Presiden pun beli follower
A
A
A
Negara adidaya Amerika Serikat (AS) tengah diramaikan dengan pencalonan presiden ke- 45. Ada banyak cerita yang bisa dikisahkan bagi negara-negara lainnya yang memakai sistem demokrasi yaitu penggunaan media sosial sebagai strategi untuk meningkatkan popularitas dan menarik dukungan yang lebih luas dan cepat.
Barack Obama dari Partai Demokrat dan Mitt Romney dari Partai Republik, keduanya sama-sama memiliki jutaan followersdi akun Twitter. Seperti dalam situs listfanpage.com misalnya jumlah followers keduanya selalu meningkat ribuan setiap hari.
Sayangnya, seperti diberitakan beberapa media belum lama ini, ribuan dukungan mereka di Twitter adalah palsu. Obama yang memiliki sekitar 19 juta followers ternyata dari jutaan pengikutnya itu dinilai palsu.
Fakta tersebut terungkap melalui sebuah alat dari perusahaan media sosial StatusPeople, Fake Follower yang mengatakan bahwa sekitar 70% dari total followers Obama merupakan akun palsu atau tidak aktif.
Dalam analisis Status People, ada sekitar 30% dari 70% follower miliki presiden AS ini palsu dan 40% merupakan tidak aktif. “Akun palsu cenderung menjadi follower banyak orang dan tidak memiliki follower.
Akun ini biasanya dibuat guna menyampaikan pesan sampah, sementara akun yang tidak aktif memiliki up date tweet terbaru dalam waktu yang cukup lama,” ungkap pendiri Status People, Rob Waller kepada Guardian.
Mereka bisa jadi merupakan orang yang nyata. ”Tapi kami akan menggambarkan mereka sebagai konsumen informasi daripada pemberi informasi. Sebuah akun yang baik adalah segala sesuatu yang tetap,” kata Waller.
Keberadaan followers palsu juga terjadi pada akun Twitter milik Romney. “Ada 30% followers Obama yang palsu, sedangkan Romney sendiri sekitar 16% followersyang palsu,” tulis Konsultan Bisnis dan Marketing dari Chicago, Dan Gershenson pada artikel bertajuk What Obama, Romney and Lady Gaga have in Common.
Dia mengatakan, hal ini karena baik Obama maupun Romney sangat terobsesi dengan jumlah followers mereka, tapi tidak mengerti betul mengenai media sosial.
“Keduanya ingin kredibilitasnya meningkat, tetapi mereka tidak tahu bahwa jumlah follower palsu ini hasil beli dari perusahaan,” ungkap kolumnis bisnis ini.
Memiliki 10.000 followers, lanjut Gershenson, kedengarannya mengesankan. Padahal, banyaknya jumlah itu hasil pembelian dengan mungkin beberapa ratus dolar saja.
Meski begitu, tidak banyak orang mengetahui soal pembelian follower ini. Untuk menutupi “kecurangan” ini, muncul opini di antara kedua kandidat ini bahwa semua orang yang memiliki akun Twitter diikuti jumlah followers palsu.
Hal itu bisa dimungkinkan seiring dengan cepatnya laju bots (followerrobot) di internet. Meski isu follower palsu ini menggelinding, popularitas dua politisi ini tidak terpengaruh.
Keduanya malah sangat diuntungkan dengan optimalisasi jejaring sosial sebagai alat kampanye mereka.Tidak bisa dipungkiri, Twitter dan media sosial lain yang mereka gunakan untuk meningkatkan jumlah pendukung, mengumpulkan dana dan menggeser fokus debat publik dari ruang nyata ke virtual.
“Ini akan menjadi ‘pemilu sosial’ pertama AS pada November mendatang,” kata Pemimpin Konsultan Media 140Elect, Zach Green, dikutip AFP.
Mayoritas penduduk AS aktivitas kesehariannya banyak bergelut dengan dunia maya, terutama memainkan media sosial. Sampai Juni 2011 saja, menurut com- Score Media Metrix, jumlah pengguna Facebookdi atas usia 15 tahun mencapai 91%,sementara pengguna Twittermencapai 24%.
Mereka tidak saja menggunakannya untuk berkomunikasi mencari teman, tetapi juga sudah menjadi bagian dari tuntutan kerja mereka. Banyak mempunyai followers akan semakin banyak pula kedua kandidat ini untuk menyebarluaskan visi dan misinya menuju kursi kepresidenan.
Twitter atau media sosial lain lebih dari mesin pencari teman, melainkan di “tangan” dua politisi ini bisa menjadi media diskusi menanggapi persoalan kebangsaan. Tidak heran jika keduanya kerap “perang”up date tweet di akun masing-masing dan disaksikan para followernya.
Menurut Juru Bicara Gedung Putih dan Departemen Keuangan di era George W Bush yang sekarang menjadi mitra di perusahaan konsultan Hamilton Place Strategies, Tony Fratto, Twitter memiliki potensi yang signifikan dalam mengubah permainan politik nasional.
“Twitter memungkinkan segala hal bagi tim kampanye sebagai alat interaksi langsung dengan pemilih potensial yang berjumlah besar. Ini cara termurah yang pernah ada,” kata Fratto.
Barack Obama dari Partai Demokrat dan Mitt Romney dari Partai Republik, keduanya sama-sama memiliki jutaan followersdi akun Twitter. Seperti dalam situs listfanpage.com misalnya jumlah followers keduanya selalu meningkat ribuan setiap hari.
Sayangnya, seperti diberitakan beberapa media belum lama ini, ribuan dukungan mereka di Twitter adalah palsu. Obama yang memiliki sekitar 19 juta followers ternyata dari jutaan pengikutnya itu dinilai palsu.
Fakta tersebut terungkap melalui sebuah alat dari perusahaan media sosial StatusPeople, Fake Follower yang mengatakan bahwa sekitar 70% dari total followers Obama merupakan akun palsu atau tidak aktif.
Dalam analisis Status People, ada sekitar 30% dari 70% follower miliki presiden AS ini palsu dan 40% merupakan tidak aktif. “Akun palsu cenderung menjadi follower banyak orang dan tidak memiliki follower.
Akun ini biasanya dibuat guna menyampaikan pesan sampah, sementara akun yang tidak aktif memiliki up date tweet terbaru dalam waktu yang cukup lama,” ungkap pendiri Status People, Rob Waller kepada Guardian.
Mereka bisa jadi merupakan orang yang nyata. ”Tapi kami akan menggambarkan mereka sebagai konsumen informasi daripada pemberi informasi. Sebuah akun yang baik adalah segala sesuatu yang tetap,” kata Waller.
Keberadaan followers palsu juga terjadi pada akun Twitter milik Romney. “Ada 30% followers Obama yang palsu, sedangkan Romney sendiri sekitar 16% followersyang palsu,” tulis Konsultan Bisnis dan Marketing dari Chicago, Dan Gershenson pada artikel bertajuk What Obama, Romney and Lady Gaga have in Common.
Dia mengatakan, hal ini karena baik Obama maupun Romney sangat terobsesi dengan jumlah followers mereka, tapi tidak mengerti betul mengenai media sosial.
“Keduanya ingin kredibilitasnya meningkat, tetapi mereka tidak tahu bahwa jumlah follower palsu ini hasil beli dari perusahaan,” ungkap kolumnis bisnis ini.
Memiliki 10.000 followers, lanjut Gershenson, kedengarannya mengesankan. Padahal, banyaknya jumlah itu hasil pembelian dengan mungkin beberapa ratus dolar saja.
Meski begitu, tidak banyak orang mengetahui soal pembelian follower ini. Untuk menutupi “kecurangan” ini, muncul opini di antara kedua kandidat ini bahwa semua orang yang memiliki akun Twitter diikuti jumlah followers palsu.
Hal itu bisa dimungkinkan seiring dengan cepatnya laju bots (followerrobot) di internet. Meski isu follower palsu ini menggelinding, popularitas dua politisi ini tidak terpengaruh.
Keduanya malah sangat diuntungkan dengan optimalisasi jejaring sosial sebagai alat kampanye mereka.Tidak bisa dipungkiri, Twitter dan media sosial lain yang mereka gunakan untuk meningkatkan jumlah pendukung, mengumpulkan dana dan menggeser fokus debat publik dari ruang nyata ke virtual.
“Ini akan menjadi ‘pemilu sosial’ pertama AS pada November mendatang,” kata Pemimpin Konsultan Media 140Elect, Zach Green, dikutip AFP.
Mayoritas penduduk AS aktivitas kesehariannya banyak bergelut dengan dunia maya, terutama memainkan media sosial. Sampai Juni 2011 saja, menurut com- Score Media Metrix, jumlah pengguna Facebookdi atas usia 15 tahun mencapai 91%,sementara pengguna Twittermencapai 24%.
Mereka tidak saja menggunakannya untuk berkomunikasi mencari teman, tetapi juga sudah menjadi bagian dari tuntutan kerja mereka. Banyak mempunyai followers akan semakin banyak pula kedua kandidat ini untuk menyebarluaskan visi dan misinya menuju kursi kepresidenan.
Twitter atau media sosial lain lebih dari mesin pencari teman, melainkan di “tangan” dua politisi ini bisa menjadi media diskusi menanggapi persoalan kebangsaan. Tidak heran jika keduanya kerap “perang”up date tweet di akun masing-masing dan disaksikan para followernya.
Menurut Juru Bicara Gedung Putih dan Departemen Keuangan di era George W Bush yang sekarang menjadi mitra di perusahaan konsultan Hamilton Place Strategies, Tony Fratto, Twitter memiliki potensi yang signifikan dalam mengubah permainan politik nasional.
“Twitter memungkinkan segala hal bagi tim kampanye sebagai alat interaksi langsung dengan pemilih potensial yang berjumlah besar. Ini cara termurah yang pernah ada,” kata Fratto.
(kur)