekomunikasi sudah diatur dalam peraturan Kemenkominfo No 9 Tahun 2008 dan No 15 Tahun 2008 dan tidak ada cukai di dalamnya,” kata mantan anggota Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) kepada SINDO, Kamis 27 Desember.
Pengenaan cukai pulsa ini jika diterapkan dikhawatirkan bakal menambah berat beban masyarakat. Masyarakat selama ini juga telah menanggung untuk membangun wilayah-wilayah terluar dan terpencil melalui program Universal Service Obligation (USO) sebesar 1,25% dari gross revenue operator, yang tentu juga dimasukkan dalam struktur tarif ke konsumen.
Berhembusnya kabar tentang rencana pengenaan BKC terbaru, termasuk pada pulsa telepon seluler memicu reaksi banyak pihak. Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Bambang Brodjonegoro mengungkapkan alasan wacana pengenaan cukai terhadap minuman ringan berkarbonasi, emisi kendaraan bermotor, telepon seluler, dan limbah pabrik saat rapat dengan Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) di Jakarta, Selasa 11 Desember.
Dia menjelaskan secara terperinci alasan barang-barang termasuk dalam BKC. ”Alasan pengenaan cukai terhadap minuman ringan berkarbonasi karena konsumsi dan peredarannya menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat,” ujarnya. Konsumsi berlebihan terhadap minuman ringan berkarbonasi dapat menyebabkan gangguan ginjal, diabetes, dan obesitas. Cukai minuman ringan berkarbonasi ini akan dikenakan kepada produsen dan importir yang memiliki nomor pokok pengusaha BKC.
Sedangkan untuk cukai emisi kendaraan bermotor, Bambang menjelaskan bahwa gas karbon dioksida (CO2) dan gas pencemar lain berdampak negatif terhadap kesehatan, pemanasan global,dan perubahan iklim. Gas pembuangan kendaraan akan menimbulkan efek rumah kaca yang berbahaya bagi kesehatan masyarakat. Untuk mengatasi itu, pemerintah berupaya dengan program penanaman satu miliar pohon sebagai bentuk pencegahan.
Pencegahan efek rumah kaca harus didukung seluruh masyarakat dengan menjadikannya sebagai pola hidup. Penggunaan energi yang tidak dapat diperbarui juga harus dibatasi dengan mengenakan cukai. ”Nanti mobil-mobil dites emisi. Kalau di atas ambang batas, kena cukai. Selain itu, kendaraan bermotor juga menyebabkan kemacetan dan membuat subsidi bahan bakar minyak membengkak,” kata Bambang.
Selain minuman ringan berkarbonasi, gas emisi kendaraan, dan limbah pabrik, pemerintah juga berencana mengajukan pulsa telepon seluler sebagai BKC. Pemerintah berdalih, selain pemakaian telepon seluler yang berlebihan, penggunaan telepon seluler juga berpotensi menimbulkan gangguan kesehatan. Penggunaan telepon seluler dalam jangka waktu panjang dapat membahayakan kesehatan.
Hal inilah yang mendorong Kemenkeu berencana mengeluarkan kebijakan pengenaan cukai pada pulsa telepon seluler. ”Untuk telepon seluler lebih ke pulsa, cukai berperan sebagai instrumen untuk membatasi pemakaian pulsa telepon seluler,” kata Bambang. Dengan ada rencana pengenaan cukai pada pulsa telepon seluler, hal ini berarti menyejajarkan pulsa dengan rokok dan minuman beralkohol. Rokok dan alkohol merupakan barang adiktif dan eksesif yang menyebabkan ketergantungan dan membuat ekses negatif bagi kesehatan.
Secara tidak langsung, pemakaian telepon seluler dianggap menyebabkan ketergantungan dan membahayakan kesehatan. Sementara itu, menurut Kepala Pusat Informasi dan Humas Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) Gatot Dewa Broto,pulsa tidak bersifat adiktif yang menyebabkan ketergantungan. "Pulsa tidak bersifat adiktif. Pulsa merupakan bagian dari telekomunikasi. Tanpa pulsa, bagaimana orangorang dapat berkomunikasi satu sama lain,” ungkapnya kepada harian Seputar Indonesia (SINDO), Kamis 27 Desember.
Alasan kesehatan yang melatarbelakangi kebijakan ini dibantah Gatot. ”Bahwasanya ada radiasi di telepon seluler itu betul, tapi Kemenkominfo telah menguji semua telepon seluler resmi sebelum turun di pasaran. Jika telepon seluler tersebut memiliki radiasi, akan kami kembalikan karena standar yang kami gunakan berasal dari World Health Organization (WHO). Kecuali telepon seluler yang ilegal, kami tidak jamin,”tandas Gatot.
Sementara itu, menurut pengamat telekomunikasi Heru Sutadi, berkomunikasi berbeda dengan merokok yang sebaiknya dihindari karena dapat mengganggu kesehatan dan orang lain. Sedangkan telekomunikasi merupakan bagian dari hak asasi manusia yang dijamin Undang-Undang dan UUD Negara 1945 Pasal 28 huruf s.
”Jika pulsa akan dikenakan cukai, kami bingung menentukan dasarnya karena tarif telekomunikasi sudah diatur dalam peraturan Kemenkominfo No 9 Tahun 2008 dan No 15 Tahun 2008 dan tidak ada cukai di dalamnya,” kata mantan anggota Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) kepada SINDO, Kamis 27 Desember.
Pengenaan cukai pulsa ini jika diterapkan dikhawatirkan bakal menambah berat beban masyarakat. Masyarakat selama ini juga telah menanggung untuk membangun wilayah-wilayah terluar dan terpencil melalui program Universal Service Obligation (USO) sebesar 1,25% dari gross revenue operator, yang tentu juga dimasukkan dalam struktur tarif ke konsumen.
(hyk)