Janji manis peternak akun
A
A
A
Para penyedia jasa jual beli follower akun Twitter menjanjikan bisa mendekatkan merek (brand) dengan pasar dan konsumen mereka. Mereka bahkan menjanjikan follower yang sesuai brand yang akan dibangun.
Penggunaan media sosial seperti Twitter yang semakin marak diakui bisa membantu proses pemasaran sebuah brand.Banyak yang beranggapan semakin banyak follower akan memudahkan sebuah brand beriklan pada mereka.
Menurut pengamat bisnis dan pemasaran Yuswohadi, dalam beberapa tahun terakhir banyak perusahaan baik besar maupun usaha kecil menengah (UKM) yang mulai getol menggunakan blog, jejaring sosial (Facebook dan Twitter) untuk aktivitas pemasaran.
Sayangnya, kata Yuswohadi, banyak dari mereka yang salah dalam memersepsikan media sosial, terutama jika sarananya dibumbui jual beli teman atau follower.
Jual beli ini praktik yang keliru. Apalagi jika membeli follower bertujuan untuk memasarkan dan mendekatkan sebuah produk kepada masyarakat. Dia menjelaskan bahwa media sosial bukanlah bersifat vertikal seperti televisi, radio, atau surat kabar.
“Mereka berpikir, ketika memiliki puluhan ribu teman atau follower, dengan seenaknya bisa ‘menjejali’ mereka dengan pesan-pesan iklan.Padahal tidak,” kata Yuswohadi kepada harian Seputar Indonesia (SINDO).
Pemasaran melalui media sosial bersifat horizontal yang mempunyai ciri permission-based, bukan interruption- based seperti iklan televisi atau radio.Ketika seseorang sudah memutuskan untuk menjadi teman atau mem-follow sebuah brand, itu sebuah kepercayaan dan amanah yang harus dijaga.
Jangan sampai hal itu disalahgunakan dengan memanfaatkan mereka sebagai objek dan sasaran pasar brand. Kesalahan lain dari praktik jual beli ini adalah adanya anggapan bahwa media sosial hanya bersifat satu arah. Padahal kekuatan utama media ini adalah komunikasi dua arah yang membuat terjadi percakapan dan keterikatan.
Keunggulan ini tidak dimiliki televisi, radio,atau surat kabar. Karena itu, perusahaan tidak bisa menjejali followermereka dengan berbagai iklan. Yuswohadi melihat banyak brand yang tidak pernah mau mendengarkan dan merespons tanggapan followernya.
Alasannya berbagai macam, mulai dari kerepotan menanggapi satu persatu, hingga tidak punya waktu. Dengan komunikasi dua arah, brand bisa membangun kepercayaan (trust) dan saling pengertian (understanding). Kesalahan terbesar dari praktik jual beli ini karena ada anggapan bahwa teman atau follower bisa dibeli.
Yuswohadi menyayangkan tren jual beli akun Twitter karena hal ini tidak ada hasilnya. Dia mencontohkan seorang mahasiswa mempunyai akun yang sangat kreatif, lucu, nyeleneh.
Akhirnya akun itu di-follow hingga ratusan ribu tweeps. Namun, ketika sedang membutuhkan uang untuk kuliah dia menjual akun tersebut jutaan rupiah kepada sebuah brand. Kemudian pemilik akun baru melakukan “balik nama” menggunakan nama brand tersebut.
“Saya tidak mengerti bagaimana hal ini bisa terjadi. Esensi sebuah brand melakukan marketing di media sosial adalah untuk membangun hubungan intim dua arah dengan konsumen berlandaskan saling pengertian, saling kepedulian, dan saling percaya,”kata Yuswohadi.
Hubungan dua arah tersebut tidak akan bisa terjalin dengan instan, namun harus dipupuk terus menerus dan membutuhkan waktu lama. Menurutnya, sikap saling pengertian, peduli, percaya tidak bisa dibeli dengan uang. Pertemanan dengan konsumen tidak bisa dibeli.
Sementara itu, menurut pakar telematika Roy Suryo, saat ini yang terjadi bukan praktik jual beli follower, melainkan penggandaan dan duplikasi follower.
Caranya dengan saling retweet, atau comment di akun yang memiliki banyak follower agar di-replay kemudian ikut “nampang”. Dalam konteks politik, Suryo menggaris bawahi bahwa banyaknya follower belum tentu berarti sebuah dukungan karena banyak juga yang sengaja mem-follow hanya untuk “mengintip”atau “menguping”dalam artian negatif untuk menyerang balik.
“Jadi intinya, mau jual beli atau gandakan follower (dengan cara manual atau menggunakan software) tidak akan berpengaruh pada elektabilitas seseorang,” kata Roy kepada SINDO.
Penggunaan media sosial seperti Twitter yang semakin marak diakui bisa membantu proses pemasaran sebuah brand.Banyak yang beranggapan semakin banyak follower akan memudahkan sebuah brand beriklan pada mereka.
Menurut pengamat bisnis dan pemasaran Yuswohadi, dalam beberapa tahun terakhir banyak perusahaan baik besar maupun usaha kecil menengah (UKM) yang mulai getol menggunakan blog, jejaring sosial (Facebook dan Twitter) untuk aktivitas pemasaran.
Sayangnya, kata Yuswohadi, banyak dari mereka yang salah dalam memersepsikan media sosial, terutama jika sarananya dibumbui jual beli teman atau follower.
Jual beli ini praktik yang keliru. Apalagi jika membeli follower bertujuan untuk memasarkan dan mendekatkan sebuah produk kepada masyarakat. Dia menjelaskan bahwa media sosial bukanlah bersifat vertikal seperti televisi, radio, atau surat kabar.
“Mereka berpikir, ketika memiliki puluhan ribu teman atau follower, dengan seenaknya bisa ‘menjejali’ mereka dengan pesan-pesan iklan.Padahal tidak,” kata Yuswohadi kepada harian Seputar Indonesia (SINDO).
Pemasaran melalui media sosial bersifat horizontal yang mempunyai ciri permission-based, bukan interruption- based seperti iklan televisi atau radio.Ketika seseorang sudah memutuskan untuk menjadi teman atau mem-follow sebuah brand, itu sebuah kepercayaan dan amanah yang harus dijaga.
Jangan sampai hal itu disalahgunakan dengan memanfaatkan mereka sebagai objek dan sasaran pasar brand. Kesalahan lain dari praktik jual beli ini adalah adanya anggapan bahwa media sosial hanya bersifat satu arah. Padahal kekuatan utama media ini adalah komunikasi dua arah yang membuat terjadi percakapan dan keterikatan.
Keunggulan ini tidak dimiliki televisi, radio,atau surat kabar. Karena itu, perusahaan tidak bisa menjejali followermereka dengan berbagai iklan. Yuswohadi melihat banyak brand yang tidak pernah mau mendengarkan dan merespons tanggapan followernya.
Alasannya berbagai macam, mulai dari kerepotan menanggapi satu persatu, hingga tidak punya waktu. Dengan komunikasi dua arah, brand bisa membangun kepercayaan (trust) dan saling pengertian (understanding). Kesalahan terbesar dari praktik jual beli ini karena ada anggapan bahwa teman atau follower bisa dibeli.
Yuswohadi menyayangkan tren jual beli akun Twitter karena hal ini tidak ada hasilnya. Dia mencontohkan seorang mahasiswa mempunyai akun yang sangat kreatif, lucu, nyeleneh.
Akhirnya akun itu di-follow hingga ratusan ribu tweeps. Namun, ketika sedang membutuhkan uang untuk kuliah dia menjual akun tersebut jutaan rupiah kepada sebuah brand. Kemudian pemilik akun baru melakukan “balik nama” menggunakan nama brand tersebut.
“Saya tidak mengerti bagaimana hal ini bisa terjadi. Esensi sebuah brand melakukan marketing di media sosial adalah untuk membangun hubungan intim dua arah dengan konsumen berlandaskan saling pengertian, saling kepedulian, dan saling percaya,”kata Yuswohadi.
Hubungan dua arah tersebut tidak akan bisa terjalin dengan instan, namun harus dipupuk terus menerus dan membutuhkan waktu lama. Menurutnya, sikap saling pengertian, peduli, percaya tidak bisa dibeli dengan uang. Pertemanan dengan konsumen tidak bisa dibeli.
Sementara itu, menurut pakar telematika Roy Suryo, saat ini yang terjadi bukan praktik jual beli follower, melainkan penggandaan dan duplikasi follower.
Caranya dengan saling retweet, atau comment di akun yang memiliki banyak follower agar di-replay kemudian ikut “nampang”. Dalam konteks politik, Suryo menggaris bawahi bahwa banyaknya follower belum tentu berarti sebuah dukungan karena banyak juga yang sengaja mem-follow hanya untuk “mengintip”atau “menguping”dalam artian negatif untuk menyerang balik.
“Jadi intinya, mau jual beli atau gandakan follower (dengan cara manual atau menggunakan software) tidak akan berpengaruh pada elektabilitas seseorang,” kata Roy kepada SINDO.
(kur)