Jakarta kejar destinasi belanja
A
A
A
Permintaan pembangunan pusat perbelanjaan di Jakarta terus meningkat. Sayangnya, moratorium menjadi penghambat pemenuhan permintaan tersebut. Padahal, Jakarta semakin mengukuhkan diri sebagai kota belanja.
Pertumbuhan pusat perbelanjaan di Jakarta terbilang pesat. Menurut riset perusahaan Konsultan Properti Cushman & Wakefield, pasokan kumulatif ruang ritel di Jakarta tumbuh 7,4% disertai peningkatan jumlah permintaan sebesar 8,0% sepanjang 2012.
Tingkat penyerapan tahun ini yang terbesar sejak 2005 yakni 229.300 m2. Penyerapan didominasi super/hipermarket, pusat perbelanjaan, toko perlengkapan rumah tangga, elektronik, kebugaran (fitness), permainan anakanak, dan bioskop, terutama di pusat perbelanjaan yang baru selesai dibangun.
Untuk mengatasi pertumbuhan tersebut, Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta kini memberlakukan kebijakan pembatasan pembangunan mal (moratorium). Hal ini guna mengurangi kepadatan lalu lintas dan menghindari oversupply mal di Jakarta.
Asisten Pembangunan dan Lingkungan Hidup Provinsi DKI Jakarta Wiriatmoko mengatakan, pembangunan mal baru sebaiknya ditarik ke luar wilayah Jakarta dan mulai memperluas pasar ke timur Indonesia.
Kini Pemprov DKI Jakarta sedang merencanakan beberapa titik di Jakarta sebagai area wisata belanja. ”Kecuali di koridor Jalan Satrio- Casablanca yang memang kami citacitakan akan menjadi area wisata belanja seperti Orchard Road, Singapura, yang akhirnya bisa menjadikan Jakarta destinasi wisata belanja yang baru,” tutur Wiriatmoko dalam laman okezone.com, 4 November 2012.
Moratorium mal ini berdampak buruk pada wacana menjadikan Jakarta sebagai tujuan belanja. Associate Director Research Colliers International Indonesia Fery Salanto mengungkapkan, Jakarta bisa kehilangan kesempatan untuk menjadi kota belanja karena pembangunan mal yang dibatasi.
”Jika pembangunan mal berlanjut, semua harus tertata rapi. Hal ini bisa menjadi nilai tambah nanti. Mal di suatu wilayah identik dengan belanja dan turis. Akhirnya mal dapat menyerap tenaga kerja,” ungkap Fery.
Sementara itu, Ketua Umum Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI) Stefanus Ridwan menyatakan setuju dengan moratorium ini. ”Sampai akhir 2012 masih bagus, tapi jangan kepanjangan. Mal lama dapat berkesempatan melakukan inovasi untuk memperbaiki tempatnya. Sedangkan mal baru punya kesempatan agar bisa menjual tempatnya supaya laku,”tuturnya.
Dia membantah mal di Jakarta oversupply dengan mengatakan, kebutuhan mal di Jakarta masih ada.
Dalam beberapa waktu belakangan ini tingkat kunjungan justru minim karena pengelola mal tidak melakukan inovasi untuk menarik konsumen. Akibat itu, mal tersebut gulung tikar.
”Mal yang tidak berubah,tidak mau memperbarui gedungnya, dan tidak menambah daya tarik, tentu makin lama makin tertinggal. Saya kira yang lesu bukan lantaran oversupply, melainkanyang kurang menarik akan tertinggal,” katanya.
Beroperasinya toko di pusat perbelanjaan yang baru dibuka mengakibatkan tingkat hunian di Jakarta naik sebesar 0,5% (secara kuartalan) dan 0,4% (secara tahunan) menjadi 81,4%. Dampaknya, ruang ritel kosong tersisa pada akhir Desember 2012 sekitar 710.700 m2.
Tingkat hunian pusat perbelanjaan sewa turun 0,1% (secara tahunan) menjadi 87,4% dan hunian pusat perbelanjaan strata-titlenaik 0,3% (secara tahunan) menjadi 67,2% akhir Desember 2012.
Setelah proyek pusat perbelanjaan strata-title Cikini Gold Center selesai, tingkat penyerapan per kuartal IV/2012 tercatat sebesar 27.400 m2. Angka ini lebih rendah dari angka kuartal III/2012 sebesar 161.600 m2.
Tingkat penyerapan tahunan ruang ritel Jakarta tercatat 229.300 m2,lebih tinggi dibandingkan pada 2011 yang hanya 94.000 m2. Pasokan kumulatif ruang ritel Jakarta per kuartal IV/2012 mencapai 3.823.600 m2.
Jumlah tersebut terdiri atas 2.688.900 m2 (70,3%) pusat perbelanjaan sewa dan 1.134.700 m2 (29,7%) pusat perbelanjaan strata-title pada akhir Desember 2012.Kontribusi terbesar terdapat di Jakarta Selatan sekitar 844.800 m2. Diikuti Jakarta CBD sebesar 801.900 (21,0%), Jakarta Utara dan Barat sekitar 758.900 m2 (19,8%) dan 660.400 m2 (17,3%).
Jakarta Pusat dan Timur menyumbang sisanya, sebesar 439.800 m2 (11,5%) dan 317.700 m2 (8,3%), dari total pasokan ritel di Jakarta. Pada 2013 diprediksi akan ada tambahan 283.100 m2 dan akhir 2013 pasukan ritel Jakarta sejumlah 4.106.700 m2.Pasokan baru pusat perbelanjaan pada 2013 akan didominasi pusat belanja one-stop sebesar 92,4% (261.600 m2) dan fasilitas ritel penunjang sebesar 7,6% (21.500 m2).
Dengan proyeksi tambahan pasokan sebesar 283.100 m2, pasokan kumulatif diperkirakan akan tumbuh sebesar 7,4% pada 2013. Pasokan kumulatif yang tinggi tersebut menunjukkan kebutuhan mal di Jakarta masih ada. Daya beli konsumen yang terus meningkat bahkan memikat peritel asing untuk membuka toko di Jakarta.
Penyelesaian empat pusat perbelanjaan one-stop besar diperkirakan akan menambah pertumbuhan permintaan kumulatif sebesar 7,8% dengan proyeksi penyerapan sebesar 244.300 m2 pada 2013.
Pertumbuhan pusat perbelanjaan di Jakarta terbilang pesat. Menurut riset perusahaan Konsultan Properti Cushman & Wakefield, pasokan kumulatif ruang ritel di Jakarta tumbuh 7,4% disertai peningkatan jumlah permintaan sebesar 8,0% sepanjang 2012.
Tingkat penyerapan tahun ini yang terbesar sejak 2005 yakni 229.300 m2. Penyerapan didominasi super/hipermarket, pusat perbelanjaan, toko perlengkapan rumah tangga, elektronik, kebugaran (fitness), permainan anakanak, dan bioskop, terutama di pusat perbelanjaan yang baru selesai dibangun.
Untuk mengatasi pertumbuhan tersebut, Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta kini memberlakukan kebijakan pembatasan pembangunan mal (moratorium). Hal ini guna mengurangi kepadatan lalu lintas dan menghindari oversupply mal di Jakarta.
Asisten Pembangunan dan Lingkungan Hidup Provinsi DKI Jakarta Wiriatmoko mengatakan, pembangunan mal baru sebaiknya ditarik ke luar wilayah Jakarta dan mulai memperluas pasar ke timur Indonesia.
Kini Pemprov DKI Jakarta sedang merencanakan beberapa titik di Jakarta sebagai area wisata belanja. ”Kecuali di koridor Jalan Satrio- Casablanca yang memang kami citacitakan akan menjadi area wisata belanja seperti Orchard Road, Singapura, yang akhirnya bisa menjadikan Jakarta destinasi wisata belanja yang baru,” tutur Wiriatmoko dalam laman okezone.com, 4 November 2012.
Moratorium mal ini berdampak buruk pada wacana menjadikan Jakarta sebagai tujuan belanja. Associate Director Research Colliers International Indonesia Fery Salanto mengungkapkan, Jakarta bisa kehilangan kesempatan untuk menjadi kota belanja karena pembangunan mal yang dibatasi.
”Jika pembangunan mal berlanjut, semua harus tertata rapi. Hal ini bisa menjadi nilai tambah nanti. Mal di suatu wilayah identik dengan belanja dan turis. Akhirnya mal dapat menyerap tenaga kerja,” ungkap Fery.
Sementara itu, Ketua Umum Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI) Stefanus Ridwan menyatakan setuju dengan moratorium ini. ”Sampai akhir 2012 masih bagus, tapi jangan kepanjangan. Mal lama dapat berkesempatan melakukan inovasi untuk memperbaiki tempatnya. Sedangkan mal baru punya kesempatan agar bisa menjual tempatnya supaya laku,”tuturnya.
Dia membantah mal di Jakarta oversupply dengan mengatakan, kebutuhan mal di Jakarta masih ada.
Dalam beberapa waktu belakangan ini tingkat kunjungan justru minim karena pengelola mal tidak melakukan inovasi untuk menarik konsumen. Akibat itu, mal tersebut gulung tikar.
”Mal yang tidak berubah,tidak mau memperbarui gedungnya, dan tidak menambah daya tarik, tentu makin lama makin tertinggal. Saya kira yang lesu bukan lantaran oversupply, melainkanyang kurang menarik akan tertinggal,” katanya.
Beroperasinya toko di pusat perbelanjaan yang baru dibuka mengakibatkan tingkat hunian di Jakarta naik sebesar 0,5% (secara kuartalan) dan 0,4% (secara tahunan) menjadi 81,4%. Dampaknya, ruang ritel kosong tersisa pada akhir Desember 2012 sekitar 710.700 m2.
Tingkat hunian pusat perbelanjaan sewa turun 0,1% (secara tahunan) menjadi 87,4% dan hunian pusat perbelanjaan strata-titlenaik 0,3% (secara tahunan) menjadi 67,2% akhir Desember 2012.
Setelah proyek pusat perbelanjaan strata-title Cikini Gold Center selesai, tingkat penyerapan per kuartal IV/2012 tercatat sebesar 27.400 m2. Angka ini lebih rendah dari angka kuartal III/2012 sebesar 161.600 m2.
Tingkat penyerapan tahunan ruang ritel Jakarta tercatat 229.300 m2,lebih tinggi dibandingkan pada 2011 yang hanya 94.000 m2. Pasokan kumulatif ruang ritel Jakarta per kuartal IV/2012 mencapai 3.823.600 m2.
Jumlah tersebut terdiri atas 2.688.900 m2 (70,3%) pusat perbelanjaan sewa dan 1.134.700 m2 (29,7%) pusat perbelanjaan strata-title pada akhir Desember 2012.Kontribusi terbesar terdapat di Jakarta Selatan sekitar 844.800 m2. Diikuti Jakarta CBD sebesar 801.900 (21,0%), Jakarta Utara dan Barat sekitar 758.900 m2 (19,8%) dan 660.400 m2 (17,3%).
Jakarta Pusat dan Timur menyumbang sisanya, sebesar 439.800 m2 (11,5%) dan 317.700 m2 (8,3%), dari total pasokan ritel di Jakarta. Pada 2013 diprediksi akan ada tambahan 283.100 m2 dan akhir 2013 pasukan ritel Jakarta sejumlah 4.106.700 m2.Pasokan baru pusat perbelanjaan pada 2013 akan didominasi pusat belanja one-stop sebesar 92,4% (261.600 m2) dan fasilitas ritel penunjang sebesar 7,6% (21.500 m2).
Dengan proyeksi tambahan pasokan sebesar 283.100 m2, pasokan kumulatif diperkirakan akan tumbuh sebesar 7,4% pada 2013. Pasokan kumulatif yang tinggi tersebut menunjukkan kebutuhan mal di Jakarta masih ada. Daya beli konsumen yang terus meningkat bahkan memikat peritel asing untuk membuka toko di Jakarta.
Penyelesaian empat pusat perbelanjaan one-stop besar diperkirakan akan menambah pertumbuhan permintaan kumulatif sebesar 7,8% dengan proyeksi penyerapan sebesar 244.300 m2 pada 2013.
(kur)