Ambisi yang masih terkubur
A
A
A
Berbicara industri dirgantara nasional tidak bisa dipisahkan dari PT Dirgantara Indonesia (DI) yang dulu dikenal sebagai Industri Pesawat Terbang Nusantara (IPTN).
Sejatinya, perusahaan negara yang memproduksi pesawat terbang itu sudah membuat sejumlah karya yang tak kalah hebat dibanding negara lain. Perusahaan pelat merah ini bukan hanya pernah memproduksi pesawat N- 250 yang fenomenal itu, tetapi juga beberapa jenis pesawat seperti CN-235 dan Helikopter NAS 332 Super Puma. PT DI bahkan pernah berencana membuat pesawat N-2130,pesawat jet komuter berkapasitas 80-130 penumpang. Tetapi, sebagaimana juga N-250, rencana pembuatan N-2130 tenggelam akibat krisis multidimensi 1997. Proyek N-2130 diumumkan mantan Presiden Soeharto pada 10 November 1995, bertepatan dengan terbang perdana N-250.
Saat itu Soeharto mengajak rakyat Indonesia untuk menjadikan proyek N- 2130 sebagai proyek nasional. Pesawat N- 2130 yang kala itu diperkirakan akan menelan dana USD2 miliar dibuat secara gotong-royong melalui penjualan dua juta lembar saham dengan harga pecahan USD1.000. Untuk itu, perusahaan PT Dua Satu Tiga Puluh (PT DSTP) dibentuk untuk melaksanakan proyek besar ini. Sayang, rencana akhirnya kandas akibat krisis.
Setahun berikutnya, mayoritas pemegang saham di PT DSTP menggelar rapat umum pemegang saham luar biasa (RUPSLB) dan meminta perusahaan itu melikuidasi diri. Padahal, pembuatan purwarupa pesawat ini telah menghabiskan dana sekitar USD70 juta. Sesuai keputusan RUPSLB, dana ini selanjutnya dianggap sunk-cost. Menurut Staf Hubungan Masyarakat (Humas) PT DI Rakhendi Triyatna, N-2130 merupakan satu paket dengan N-250.
Kedua jenis pesawat ini harus dibatalkan produksinya akibat letter of intent (LoI) yang disyaratkan International Monetary Fund (IMF) pada masa krisis 1997. Saat itu IMF mengharuskan tidak ada dana yang dialirkan kepada IPTN sehingga produksi dua pesawat ini tidak bisa dilanjutkan. Padahal, biaya produksi dua pesawat ini tidak semuanya direncanakan dari pemerintah, namun juga menghimpun dana gotong-royong dari masyarakat Indonesia. Saat itu IPTN yakin keduanya bisa sukses di pasaran, bahkan diprediksi bisa menguasai pasar Amerika dan Eropa. Menurut Rakhendi, karena hal itu jugalah IMF meminta produksi dua pesawat ini dihentikan.
“Akibat produksi dua pesawat itu terhenti, para ahli yang dimiliki PT DI pun pergi ke berbagai negara,” kata Rakhendi.
Batalnya produksi dua pesawat tidak membuat PT DI berhenti produksi pesawat. Saat ini PT DI sedang memproduksi CN-235 yang merupakan pesawat militer. Pembuatan pesawat ini patungan antara PT DI dan CASA Spanyol. Menurut Rakhendi, porsi pembuatan pesawat ini antara komponen lokal dan asing 50:50. Produksi di kedua negara dimulai pada Desember 1986. Varian pertama CN-235 seri 10 dan varian peningkatan CN-235 Seri 100/110 yang menggunakan dua mesin General Electric CT7-9C berdaya 1750 shp bukan jenis CT7- 7A berdaya 1700 shp pada model sebelumnya.
Pesawat ini mempunyai kapasitas 45 penumpang dengan panjang 21,40 m dan bentang sayap 25,81 m, serta tinggi 8,18 m. Untuk produksi pesawat CN-235, PT DI dan CASA mempunyai pembagian tersendiri.PT DI memproduksi sayap rentang untuk CN-235. Sedangkan Spanyol memproduksi sayap tengah dan hidung (nose). Sedangkan body pesawat diproduksi pihak yang mendapatkan order. Mereka mengerjakan 75 persen dari pesawat.
“Jika PT DI yang mendapatkan order,PT DI memproduksi 75% dari pesawat, begitu juga dengan CASA, jika mereka yang mendapatkan order,mereka yang memproduksi 75% pesawat. Namun, PT DI pada dasarnya bisa memproduksi keseluruhan pesawat,” tambah Rakhendi.
Saat ini PT DI sudah memproduksi 59 pesawat. Sekarang juga sedang memproduksi lima pesawat CN-235 untuk TNI Angkatan Laut. PT DI yakin pesawat jenis ini akan banyak diminati militer karena sesuai kebutuhan militer di lapangan. PT DI pun siap memproduksi setiap pesanan yang datang.
Sejatinya, perusahaan negara yang memproduksi pesawat terbang itu sudah membuat sejumlah karya yang tak kalah hebat dibanding negara lain. Perusahaan pelat merah ini bukan hanya pernah memproduksi pesawat N- 250 yang fenomenal itu, tetapi juga beberapa jenis pesawat seperti CN-235 dan Helikopter NAS 332 Super Puma. PT DI bahkan pernah berencana membuat pesawat N-2130,pesawat jet komuter berkapasitas 80-130 penumpang. Tetapi, sebagaimana juga N-250, rencana pembuatan N-2130 tenggelam akibat krisis multidimensi 1997. Proyek N-2130 diumumkan mantan Presiden Soeharto pada 10 November 1995, bertepatan dengan terbang perdana N-250.
Saat itu Soeharto mengajak rakyat Indonesia untuk menjadikan proyek N- 2130 sebagai proyek nasional. Pesawat N- 2130 yang kala itu diperkirakan akan menelan dana USD2 miliar dibuat secara gotong-royong melalui penjualan dua juta lembar saham dengan harga pecahan USD1.000. Untuk itu, perusahaan PT Dua Satu Tiga Puluh (PT DSTP) dibentuk untuk melaksanakan proyek besar ini. Sayang, rencana akhirnya kandas akibat krisis.
Setahun berikutnya, mayoritas pemegang saham di PT DSTP menggelar rapat umum pemegang saham luar biasa (RUPSLB) dan meminta perusahaan itu melikuidasi diri. Padahal, pembuatan purwarupa pesawat ini telah menghabiskan dana sekitar USD70 juta. Sesuai keputusan RUPSLB, dana ini selanjutnya dianggap sunk-cost. Menurut Staf Hubungan Masyarakat (Humas) PT DI Rakhendi Triyatna, N-2130 merupakan satu paket dengan N-250.
Kedua jenis pesawat ini harus dibatalkan produksinya akibat letter of intent (LoI) yang disyaratkan International Monetary Fund (IMF) pada masa krisis 1997. Saat itu IMF mengharuskan tidak ada dana yang dialirkan kepada IPTN sehingga produksi dua pesawat ini tidak bisa dilanjutkan. Padahal, biaya produksi dua pesawat ini tidak semuanya direncanakan dari pemerintah, namun juga menghimpun dana gotong-royong dari masyarakat Indonesia. Saat itu IPTN yakin keduanya bisa sukses di pasaran, bahkan diprediksi bisa menguasai pasar Amerika dan Eropa. Menurut Rakhendi, karena hal itu jugalah IMF meminta produksi dua pesawat ini dihentikan.
“Akibat produksi dua pesawat itu terhenti, para ahli yang dimiliki PT DI pun pergi ke berbagai negara,” kata Rakhendi.
Batalnya produksi dua pesawat tidak membuat PT DI berhenti produksi pesawat. Saat ini PT DI sedang memproduksi CN-235 yang merupakan pesawat militer. Pembuatan pesawat ini patungan antara PT DI dan CASA Spanyol. Menurut Rakhendi, porsi pembuatan pesawat ini antara komponen lokal dan asing 50:50. Produksi di kedua negara dimulai pada Desember 1986. Varian pertama CN-235 seri 10 dan varian peningkatan CN-235 Seri 100/110 yang menggunakan dua mesin General Electric CT7-9C berdaya 1750 shp bukan jenis CT7- 7A berdaya 1700 shp pada model sebelumnya.
Pesawat ini mempunyai kapasitas 45 penumpang dengan panjang 21,40 m dan bentang sayap 25,81 m, serta tinggi 8,18 m. Untuk produksi pesawat CN-235, PT DI dan CASA mempunyai pembagian tersendiri.PT DI memproduksi sayap rentang untuk CN-235. Sedangkan Spanyol memproduksi sayap tengah dan hidung (nose). Sedangkan body pesawat diproduksi pihak yang mendapatkan order. Mereka mengerjakan 75 persen dari pesawat.
“Jika PT DI yang mendapatkan order,PT DI memproduksi 75% dari pesawat, begitu juga dengan CASA, jika mereka yang mendapatkan order,mereka yang memproduksi 75% pesawat. Namun, PT DI pada dasarnya bisa memproduksi keseluruhan pesawat,” tambah Rakhendi.
Saat ini PT DI sudah memproduksi 59 pesawat. Sekarang juga sedang memproduksi lima pesawat CN-235 untuk TNI Angkatan Laut. PT DI yakin pesawat jenis ini akan banyak diminati militer karena sesuai kebutuhan militer di lapangan. PT DI pun siap memproduksi setiap pesanan yang datang.
(azh)