Cukai pulsa rawan kebocoran
A
A
A
JIKA tarif pulsa dikenakan cukai, praktis biaya komunikasi akan semakin tinggi. Pelanggan telepon genggam akan merasa terbebani dengan kebijakan ini. Padahal, alasan kesehatan yang dijadikan dasar penerapan cukai pulsa belum sepenuhnya bisa dibuktikan. Telepon genggam kini tidak saja berfungsi untuk menerima panggilan, tetapi lebih beragam seperti mencari data, membuka jejaring sosial, dan mengirim pesan pendek (SMS).
Arti dasar cukai adalah pungutan negara yang dikenakan terhadap barang-barang yang mempunyai sifat dan karakteristik tertentu yaitu konsumsinya perlu dikendalikan, peredarannya perlu diawasi, pemakaiannya dapat menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat atau lingkungan hidup, serta penggunaannya perlu pembebanan pungutan negara demi keadilan dan keseimbangan.
Jika melihat definisi ini, penarikan cukai terhadap tarif pulsa perlu dipertimbangkan dengan matang. Apalagi mengingat fungsi dan kegunaan telepon genggam di era modern seperti sekarang sangat signifikan. Kepala Pusat Informasi dan Humas Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kemenkominfo) Gatot Dewa Broto mengatakan, rencana ini tentu mengagetkan banyak pihak.
Telepon genggam kini bukan lagi barang mewah, melainkan menjadi kebutuhan masyarakat sehari-hari. ”Ini zaman teknologi, jangan sampai karena ada kebijakan ini lalu membatasi gerak kita melihat perkembangan apapun melalui handphone,” kata Gatot. Masyarakat saat ini memanfaatkan telepon genggam bukan hanya untuk menghubungi teman atau keluarga, melainkan juga untuk membaca berita, mendengarkan musik, bahkan mengirim dan membalas e-mail.
Peran dan fungsinya berkembang seiring dengan kemajuan teknologi informasi. Efek terhadap gangguan kesehatan yang ditimbulkannya belum bisa dibuktikan. Berbeda misalnya dengan rokok, minuman bersoda, atau minuman mengandung etil alkohol. Semua ini mengandung zat berbahaya sehingga mutlak diawasi peredaran dan dikendalikan konsumsinya.
Pengamat telekomunikasi dan informasi Roy Suryo mengungkapkan, agak aneh jika tarif pulsa dikenakan cukai. Saat ini industri telekomunikasi sedang tumbuh dan masyarakat antusias terhadap perkembangan teknologi. Pemanfaatan telepon seluler sudah menjadi asisten pribadi (personal assistance). ”Ia berfungsi tidak saja dalam bentuk voice, tapi sudah menjadi office operation dengan berbagai fitur yang tersedia di berbagai tipe-tipe HP sekarang,” kata Roy.
Karena itu, alasan bisa menyebabkan gangguan kesehatan tidak lain adalah rasionalisasi yang klise. Kebijakan ini malah lebih tepat jika menggunakan alasan bisnis dan dikenakan pajak daripada memakai alasan kesehatan. Selain itu, tidak akan ada bedanya dengan rokok atau minuman beralkohol jika tarif pulsa dikenakan cukai. Penerapan kebijakan ini akan rawan terjadi kebocoran. ”Aksi-aksi main mata akan mungkin terjadi di sini,” katanya kepada SINDO, Sabtu 29 Desember.
Anggota Komisi Keuangan DPR Achsanul Qosasi menyebutkan, kebijakan yang masih digodok ini memang belum menimbulkan reaksi yang besar di kalangan masyarakat karena belum ada sosialisasi. Sangat memungkinkan jika rencana ini diketahui masyarakat akan memunculkan kontroversi. Masyarakat sekarang sedang gandrung terhadap perkembangan telepon seluler yang semakin canggih.
Jika menengok pada penerapan cukai rokok dan minuman beralkohol, selama ini kerap terjadi kebocoran. Banyak merek rokok yang beredar di daerah-daerah tidak tersentuh pihak cukai dan menyebar secara luas. Belum lagi persoalan kebocoran bersumber dari birokrasi sendiri.
Kebijakan cukai pulsa ini juga tentu saja berpotensi akan terjadi kebocoran. ”Kekhawatiran (akan kebocoran) tentu saja ada. Apalagi penerimaan yang didapat dari cukai tarif pulsa ini bisa lebih dari tarif tembakau atau rokok. Tetapi tunggu saja dulu kajian rencana ini belum matang dan masih akan digodok terus,” tutur Achsanul.
Achsanul menyarankan, pemakaian telepon genggam masyarakat memang menjadi fenomena yang sulit dikendalikan. Namun, bukan berarti pemanfaatan telepon genggam bisa dibatasi. Jika nanti rencana kebijakan cukai pulsa benar diterapkan, masyarakat harus bisa berhemat. Salah satu cara yang bisa dilakukan adalah melakukan penghematan biaya komunikasi dengan berbagai alternatif komunikasi.
Arti dasar cukai adalah pungutan negara yang dikenakan terhadap barang-barang yang mempunyai sifat dan karakteristik tertentu yaitu konsumsinya perlu dikendalikan, peredarannya perlu diawasi, pemakaiannya dapat menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat atau lingkungan hidup, serta penggunaannya perlu pembebanan pungutan negara demi keadilan dan keseimbangan.
Jika melihat definisi ini, penarikan cukai terhadap tarif pulsa perlu dipertimbangkan dengan matang. Apalagi mengingat fungsi dan kegunaan telepon genggam di era modern seperti sekarang sangat signifikan. Kepala Pusat Informasi dan Humas Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kemenkominfo) Gatot Dewa Broto mengatakan, rencana ini tentu mengagetkan banyak pihak.
Telepon genggam kini bukan lagi barang mewah, melainkan menjadi kebutuhan masyarakat sehari-hari. ”Ini zaman teknologi, jangan sampai karena ada kebijakan ini lalu membatasi gerak kita melihat perkembangan apapun melalui handphone,” kata Gatot. Masyarakat saat ini memanfaatkan telepon genggam bukan hanya untuk menghubungi teman atau keluarga, melainkan juga untuk membaca berita, mendengarkan musik, bahkan mengirim dan membalas e-mail.
Peran dan fungsinya berkembang seiring dengan kemajuan teknologi informasi. Efek terhadap gangguan kesehatan yang ditimbulkannya belum bisa dibuktikan. Berbeda misalnya dengan rokok, minuman bersoda, atau minuman mengandung etil alkohol. Semua ini mengandung zat berbahaya sehingga mutlak diawasi peredaran dan dikendalikan konsumsinya.
Pengamat telekomunikasi dan informasi Roy Suryo mengungkapkan, agak aneh jika tarif pulsa dikenakan cukai. Saat ini industri telekomunikasi sedang tumbuh dan masyarakat antusias terhadap perkembangan teknologi. Pemanfaatan telepon seluler sudah menjadi asisten pribadi (personal assistance). ”Ia berfungsi tidak saja dalam bentuk voice, tapi sudah menjadi office operation dengan berbagai fitur yang tersedia di berbagai tipe-tipe HP sekarang,” kata Roy.
Karena itu, alasan bisa menyebabkan gangguan kesehatan tidak lain adalah rasionalisasi yang klise. Kebijakan ini malah lebih tepat jika menggunakan alasan bisnis dan dikenakan pajak daripada memakai alasan kesehatan. Selain itu, tidak akan ada bedanya dengan rokok atau minuman beralkohol jika tarif pulsa dikenakan cukai. Penerapan kebijakan ini akan rawan terjadi kebocoran. ”Aksi-aksi main mata akan mungkin terjadi di sini,” katanya kepada SINDO, Sabtu 29 Desember.
Anggota Komisi Keuangan DPR Achsanul Qosasi menyebutkan, kebijakan yang masih digodok ini memang belum menimbulkan reaksi yang besar di kalangan masyarakat karena belum ada sosialisasi. Sangat memungkinkan jika rencana ini diketahui masyarakat akan memunculkan kontroversi. Masyarakat sekarang sedang gandrung terhadap perkembangan telepon seluler yang semakin canggih.
Jika menengok pada penerapan cukai rokok dan minuman beralkohol, selama ini kerap terjadi kebocoran. Banyak merek rokok yang beredar di daerah-daerah tidak tersentuh pihak cukai dan menyebar secara luas. Belum lagi persoalan kebocoran bersumber dari birokrasi sendiri.
Kebijakan cukai pulsa ini juga tentu saja berpotensi akan terjadi kebocoran. ”Kekhawatiran (akan kebocoran) tentu saja ada. Apalagi penerimaan yang didapat dari cukai tarif pulsa ini bisa lebih dari tarif tembakau atau rokok. Tetapi tunggu saja dulu kajian rencana ini belum matang dan masih akan digodok terus,” tutur Achsanul.
Achsanul menyarankan, pemakaian telepon genggam masyarakat memang menjadi fenomena yang sulit dikendalikan. Namun, bukan berarti pemanfaatan telepon genggam bisa dibatasi. Jika nanti rencana kebijakan cukai pulsa benar diterapkan, masyarakat harus bisa berhemat. Salah satu cara yang bisa dilakukan adalah melakukan penghematan biaya komunikasi dengan berbagai alternatif komunikasi.
(hyk)