Fraksi di DPR pilih pilkada paket
A
A
A
Sindonews.com – Mayoritas fraksi di DPR masih menginginkan pemilihan umum kepala daerah (pilkada) dilakukan dalam sistem paket. Keinginan DPR ini bertolak belakang dengan usulan pemerintah yang menginginkan agar pilkada tidak lagi memakai sistem paket kepala daerah beserta wakilnya.
Nantinya, pilkada hanya memilih kepala daerah dan wakilnya ditunjuk langsung oleh kepala daerah dari kalangan pejabat karier. Anggota Komisi II DPR dari Fraksi PKB Abdul Malik Haramain mengatakan, jabatan kepala daerah adalah jabatan politik. Itu artinya, jabatan politik yang wilayahnya ada dalam kebijakan, sedangkan pejabat karier hanya di teknis.
Dia menyatakan, ada pertanyaan jika nantinya kepala daerah absen, bagaimana penggantinya. "Dengan latar belakang pejabat karier, tidak mungkin wakil kepala daerah menggantikan kepala daerah jika berhalangan. Kami dalam hal ini tidak menolak sistem pemilihan tunggal yang diusulkan pemerintah. Namun, kewenangan menentukan wakil kepala daerah seharusnya tidak bisa diintervensi pemerintah," tandas Malik kepada wartawan di Jakarta, Minggu 17 Juni 2012.
Pihaknya mengusulkan, agar dua atau tiga nama calon wakil kepala daerah diusulkan dulu kepada parpol. Atau kepala daerah diberi kewenangan memilih wakilnya sendiri. Namun, tetap ranah kebijakan harus tetap diperhatikan untuk kepentingan demokrasi. Anggota Komisi II DPR dari Fraksi Partai Hanura Miriam Hariyani juga menolak usulan pilkada tanpa paket.
Menurut dia, alasan pemerintah bahwa pencalonan dengan paket selama ini sering berujung perpecahan antara kepala daerah dan wakilnya tidak bisa menjadi alasan yang kuat. "Pecah kongsi itu disebabkan tidak ada pembagian tugas yang jelas. Mereka pecah bukan karena berbeda ideologi politik. Justru saat pasangan kepala daerah dicalonkan bersama wakil kepala daerah, itu berarti mereka memiliki ideologi yang sama," tutur Miriam.
Pembagian tugas tersebut, ujarnya, seharusnya diatur dalam UU Pemerintahan Daerah (Pemda). Pasalnya, selama ini wakil kepala daerah hanya diberikan tugas yang sifatnya seremonial. Miriam melihat hal ini sangat ironis dan merupakan pemborosan anggaran. Karena itu, dia mengungkapkan hal ini menjadi tugas perumus RUU Pilkada untuk melakukan sinkronisasi dengan RUU Pemda, yang saat ini juga sedang dibahas di dalam panitia khusus.
Dia mengaku, usulan fraksinya ini pun disetujui Fraksi PAN. Di sisi lain, Fraksi PDIP, Fraksi PPP, dan Fraksi Partai Gerindra tidak secara langsung menolak usulan pilkada tanpa paket itu. Namun, mereka meminta pemerintah menjelaskan lebih lanjut maksud dan tujuan usulan itu. Sementara itu, Fraksi Partai Demokrat dan Fraksi Partai Keadilan Sejahtera tidak secara langsung menyinggung pasal itu.
Di luar penolakan fraksi atas pasal pilkada tanpa paket, mayoritas fraksi justru sependapat dengan usulan pemerintah yang melarang pencalonan kepala daerah yang memiliki hubungan kerabat dengan incumbent. (lil)
Nantinya, pilkada hanya memilih kepala daerah dan wakilnya ditunjuk langsung oleh kepala daerah dari kalangan pejabat karier. Anggota Komisi II DPR dari Fraksi PKB Abdul Malik Haramain mengatakan, jabatan kepala daerah adalah jabatan politik. Itu artinya, jabatan politik yang wilayahnya ada dalam kebijakan, sedangkan pejabat karier hanya di teknis.
Dia menyatakan, ada pertanyaan jika nantinya kepala daerah absen, bagaimana penggantinya. "Dengan latar belakang pejabat karier, tidak mungkin wakil kepala daerah menggantikan kepala daerah jika berhalangan. Kami dalam hal ini tidak menolak sistem pemilihan tunggal yang diusulkan pemerintah. Namun, kewenangan menentukan wakil kepala daerah seharusnya tidak bisa diintervensi pemerintah," tandas Malik kepada wartawan di Jakarta, Minggu 17 Juni 2012.
Pihaknya mengusulkan, agar dua atau tiga nama calon wakil kepala daerah diusulkan dulu kepada parpol. Atau kepala daerah diberi kewenangan memilih wakilnya sendiri. Namun, tetap ranah kebijakan harus tetap diperhatikan untuk kepentingan demokrasi. Anggota Komisi II DPR dari Fraksi Partai Hanura Miriam Hariyani juga menolak usulan pilkada tanpa paket.
Menurut dia, alasan pemerintah bahwa pencalonan dengan paket selama ini sering berujung perpecahan antara kepala daerah dan wakilnya tidak bisa menjadi alasan yang kuat. "Pecah kongsi itu disebabkan tidak ada pembagian tugas yang jelas. Mereka pecah bukan karena berbeda ideologi politik. Justru saat pasangan kepala daerah dicalonkan bersama wakil kepala daerah, itu berarti mereka memiliki ideologi yang sama," tutur Miriam.
Pembagian tugas tersebut, ujarnya, seharusnya diatur dalam UU Pemerintahan Daerah (Pemda). Pasalnya, selama ini wakil kepala daerah hanya diberikan tugas yang sifatnya seremonial. Miriam melihat hal ini sangat ironis dan merupakan pemborosan anggaran. Karena itu, dia mengungkapkan hal ini menjadi tugas perumus RUU Pilkada untuk melakukan sinkronisasi dengan RUU Pemda, yang saat ini juga sedang dibahas di dalam panitia khusus.
Dia mengaku, usulan fraksinya ini pun disetujui Fraksi PAN. Di sisi lain, Fraksi PDIP, Fraksi PPP, dan Fraksi Partai Gerindra tidak secara langsung menolak usulan pilkada tanpa paket itu. Namun, mereka meminta pemerintah menjelaskan lebih lanjut maksud dan tujuan usulan itu. Sementara itu, Fraksi Partai Demokrat dan Fraksi Partai Keadilan Sejahtera tidak secara langsung menyinggung pasal itu.
Di luar penolakan fraksi atas pasal pilkada tanpa paket, mayoritas fraksi justru sependapat dengan usulan pemerintah yang melarang pencalonan kepala daerah yang memiliki hubungan kerabat dengan incumbent. (lil)
()