Inefisiensi birokrasi masih menjadi kendala
A
A
A
Daya saing Indonesia melorot empat peringkat dibanding tahun lalu. Berbagai persoalan yang terjadi di Tanah Air, mulai dari kasus korupsi, persoalan birokrasi yang tidak efisien, hingga pembangunan infrastruktur yang tidak berjalan baik dinilai menjadi penyebab turunnya daya saing.
“Ketiga hal itu yang menjadi penyebab utama penurunan daya saing Indonesia, dari ranking 46 (2011) menjadi peringkat 50 (2012),” ungkap Direktur Eksekutif INDEF yang juga pengamat ekonomi Ahmad Erani
Yustika kepada harian Seputar Indonesia(SINDO).
Dalam menangani ketiga masalah ini Indonesia belum begitu dapat mengatasi seperti negara lain. Misalnya, dalam penanganan korupsi, Indonesia dinilai masih lemah dalam memberikan sanksi bagi para koruptor. Malah tidak jarang, kasus korupsi yang akhirnya menguap.
Sementara, dalam inefisiensi birokrasi, Erani menilai, hingga kini keadaan kelembagaan di Indonesia belum begitu mumpuni, baik dalam hal pelayanan publik maupun kualitas sumber daya manusia (SDM).
Hingga kini masih banyak tenaga kerja di sejumlah birokrasi yang ditempatkan pada bidang pekerjaan yang tidak sesuai dengan pendidikan.
“Hal inilah yang menyebabkan perkembangan keadaan birokrasi Indonesia tidak sebaik negara lain,” katanya.
Menurutnya , untuk menanggulangi hal tersebut, cara yang dapat dilakukan pemerintah adalah dengan melakukan seleksi kembali mengenai kemampuan para pekerja yang ada dalam lingkup pemerintahan.
“Selain itu, pemerintah juga harus lebih giat dalam mengadakan berbagai macam pelatihan. Ini semata-mata untuk memacu kemajuan pesat keadaan birokrasi di Tanah Air,” jelasnya.
Meski begitu, kata Erani, penurunan tingkat daya saing ini pada dasarnya tidak memberi dampak langsung pada kemajuan negara, apalagi dalam hal iklim investasi.
“Hanya, publikasi ini dapat dimanfaatkan untuk melihat sejauh mana persaingan Indonesia dengan negara lain di dunia maupun yang ada di kawasan Asia,” jelasnya.
Dia memaparkan, walaupun daya saing Indonesia mengalami penurunan, keadaan investasi ke depan diprediksi tetap membaik.
“Sebab, selain kelas menengah Indonesia yang semakin meningkat, ukuran pasar Indonesia juga masih berhasil masuk dalam peringkat baik,” tuturnya.
Berdasarkan laporan WEF, peringkat pasar (market size) masih berada di urutan ke-16 dari 144 negara dunia yang ada dalam survei tahunan tersebut.
Angka ini berada di bawah Turki yang ada di posisi 15 dan di atas Taiwan di peringkat 17, serta Iran yang ada di urutan 18.
“Jumlah penduduk dan tingginya potensi sumber daya alam Indonesialah yang menjadikan market size kita masih berada di peringkat 20 besar. Sehingga,dengan adanya hal itu secara otomatis keinginan para investor untuk berinvestasi di Tanah Air juga masih tinggi dan baik,” paparnya.
Dia menerangkan, seharusnya semua potensi ini dapat dimanfaatkan secara maksimal oleh pemerintah. Sehingga, daya saing kita tidak merosot seperti sekarang.
“Adanya publikasi yang jelas dari forum ekonomi dunia ini seharusnya bisa dijadikan satu acuan bagi pemerintah untuk dapat menyeimbangkan potensi besar yang telah kita miliki,” jelasnya.
Optimisme membaiknya keadaan iklim investasi di tengah penurun daya saing Indonesia secara global juga disampaikan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Hatta Rajasa.
Menurut dia, dengan berhasilnya Indonesia mengantongi status investment grade dari lembaga pemeringkatan dunia, maka iklim investasi Indonesia diyakini tetap bisa membaik dan berkembang.
“Adanya status ini yang menguatkan bahwa iklim investasi Tanah Air masih baik,” ungkapnya pada wartawan di Kantor Kementerian Perekonomian, Jakarta, Kamis 12 September 2012.
Lebih lajut dia mengungkapkan, untuk lebih meningkatkan investasi pemerintah akan melakukan suatu perbaikan birokrasi dengan membuat sejumlah program yang disebut dengan birokrasi efisien, yang pastinya akan melayani publik lebih baik dan tidak menghambat.
“Dengan adanya laporan ini, pemerintah kini berorientasi agar pelayanan publik bisa menjadi lebih baik, tanggap dan cepat yang bertujuan untuk memperbaiki keadaan Indonesia ke arah yang lebih baik,” pungkasnya.
“Ketiga hal itu yang menjadi penyebab utama penurunan daya saing Indonesia, dari ranking 46 (2011) menjadi peringkat 50 (2012),” ungkap Direktur Eksekutif INDEF yang juga pengamat ekonomi Ahmad Erani
Yustika kepada harian Seputar Indonesia(SINDO).
Dalam menangani ketiga masalah ini Indonesia belum begitu dapat mengatasi seperti negara lain. Misalnya, dalam penanganan korupsi, Indonesia dinilai masih lemah dalam memberikan sanksi bagi para koruptor. Malah tidak jarang, kasus korupsi yang akhirnya menguap.
Sementara, dalam inefisiensi birokrasi, Erani menilai, hingga kini keadaan kelembagaan di Indonesia belum begitu mumpuni, baik dalam hal pelayanan publik maupun kualitas sumber daya manusia (SDM).
Hingga kini masih banyak tenaga kerja di sejumlah birokrasi yang ditempatkan pada bidang pekerjaan yang tidak sesuai dengan pendidikan.
“Hal inilah yang menyebabkan perkembangan keadaan birokrasi Indonesia tidak sebaik negara lain,” katanya.
Menurutnya , untuk menanggulangi hal tersebut, cara yang dapat dilakukan pemerintah adalah dengan melakukan seleksi kembali mengenai kemampuan para pekerja yang ada dalam lingkup pemerintahan.
“Selain itu, pemerintah juga harus lebih giat dalam mengadakan berbagai macam pelatihan. Ini semata-mata untuk memacu kemajuan pesat keadaan birokrasi di Tanah Air,” jelasnya.
Meski begitu, kata Erani, penurunan tingkat daya saing ini pada dasarnya tidak memberi dampak langsung pada kemajuan negara, apalagi dalam hal iklim investasi.
“Hanya, publikasi ini dapat dimanfaatkan untuk melihat sejauh mana persaingan Indonesia dengan negara lain di dunia maupun yang ada di kawasan Asia,” jelasnya.
Dia memaparkan, walaupun daya saing Indonesia mengalami penurunan, keadaan investasi ke depan diprediksi tetap membaik.
“Sebab, selain kelas menengah Indonesia yang semakin meningkat, ukuran pasar Indonesia juga masih berhasil masuk dalam peringkat baik,” tuturnya.
Berdasarkan laporan WEF, peringkat pasar (market size) masih berada di urutan ke-16 dari 144 negara dunia yang ada dalam survei tahunan tersebut.
Angka ini berada di bawah Turki yang ada di posisi 15 dan di atas Taiwan di peringkat 17, serta Iran yang ada di urutan 18.
“Jumlah penduduk dan tingginya potensi sumber daya alam Indonesialah yang menjadikan market size kita masih berada di peringkat 20 besar. Sehingga,dengan adanya hal itu secara otomatis keinginan para investor untuk berinvestasi di Tanah Air juga masih tinggi dan baik,” paparnya.
Dia menerangkan, seharusnya semua potensi ini dapat dimanfaatkan secara maksimal oleh pemerintah. Sehingga, daya saing kita tidak merosot seperti sekarang.
“Adanya publikasi yang jelas dari forum ekonomi dunia ini seharusnya bisa dijadikan satu acuan bagi pemerintah untuk dapat menyeimbangkan potensi besar yang telah kita miliki,” jelasnya.
Optimisme membaiknya keadaan iklim investasi di tengah penurun daya saing Indonesia secara global juga disampaikan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Hatta Rajasa.
Menurut dia, dengan berhasilnya Indonesia mengantongi status investment grade dari lembaga pemeringkatan dunia, maka iklim investasi Indonesia diyakini tetap bisa membaik dan berkembang.
“Adanya status ini yang menguatkan bahwa iklim investasi Tanah Air masih baik,” ungkapnya pada wartawan di Kantor Kementerian Perekonomian, Jakarta, Kamis 12 September 2012.
Lebih lajut dia mengungkapkan, untuk lebih meningkatkan investasi pemerintah akan melakukan suatu perbaikan birokrasi dengan membuat sejumlah program yang disebut dengan birokrasi efisien, yang pastinya akan melayani publik lebih baik dan tidak menghambat.
“Dengan adanya laporan ini, pemerintah kini berorientasi agar pelayanan publik bisa menjadi lebih baik, tanggap dan cepat yang bertujuan untuk memperbaiki keadaan Indonesia ke arah yang lebih baik,” pungkasnya.
(kur)