Hassan Wirajuda ditanyai urgensi Konferensi Internasional
A
A
A
Sindonews.com - Mantan Menteri Luar Negeri (Menlu) Nur Hassan Wirajuda mengaku saat pemeriksaan dirinya oleh penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang berlangsung lebih dari lima jam itu, penyidik mempertanyakan proses penyelenggaraan seminar/konfrensi internasional Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) tahun anggaran 2004-2005.
“Saya ditanyakan mengapa konferensi atau ada pertemuaan sebanyak itu dalam waktu dua tahun, banyak dalam artian antara 15 sampai 17. Pertanyaan tentang urgensi dalam penyelenggaran konferensi-konferensi ini serta kedudukan saya sebagai menteri luar negeri (waktu itu) saya sudah jelaskan,” kata Hassan, di depan Gedung KPK, Jalan HR Rasuna Said, Kuningan, Jakarta, Selasa (18/12/12).
Doktor lulusan University of Virginia School of Law itu memaparkan, dirinya juga menjelaskan dalam konteks waktu itu 2004 dan 2005 adalah awal krisis yang dimulai dengan krisis moneter pada 1997 sampai 1998 serta awal reformasi.
Dimana kata dia, Indonesia mengalami krisis multidimensional, politik, sosial, dan keamanan. Saat itu tuturnya, Indonesia benar-benar terpuruk dan tidak dianggap bahkan oleh tetangga kita.
“Indonesia yang dilihat sebelah mata. Karena itu kebijakan presiden sejak mega dan belakangan presiden SBY adalah kita diplomasi diperintahakan untuk menyelenggarakan konferensi-konfrensi internasional yang sifatnya pertama untuk membantu pemulihan negeri dan krisis kita dari keterpurukan. Dan yang kedua mengangkat kembali harkat dan derajat bangsa dan negara kita,” paparnya.
Dan lanjutnya, dari beberap konferensi tadi ada hal-hal yang sangat strategis. Dia menuturkan, kerja Indonesia yang tidak mudah untuk mendapat pengakuan dunia luar. Apalagi Indonesia saat itu mengalami krisis dan keterpurukan. Pasalnya kata dia, apalagi saat itu juga ada gempa bumi dan Tsunami Aceh.
“Indonesia yang menunjukkan daya tahan (resiliancy) dan mampu bahkan tidak hanya menyelenggarakan konferensi itu dengan baik tapi juga mampu tampil sebaga raja di kawasan,” bebernya.
Selain itu bebernya, penyidik mempertanyakan pemahamannya tentang UU Keuangan Negara 2003 dan UU Perbendaharaan Negara 2004, di mana ada pembinaan tanggung jawabb antara menteri sebaga pengguna anggaran, Sekjen sebagai kuasa pengguna anggaran dan tanggungjawab satuan-satuan atau panitia konferensi.
“UU itu jelas mengatur, menegaskan tanggungjawab pada tingktaan itu,” tandasnya.
Usai menjawab pertanyaan wartawan, Hassan Wirajuda langsung menuju mobil pribadinya kijang innova B 1632 RFS berwarna hitam.
Sekedar diketahui, dalam kasus penyelenggaraan seminar/sidang internasional Tsunami Summit di Kemenlu 2004-2005, KPK sudah menetapkan Sudjadnan Parnohadiningrat, mantan Sekretaris Jenderal Kemenlu menjadi pejabat pembuat komitmen sebagai tersangka.
Sudjadnan Parnohadiningrat diduga menyalahgunakan kewenangan dalam program penyelenggaraan kegiatan yang menerugikan negara sekitar Rp18 miliar.
Sudjanan ditetapkan menjadi tersangka sejak 21 November 2011 dengan sangkaan dari pasal 2 ayat 1 atau pasal 3 Undang-undang (UU) No 31/1999 sebagaimana diubah dengan UU No 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 55 ayat ke (1) ke-1 KUHPidana.
Sudjanan pun sudah divonis 20 bulan penjara oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada 19 Januari 2011.
Kasus itu sendiri berawal dari informasi yang diterima KPK terkait pengadaan/penyediaan mobil bagi delegasi-delegasi saat penyelenggaraan seminar tersebut. Diketahui saat pengadaan itu diduga ada penggunaan uang negara lebih dari miliaran rupiah.
Dari pengembangan itu, KPK Jilid II kemudian menemukan keterlibatan Sudjanan dalam penyalahgunaan kewenangan. Selain itu Sudjanan juga sempat diduga terlibat dalam proyek renovasi Gedung KBRI Singapura.
“Saya ditanyakan mengapa konferensi atau ada pertemuaan sebanyak itu dalam waktu dua tahun, banyak dalam artian antara 15 sampai 17. Pertanyaan tentang urgensi dalam penyelenggaran konferensi-konferensi ini serta kedudukan saya sebagai menteri luar negeri (waktu itu) saya sudah jelaskan,” kata Hassan, di depan Gedung KPK, Jalan HR Rasuna Said, Kuningan, Jakarta, Selasa (18/12/12).
Doktor lulusan University of Virginia School of Law itu memaparkan, dirinya juga menjelaskan dalam konteks waktu itu 2004 dan 2005 adalah awal krisis yang dimulai dengan krisis moneter pada 1997 sampai 1998 serta awal reformasi.
Dimana kata dia, Indonesia mengalami krisis multidimensional, politik, sosial, dan keamanan. Saat itu tuturnya, Indonesia benar-benar terpuruk dan tidak dianggap bahkan oleh tetangga kita.
“Indonesia yang dilihat sebelah mata. Karena itu kebijakan presiden sejak mega dan belakangan presiden SBY adalah kita diplomasi diperintahakan untuk menyelenggarakan konferensi-konfrensi internasional yang sifatnya pertama untuk membantu pemulihan negeri dan krisis kita dari keterpurukan. Dan yang kedua mengangkat kembali harkat dan derajat bangsa dan negara kita,” paparnya.
Dan lanjutnya, dari beberap konferensi tadi ada hal-hal yang sangat strategis. Dia menuturkan, kerja Indonesia yang tidak mudah untuk mendapat pengakuan dunia luar. Apalagi Indonesia saat itu mengalami krisis dan keterpurukan. Pasalnya kata dia, apalagi saat itu juga ada gempa bumi dan Tsunami Aceh.
“Indonesia yang menunjukkan daya tahan (resiliancy) dan mampu bahkan tidak hanya menyelenggarakan konferensi itu dengan baik tapi juga mampu tampil sebaga raja di kawasan,” bebernya.
Selain itu bebernya, penyidik mempertanyakan pemahamannya tentang UU Keuangan Negara 2003 dan UU Perbendaharaan Negara 2004, di mana ada pembinaan tanggung jawabb antara menteri sebaga pengguna anggaran, Sekjen sebagai kuasa pengguna anggaran dan tanggungjawab satuan-satuan atau panitia konferensi.
“UU itu jelas mengatur, menegaskan tanggungjawab pada tingktaan itu,” tandasnya.
Usai menjawab pertanyaan wartawan, Hassan Wirajuda langsung menuju mobil pribadinya kijang innova B 1632 RFS berwarna hitam.
Sekedar diketahui, dalam kasus penyelenggaraan seminar/sidang internasional Tsunami Summit di Kemenlu 2004-2005, KPK sudah menetapkan Sudjadnan Parnohadiningrat, mantan Sekretaris Jenderal Kemenlu menjadi pejabat pembuat komitmen sebagai tersangka.
Sudjadnan Parnohadiningrat diduga menyalahgunakan kewenangan dalam program penyelenggaraan kegiatan yang menerugikan negara sekitar Rp18 miliar.
Sudjanan ditetapkan menjadi tersangka sejak 21 November 2011 dengan sangkaan dari pasal 2 ayat 1 atau pasal 3 Undang-undang (UU) No 31/1999 sebagaimana diubah dengan UU No 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 55 ayat ke (1) ke-1 KUHPidana.
Sudjanan pun sudah divonis 20 bulan penjara oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada 19 Januari 2011.
Kasus itu sendiri berawal dari informasi yang diterima KPK terkait pengadaan/penyediaan mobil bagi delegasi-delegasi saat penyelenggaraan seminar tersebut. Diketahui saat pengadaan itu diduga ada penggunaan uang negara lebih dari miliaran rupiah.
Dari pengembangan itu, KPK Jilid II kemudian menemukan keterlibatan Sudjanan dalam penyalahgunaan kewenangan. Selain itu Sudjanan juga sempat diduga terlibat dalam proyek renovasi Gedung KBRI Singapura.
(rsa)