Dia hidupkan yang mati suri
A
A
A
Mantan Presiden Bacharuddin Jusuf Habibie ingin kembali mengembangkan pesawat N-250. Keinginan tersebut memberi optimisme baru bagi bangkitnya industri dirgantara buatan anak bangsa. Pesawat regional komuter turboprop ini akan didesain ulang.
Gagasan tersebut tercetus karena mantan menteri negara riset dan teknologi di era Presiden Soeharto ini prihatin menyaksikan PT Dirgantara Indonesia (PT DI), Bandung seperti mangkrak setelah krisis 1998. Padahal, kemampuan anak bangsa menciptakan pesawat terbang bukan isapan jempol belaka.
“Banyak pesawat yang harusnya dalam perakitan di hanggar PT DI, tapi faktanya terkesan mangkrak. Perusahaan negara pembuat pesawat ini sunyi, tak banyak aktivitas meski hari kerja,” kata Habibie saat menyampaikan keterangan pers pada Hari Kebangkitan Teknologi Nasional (Hakteknas) di Gedung Sate Bandung, Jumat 10 Agustus 2012.
Menurut sosok yang pernah berkarier di Messerschmitt-Bölkow-Blohm (MBB)––perusahaan penerbangan di Hamburg, Jerman––PT DI sekarang mati suri.
Tak marak lagi pengembangan pesawat terbang di Indonesia.Padahal,dahulu karya-karya yang dihasilkan dari buah tangan anak bangsa mendapat perhatian yang besar dari pelaku industri pesawat terbang internasional. Malah, sejumlah negara sudah membelinya. Karena waktu itu bermasalah dengan pembiayaan, produksi terpaksa dihentikan.
Karena itu, Habibie merasa terpanggil untuk kembali menghidupkan yang mati suri dengan mendesain ulang pesawat N-250 yang akan disesuaikan dengan selera pasar.“Saya yang punya gambarnya,” kata Habibie.
Menurut Habibie,desain dan mesin akan diperbarui.Di samping itu,kabarnya perubahan rancangan pesawat serbadigital. “Kami akan redesain pesawat, salah satunya mesin.Ini perlu karena ada jarak teknologi kurang lebih 20 tahunan,” ujar Habibie saat acara open house Idul Fitri 1433 Hijriah di kediamannya di Jalan Patra Kuningan XIII, Jakarta, 19 Agustus 2012, sebagaimana dilansir Antara.
Rancang bangun ulang N-250 akan dilakukan perusahaan yang didirikannya, PT Regio Aviasi Industri (RAI). Perusahaan ini bekerja sama dengan dua perusahaan swasta lain, PT Ilhabi Rekatama milik Ilham Akbar Habibie yang akan memegang 51% saham dan PT Eagle Capital milik Erry Firmansyah yang memegang bagian 49% saham.
Sosok yang pada 1965-1969 menjabat kepala penelitian dan pengembangan pada analisis struktur pesawat terbang MBB ini mengatakan, sumber daya manusia bangsa Indonesia mampu mengembangkan teknologi kedirgantaraan. Pesawat N-250 yang terbang perdana Agustus 1995 itu menjadi satu bukti nyata dan itu bukan mimpi.
“Kita bukan tidak mempunyai dana untuk memulainya kembali. Apakah benar apa yang didoktrinkan Belanda dahulu bahwa kita ini bangsa kuli? Kita tidak begitu. Kita telah membuktikannya (menciptakan pesawat).Dalam hal itu, kita tidak dididik Belanda atau Jepang! Kita buat sendiri,” kata Habibie, yang menerima penghargaan Edward Bruner Award pada 1994.
Habibie akan mengajak sejumlah mantan karyawan PT DI yang tersebar di berbagai negara untuk merintis industri pembuatan pesawat milik swasta itu.“Mereka rindu dan ingin sekali pulang dan berkontribusi dalam proyek ini,” kata Habibie.
Sementara itu, pengamat industri penerbangan Samudra Sukardi mengatakan, gagasan Habibie yang ingin membangkitkan kembali industri kedirgantaraan Indonesia patut diacungi jempol. Gagasan ini dinilai sangat luar biasa apalagi mengingat hanggar PT DI yang saat ini kian memprihatinkan.
“Rasanya mau nangis saja lihat hanggar itu. Seperti rumah hantu, sepi dan sebagian pesawat banyak yang mangkrak. Belum selesai perakitan karena terganjal pendanaan,” ucap Samudra kepada SINDO, Rabu 15 Agustus 2012.
Samudra menjelaskan, desain yang disiapkan sebenarnya sudah jadi. Sayangnya, dahulu pengembangan N- 250 terbentur krisis 1998.Tetapi, saat ini yang perlu diperhatikan secara serius adalah bagaimana memajukan kembali dirgantara Indonesia dan tidak hanya fokus pada produksi.Hal ini agar keberadaan proyek tersebut bisa bertahan dan eksis di pasar.
Karena itu, perlu dipikirkan mengenai pendanaan awal, pemasaran (marketing) institusional, dan kesiapan sumber daya manusia. Federal Aviation Administration (FAA) tidak akan memberikan izin sertifikasi jika kondisi perusahaan pembuat pesawat tetap seperti PT DI sekarang ini. Segala strukturnya sudah harus dipersiapkan kembali dari awal.
“Memang suku cadangnya masih banyak yang didatangkan dari luar, namun di dalam negeri sudah harus bisa mengurus perakitan body. Ide ini sangat bagus seiring dengan penyerapan penumpang saat ini yang cukup membanggakan,”ungkapnya.
Samudra sangat optimistis dengan rencana Habibie tersebut.Apalagi,dari sisi sumber daya manusia di industri kedirgantaraan, Indonesia tidak kalah dengan negara lain. “Masyarakat kita yang ahli di bidang teknologi pesawat banyak, mereka pintar-pintar.Ketika mereka diikutkan pelatihan di luar negeri, peringkatnya selalu teratas,” tandas Samudra.
Karena itu, produksi pesawat terbang semacam ini membutuhkan pemimpin yang kuat seperti Habibie. Dari sisi permodalan, proyek pembuatan pesawat terbang karya anak bangsa ini membutuhkan kerja sama dari berbagai pihak seperti perbankan, pemerintah, dan swasta lainnya terutama soal pembiayaan awal.
Upaya mengembangkan kembali teknologi kedirgantaraan Indonesia saat ini menemukan titik optimistis. Jika gagasan yang dipelopori Habibie terealisasi, bukan tidak mungkin banyak lahir generasi muda Indonesia yang mampu mengembangkan teknologi kedirgantaraan pada masa depan.
Gagasan tersebut tercetus karena mantan menteri negara riset dan teknologi di era Presiden Soeharto ini prihatin menyaksikan PT Dirgantara Indonesia (PT DI), Bandung seperti mangkrak setelah krisis 1998. Padahal, kemampuan anak bangsa menciptakan pesawat terbang bukan isapan jempol belaka.
“Banyak pesawat yang harusnya dalam perakitan di hanggar PT DI, tapi faktanya terkesan mangkrak. Perusahaan negara pembuat pesawat ini sunyi, tak banyak aktivitas meski hari kerja,” kata Habibie saat menyampaikan keterangan pers pada Hari Kebangkitan Teknologi Nasional (Hakteknas) di Gedung Sate Bandung, Jumat 10 Agustus 2012.
Menurut sosok yang pernah berkarier di Messerschmitt-Bölkow-Blohm (MBB)––perusahaan penerbangan di Hamburg, Jerman––PT DI sekarang mati suri.
Tak marak lagi pengembangan pesawat terbang di Indonesia.Padahal,dahulu karya-karya yang dihasilkan dari buah tangan anak bangsa mendapat perhatian yang besar dari pelaku industri pesawat terbang internasional. Malah, sejumlah negara sudah membelinya. Karena waktu itu bermasalah dengan pembiayaan, produksi terpaksa dihentikan.
Karena itu, Habibie merasa terpanggil untuk kembali menghidupkan yang mati suri dengan mendesain ulang pesawat N-250 yang akan disesuaikan dengan selera pasar.“Saya yang punya gambarnya,” kata Habibie.
Menurut Habibie,desain dan mesin akan diperbarui.Di samping itu,kabarnya perubahan rancangan pesawat serbadigital. “Kami akan redesain pesawat, salah satunya mesin.Ini perlu karena ada jarak teknologi kurang lebih 20 tahunan,” ujar Habibie saat acara open house Idul Fitri 1433 Hijriah di kediamannya di Jalan Patra Kuningan XIII, Jakarta, 19 Agustus 2012, sebagaimana dilansir Antara.
Rancang bangun ulang N-250 akan dilakukan perusahaan yang didirikannya, PT Regio Aviasi Industri (RAI). Perusahaan ini bekerja sama dengan dua perusahaan swasta lain, PT Ilhabi Rekatama milik Ilham Akbar Habibie yang akan memegang 51% saham dan PT Eagle Capital milik Erry Firmansyah yang memegang bagian 49% saham.
Sosok yang pada 1965-1969 menjabat kepala penelitian dan pengembangan pada analisis struktur pesawat terbang MBB ini mengatakan, sumber daya manusia bangsa Indonesia mampu mengembangkan teknologi kedirgantaraan. Pesawat N-250 yang terbang perdana Agustus 1995 itu menjadi satu bukti nyata dan itu bukan mimpi.
“Kita bukan tidak mempunyai dana untuk memulainya kembali. Apakah benar apa yang didoktrinkan Belanda dahulu bahwa kita ini bangsa kuli? Kita tidak begitu. Kita telah membuktikannya (menciptakan pesawat).Dalam hal itu, kita tidak dididik Belanda atau Jepang! Kita buat sendiri,” kata Habibie, yang menerima penghargaan Edward Bruner Award pada 1994.
Habibie akan mengajak sejumlah mantan karyawan PT DI yang tersebar di berbagai negara untuk merintis industri pembuatan pesawat milik swasta itu.“Mereka rindu dan ingin sekali pulang dan berkontribusi dalam proyek ini,” kata Habibie.
Sementara itu, pengamat industri penerbangan Samudra Sukardi mengatakan, gagasan Habibie yang ingin membangkitkan kembali industri kedirgantaraan Indonesia patut diacungi jempol. Gagasan ini dinilai sangat luar biasa apalagi mengingat hanggar PT DI yang saat ini kian memprihatinkan.
“Rasanya mau nangis saja lihat hanggar itu. Seperti rumah hantu, sepi dan sebagian pesawat banyak yang mangkrak. Belum selesai perakitan karena terganjal pendanaan,” ucap Samudra kepada SINDO, Rabu 15 Agustus 2012.
Samudra menjelaskan, desain yang disiapkan sebenarnya sudah jadi. Sayangnya, dahulu pengembangan N- 250 terbentur krisis 1998.Tetapi, saat ini yang perlu diperhatikan secara serius adalah bagaimana memajukan kembali dirgantara Indonesia dan tidak hanya fokus pada produksi.Hal ini agar keberadaan proyek tersebut bisa bertahan dan eksis di pasar.
Karena itu, perlu dipikirkan mengenai pendanaan awal, pemasaran (marketing) institusional, dan kesiapan sumber daya manusia. Federal Aviation Administration (FAA) tidak akan memberikan izin sertifikasi jika kondisi perusahaan pembuat pesawat tetap seperti PT DI sekarang ini. Segala strukturnya sudah harus dipersiapkan kembali dari awal.
“Memang suku cadangnya masih banyak yang didatangkan dari luar, namun di dalam negeri sudah harus bisa mengurus perakitan body. Ide ini sangat bagus seiring dengan penyerapan penumpang saat ini yang cukup membanggakan,”ungkapnya.
Samudra sangat optimistis dengan rencana Habibie tersebut.Apalagi,dari sisi sumber daya manusia di industri kedirgantaraan, Indonesia tidak kalah dengan negara lain. “Masyarakat kita yang ahli di bidang teknologi pesawat banyak, mereka pintar-pintar.Ketika mereka diikutkan pelatihan di luar negeri, peringkatnya selalu teratas,” tandas Samudra.
Karena itu, produksi pesawat terbang semacam ini membutuhkan pemimpin yang kuat seperti Habibie. Dari sisi permodalan, proyek pembuatan pesawat terbang karya anak bangsa ini membutuhkan kerja sama dari berbagai pihak seperti perbankan, pemerintah, dan swasta lainnya terutama soal pembiayaan awal.
Upaya mengembangkan kembali teknologi kedirgantaraan Indonesia saat ini menemukan titik optimistis. Jika gagasan yang dipelopori Habibie terealisasi, bukan tidak mungkin banyak lahir generasi muda Indonesia yang mampu mengembangkan teknologi kedirgantaraan pada masa depan.
(kur)