Sayap nusantara bakal kembali terbang
A
A
A
Di industri pesawat terbang,Indonesia sejatinya sudah bisa unjuk gigi.Kehadiran pesawat N-250 yang terbang perdana pada 10 Agustus 1995 menjadi satu bukti kepiawaian anak bangsa di dunia kedirgantaraan.
Adalah BJ Habibie “sang Kreator” karya berteknologi tinggi itu. Keberadaan pesawat N-250 menjadi catatan sejarah baru teknologi Indonesia. Tak heran jika peristiwa terbang perdana pesawat N-250 itu dicanangkan sebagai Hari Kebangkitan Teknologi Nasional (Hakteknas).
“Dengan terbangnya N-250 pada kecepatan tinggi dalam daerah subsonik dan stabilitas terbang dikendalikan secara elektronik dengan memanfaatkan teknologi fly by wire adalah prestasi nyata bangsa Indonesia dalam teknologi dirgantara,” papar Habibie dalam pidatonya saat peringatan Hakteknas 2012 di Bandung 10 Agustus 2012.
Dijelaskan Habibie, dalam sejarah dunia penerbangan sipil, pesawat N250 adalah pesawat turboprop pertama yang dikendalikan dengan teknologi fly by wire.Dalam sejarah dunia dirgantara sipil, pesawat Jet Airbus A300 (Eropa) adalah yang pertama kali menggunakan teknologi fly by wire.
Namun, Airbus 300 terbang dalam daerah transsonicdengan kecepatan tinggi. Begitu juga dengan Boeing 777 (Amerika Serikat). Teknologi fly by wire sebagai sistem kendali pesawat yang menggunakan sirkuit elektronik. Sistem ini berguna untuk mengirimkan input pengendalian dari pilot ke motor yang menggerakkan kontrol permukaan (control surface) seperti flap, aileron, dan rudder.
Pada sistem ini tidak ada lagi penghubung hidrolik maupun mekanikal secara langsung antara pilot dengan control surface pada pesawat. Sedangkan digital fly by wire (DFBW) menggunakan sistem kendali terbang elektronik yang dipasangkan dengan komputer digital untuk menggantikan sistem kendali mekanikal konvensional.
Mutlak jika kecepatan terbang tipe pesawat ini maksimal 610 maksimal kilo meter per jam (330 mil per jam). Sementara kecepatan ekonomisnya mencapai 555 kilo meter per jam,yang merupakan kecepatan tertinggi di kelas turboprop 50 penumpang. Kemudian ketinggian operasinya mencapai 25.000 kaki (7.620 meter) dengan daya jelajah 1.480 kilo meter.
Pada 1985, sepuluh tahun sebelum terbang perdana,telah dimulai riset dan pengembangan pesawat N250. Semua hasil penelitian dari pusat-pusat keunggulan penelitian di Eropa dan Amerika Utara dalam bidang ilmu dirgantara, ilmu aerodinamik, ilmu aeroelastik, ilmu konstruksi ringan, ilmu rekayasa, ilmu propulsi, ilmu elektronik, ilmuavionik, ilmuproduksi, ilmupengendalian mutu (quality control), dan sebagainya telah dikembangkan dan diterapkan di IPTN, Puspitek, BPPT, dan ITB.
Tak heran jika eksistensi pesawat N- 250 menjadi penanda lahirnya karya fenomenal anak bangsa. Pesawat regional turbopropini rancangan asli Industri Pesawat Terbang Nusantara/IPTN (sekarang PT Dirgantara Indonesia/PT DI).
Penggunaan kode “N”(Nusantara) dinilai punya arti tersendiri. Kode ini dipakai karena ingin menunjukkan bahwa semua proses N-250 mulai dari desain, produksi, sampai melakukan segala perhitungan dilakukan di Tanah Air dan dikerjakan anak bangsa. Pesawat N-250 merupakan pesawat komersial berbaling-baling berkapasitas penumpang 50-70 orang.
Dengan keunggulan-keunggulan itu,pesawat N-250 ini lebih dimungkinkan terbang ke pulau-pulau yang ada di Indonesia.Apalagi, mengingat Indonesia merupakan negara kepulauan. Terlebih,saat ini Fokker-50 produksi Fokker Aviation, Belanda sudah pailit sejak 1996.
Ini salah satu kompetitor pesawat N-250. Pesaing lain yang sejenis adalah ATR 72 milik perusahaan pesawat Prancis-Italia ATR, dan Bombardier Dash-8,Kanada. Jika N-250 berkapasitas penumpang 50 sampai 70, ATR 72 bisa memuat penumpang sebanyak 78 orang.
Pesawat bermesin ganda yang dibuat di Toulouse, Prancis ini merupakan pengembangan dari ATR 42 dengan memperpanjang lambung pesawat, meningkatkan bentang sayap, memperbarui mesin, serta meningkatkan kapasitas bahan bakar hingga 10%.
Sementara Bombardier Dash-8, produksi De-Havilland, Kanada yang bergabung dengan pabrikan pesawat dunia, Bombardier berkapasitas penumpang lebih kecil dibanding N-250 dan ATR 72, yaitu 37-48 penumpang, bergantung varian pesawat.
Karena itu, jika upaya untuk mendesain kembali dan mengembangkan N-250 bisa terealisasi dengan baik, bukan tidak mungkin pesawat buatan anak bangsa ini menjadi primadona, khususnya di kawasan Asia-Tenggara.
“Upaya membangkitkan kembali pabrikan pesawat terbang asli buah karya anak bangsa sebaiknya langsung dipikirkan mengenai pemasaran dan pembiayaannya agar kelangsungan industri ini tetap bisa bertahan nantinya,” kata Pengamat Industri Penerbangan, Samudra Sukardi.
Adalah BJ Habibie “sang Kreator” karya berteknologi tinggi itu. Keberadaan pesawat N-250 menjadi catatan sejarah baru teknologi Indonesia. Tak heran jika peristiwa terbang perdana pesawat N-250 itu dicanangkan sebagai Hari Kebangkitan Teknologi Nasional (Hakteknas).
“Dengan terbangnya N-250 pada kecepatan tinggi dalam daerah subsonik dan stabilitas terbang dikendalikan secara elektronik dengan memanfaatkan teknologi fly by wire adalah prestasi nyata bangsa Indonesia dalam teknologi dirgantara,” papar Habibie dalam pidatonya saat peringatan Hakteknas 2012 di Bandung 10 Agustus 2012.
Dijelaskan Habibie, dalam sejarah dunia penerbangan sipil, pesawat N250 adalah pesawat turboprop pertama yang dikendalikan dengan teknologi fly by wire.Dalam sejarah dunia dirgantara sipil, pesawat Jet Airbus A300 (Eropa) adalah yang pertama kali menggunakan teknologi fly by wire.
Namun, Airbus 300 terbang dalam daerah transsonicdengan kecepatan tinggi. Begitu juga dengan Boeing 777 (Amerika Serikat). Teknologi fly by wire sebagai sistem kendali pesawat yang menggunakan sirkuit elektronik. Sistem ini berguna untuk mengirimkan input pengendalian dari pilot ke motor yang menggerakkan kontrol permukaan (control surface) seperti flap, aileron, dan rudder.
Pada sistem ini tidak ada lagi penghubung hidrolik maupun mekanikal secara langsung antara pilot dengan control surface pada pesawat. Sedangkan digital fly by wire (DFBW) menggunakan sistem kendali terbang elektronik yang dipasangkan dengan komputer digital untuk menggantikan sistem kendali mekanikal konvensional.
Mutlak jika kecepatan terbang tipe pesawat ini maksimal 610 maksimal kilo meter per jam (330 mil per jam). Sementara kecepatan ekonomisnya mencapai 555 kilo meter per jam,yang merupakan kecepatan tertinggi di kelas turboprop 50 penumpang. Kemudian ketinggian operasinya mencapai 25.000 kaki (7.620 meter) dengan daya jelajah 1.480 kilo meter.
Pada 1985, sepuluh tahun sebelum terbang perdana,telah dimulai riset dan pengembangan pesawat N250. Semua hasil penelitian dari pusat-pusat keunggulan penelitian di Eropa dan Amerika Utara dalam bidang ilmu dirgantara, ilmu aerodinamik, ilmu aeroelastik, ilmu konstruksi ringan, ilmu rekayasa, ilmu propulsi, ilmu elektronik, ilmuavionik, ilmuproduksi, ilmupengendalian mutu (quality control), dan sebagainya telah dikembangkan dan diterapkan di IPTN, Puspitek, BPPT, dan ITB.
Tak heran jika eksistensi pesawat N- 250 menjadi penanda lahirnya karya fenomenal anak bangsa. Pesawat regional turbopropini rancangan asli Industri Pesawat Terbang Nusantara/IPTN (sekarang PT Dirgantara Indonesia/PT DI).
Penggunaan kode “N”(Nusantara) dinilai punya arti tersendiri. Kode ini dipakai karena ingin menunjukkan bahwa semua proses N-250 mulai dari desain, produksi, sampai melakukan segala perhitungan dilakukan di Tanah Air dan dikerjakan anak bangsa. Pesawat N-250 merupakan pesawat komersial berbaling-baling berkapasitas penumpang 50-70 orang.
Dengan keunggulan-keunggulan itu,pesawat N-250 ini lebih dimungkinkan terbang ke pulau-pulau yang ada di Indonesia.Apalagi, mengingat Indonesia merupakan negara kepulauan. Terlebih,saat ini Fokker-50 produksi Fokker Aviation, Belanda sudah pailit sejak 1996.
Ini salah satu kompetitor pesawat N-250. Pesaing lain yang sejenis adalah ATR 72 milik perusahaan pesawat Prancis-Italia ATR, dan Bombardier Dash-8,Kanada. Jika N-250 berkapasitas penumpang 50 sampai 70, ATR 72 bisa memuat penumpang sebanyak 78 orang.
Pesawat bermesin ganda yang dibuat di Toulouse, Prancis ini merupakan pengembangan dari ATR 42 dengan memperpanjang lambung pesawat, meningkatkan bentang sayap, memperbarui mesin, serta meningkatkan kapasitas bahan bakar hingga 10%.
Sementara Bombardier Dash-8, produksi De-Havilland, Kanada yang bergabung dengan pabrikan pesawat dunia, Bombardier berkapasitas penumpang lebih kecil dibanding N-250 dan ATR 72, yaitu 37-48 penumpang, bergantung varian pesawat.
Karena itu, jika upaya untuk mendesain kembali dan mengembangkan N-250 bisa terealisasi dengan baik, bukan tidak mungkin pesawat buatan anak bangsa ini menjadi primadona, khususnya di kawasan Asia-Tenggara.
“Upaya membangkitkan kembali pabrikan pesawat terbang asli buah karya anak bangsa sebaiknya langsung dipikirkan mengenai pemasaran dan pembiayaannya agar kelangsungan industri ini tetap bisa bertahan nantinya,” kata Pengamat Industri Penerbangan, Samudra Sukardi.
(kur)