Mr crack dari timur

Sabtu, 01 September 2012 - 13:56 WIB
Mr crack dari timur
Mr crack dari timur
A A A
Nama besar Bacharuddin Jusuf Habibie di dunia teknologi (khususnya kedirgantaraan) sudah tidak bisa diragukan lagi, baik di dalam maupun di luar negeri. Sejumlah penghargaan bergengsi internasional pun diraih sosok yang juga berjuluk “manusia multidimensional” ini.

Rekam jejak Habibie di teknologi dirgantara sangat panjang dan mendapatkan apresiasi yang sangat besar. Tak heran jika sosok yang juga dikenal sebagai “Manusia Multidimensional” ini pernah dianugerahi medali penghargaan Theodore van Karman.

Sebuah anugerah bergengsi di tingkat internasional tempat berkumpulnya pakar-pakar terkemuka konstruksi pesawat terbang. Nama Habibie begitu dikenal di Jerman sebelum kembali ke Indonesia dan mempunyai peran besar dalam membangun Industri Pesawat Terbang Nasional (IPTN) pada masa keemasannya.

Di industri dirgantara dunia,Habibie dikenal sebagai Mr Crack karena keahliannya menghitung crack propagation on random sampai ke atom-atom pesawat terbang.Tak heran di dunia pesawat terbang, beberapa rumusan teori Habibie dikenal dengan sebutan “Habibie Factor”, “Habibie Theorem”, dan “Habibie Method”.

Karena sumbangsih Habibie, para insinyur dan produsen pesawat bisa mendeteksi retakan (crack) sejak dini dengan penentuan titik crack. Sebelum titik crack ditemukan, para insinyur mengantisipasi kemungkinan muncul keretakan konstruksi dengan cara meninggikan faktor keselamatan (SF).

Caranya, meningkatkan kekuatan bahan konstruksi jauh di atas angka kebutuhan teoritis. Namun, hal ini berdampak pada material yang diperlukan, akan menjadi lebih berat. Untuk pesawat terbang, material aluminium dikombinasikan dengan baja. Setelah titik crack bisa dihitung, derajat SF bisa diturunkan.

Misalnya dengan memilih campuran material sayap dan badan pesawat yang lebih ringan. Porsi baja dikurangi, aluminium makin dominan dalam bodi pesawat terbang. Dalam dunia penerbangan, terobosan ini tersohor dengan sebutan “Habibie Factor”.

Temuan ini bisa meringankan bobot pesawat tanpa berat penumpang dan bahan bakar (operating empty weight) hingga 10% dari bobot sebelumnya. Angka penurunan ini bahkan bisa mencapai 25% setelah Habibie menyusupkan material komposit ke dalam tubuh pesawat.

Meski begitu, pengurangan berat ini tak membuat maksimum total bobot pesawat ditambah penumpang dan bahan bakar (takeoff weight) ikut merosot. Dengan begitu, secara umum daya angkut pesawat meningkat dan daya jelajah makin jauh sehingga secara ekonomi kinerja pesawat bisa ditingkatkan.

Habibie Factor berperan besar dalam pengembangan teknologi penggabungan bagian per bagian kerangka pesawat sehingga sambungan badan pesawat yang silinder dengan sisi sayap yang oval mampu menahan tekanan udara saat tubuh pesawat lepas landas.

Begitu juga pada sambungan badan pesawat dengan landing gearjauh lebih kokoh sehingga mampu menahan beban saat pesawat mendarat.Faktor mesin jet yang menjadi penambah potensi fatiquemenjadi turun.

Sejumlah teori Habibie di bidang kedirgantaraan menjadi satu bukti bahwa dirinya ilmuwan dirgantara yang berjasa dalam pengembangan dan desain pesawat.

Karena itu, pada peringatan Tahun Emas (Golden Jubilee) berdirinya Organisasi Penerbangan Sipil bentukan PBB (The International Civil Aviation Organization/ ICAO) di Montreal, Kanada, 7 Desember 1994, Habibie dianugerahi medali Edward Warner Award yang diberikan oleh Sekretaris Jenderal ICAO Philippe Rochat yang didampingi Sekretaris Jenderal PBB saat itu, Boutros Boutros?Ghali.

“Ini membuktikan bahwa kualitas SDM Indonesia sama dengan kualitas SDM di Amerika, Eropa, Jepang, dan China,”kata Habibie dalam pidatonya. Sosok yang menjabat menteri negara riset dan teknologi selama 20 tahun itu (1978–1998) pernah berkarier di Messerschmitt-Bölkow-Blohm (MBB), perusahaan penerbangan yang berpusat di Hamburg, Jerman.

Di perusahaan ini Habibie pernah menduduki posisi wakil presiden bidang teknologi. Pria kelahiran Pare-pare, Sulawesi Selatan 25 Juni 1936 ini menjadi satusatunya orang Asia yang berhasil menduduki jabatan nomor dua di perusahaan pesawat terbang Jerman itu.

Pada 1974, saat berusia 38 tahun, pria yang menghabiskan 10 tahun menyelesaikan studi S-1 hingga S-3 di Aachen-Jerman ini kembali ke Indonesia atas permintaan mantan Presiden Soeharto. Saat mengembangkan industri dirgantara nasional, Habibie menciptakan N-250 yang terbang perdana (first flight) pada 1995 dan mendapatkan pengakuan dunia internasional.

Karena nama besar Habibie itu, mantan Direktur Utama Bursa Efek Indonesia Erry Firmansyah optimistis proyek pengembangan kembali N-250 akan berhasil dan bisa diterima di pasar.

Sebagaimana diketahui, Erry melalui PT Eagle Capital memiliki saham 49% di PT Regio Aviasi Industri (RAI) yang akan mendesain ulang N-250. Sedangkan 51% lainnya dimiliki Ilham dan Thareq Habibie melalui PT Ilthabie Rekatama.

Erry yakin bermitra dengan Habibie yang merupakan ahli teknologi pesawat ternama dunia bisa mengembangkan N-250 dengan desain baru yang lebih canggih dan mutakhir yang tidak kalah dengan buatan pabrikan luar negeri.

“Dengan bekerja sama bersama Pak Habibie, saya yakin pesawat ini akan bisa diterima dengan baik sehingga dapat mengudara di langit dalam negeri maupun luar negeri,” kata Erry kepada harian SINDO.

Tujuan Erry berpartisipasi dalam proyek ini untuk ikut berkontribusi bersama Habibie mengangkat industri pesawat dalam negeri di kancah global. Selain itu, dia juga yakin saat ini industri pesawat dunia semakin baik. Hal ini ditandai dengan meningkatnya kebutuhan pesawat.

Keyakinan pasar, ditambah kepiawaian Habibie di bidang kedirgantaraan menjadi dua alasan kuat Erry merambah industri pesawat. Sayangnya, Erry enggan memberikan rincian seperti apa pesawat N-250 yang akan didesain ulang itu. Meski begitu, dia memastikan N-250 baru akan sesuai dengan kebutuhan pasar sehingga bisa terserap langsung.
(kur)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.1310 seconds (0.1#10.140)