Bongkar permainan politik Lapindo

Selasa, 12 Juni 2012 - 07:33 WIB
Bongkar permainan politik Lapindo
Bongkar permainan politik Lapindo
A A A
Sindonews.com - Dugaan adanya permainan politik dalam penambahan ayat C pada Pasal 18 UU APBN Perubahan 2012 tentang bantuan negara dalam penanganan korban lumpur Lapindo perlu ditelusuri. Sejumlah kalangan menilai ada deal tertentu yang disembunyikan.

Anggota Komisi VII DPR Mardani Alisera mengatakan, masalah tersebut perlu dibuka ke publik secara transparan. Karena itu, dugaan kemungkinan ada motif tertentu harus dibongkar agar jelas apa yang sebenarnya terjadi. Pihaknya juga akan menggandeng pihak eksternal untuk mengungkap motif dibalik kesepakatan tersebut.

"Kalau itu benar terjadi dibongkar saja. Kami berharap untuk dibuka ke publik jika benar adanya. Biar masyarakat yang menilai karena masyarakat sekarang sudah bisa menilai," tandas dia kepada wartawan di Jakarta kemarin.

Sebelumnya anggota Banggar Yasona Laoli mengungkapkan, munculnya pasal yang mengatur bantuan pemerintah kepada korban semburan lumpur Lapindo tidak melalui pembahasan di Badan Anggaran DPR.

Pihaknya hanya membahas Pasal 18 ayat A dan B. Pasal 18 ayat C berbunyi: bantuan kontrak rumah, bantuan tunjangan hidup, biaya evakuasi, dan pembayaran pembelian tanah dan bangunan pada wilayah di luar peta area terdampak lainnya yang ditetapkan melalui peraturan presiden".

Di dalam penjelasan Pasal 18 ayat C dijelaskan, wilayah di luar peta area terdampak lainnya adalah wilayah yang ditetapkan sesuai hasil kajian. Lalu, pembayaran pembelian tanah dan bangunan pada wilayah di luar peta area terdampak lainnya adalah untuk pembayaran uang muka sebesar 20%.

UU APBN 2012 Pasal 18 mengenai penanggulangan lumpur Sidoarjo oleh Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) terdiri atas ayat A dan B. Selanjutnya pada Pasal 19, diatur soal anggarannya sebesar Rp155 miliar. Anggota Komisi XI DPR Indah Kurnia menilai pemerintah dan Lapindo saat ini sudah saling mengunci kepentingan.

Menurut dia, pemerintah akan membayar ganti rugi pembelian tanah korban lumpur Lapindo jika perusahaan PT Minarak Lapindo Jaya, membayar ganti rugi serupa.

Lapindo semestinya harus bertanggung jawab pada korban di dalam area bencana, sedangkan pemerintah dibebankan korban di luar area bencana tapi terkena dampak bencana. "Ini menandakan pemerintah dan Lapindo saling mengunci," imbuh dia.

Wakil Ketua Bidang Politik Indonesia Human Rights Committee for Social Justice (IHCS) Ridwan mengungkapkan, sikap PT Minarak Lapindo Jaya (MLJ) yang belum membayar jual-beli aset korban lumpur dinilai sebagai bentuk mempermainkan warga.

Padahal, sesuai kesepakatan harusnya sudah tuntas pada 10 Juni 2012. "Mereka seperti mempermainkan warga yang menjadi korban untuk mendapatkan haknya. Ini tanda bahwa iktikad baik PT MLJ patut diragukan," kata dia.

Menurut dia, proses penyelesaian ganti rugi korban lumpur Lapindo sudah berjalan enam tahun lebih. Namun kenyataan di lapangan, korban masih diabaikan.

Itu bisa dilihat dalam berbagai kesempatan di mana korban terus menuntut haknya diberikan. "Dengan intensitas tuntutan dari korban yang cukup masif saja, ternyata realisasi penyelesaiannya belum jelas juga, apalagi jika mereka para korban diam. Apakah begitu tanggung jawabnya?" ungkapnya.

Selain terhadap PT MLJ, Ridwan juga menyesalkan respons pemerintah yang terkesan tidak ada gereget, meski setiap hari para korban menuntut keadilan.

Pemerintah yang telah meminta kepada MLJ untuk segera menepati janji ganti rugi warga tidak dibarengi dengan konsekuensi tegas jika tidak tepat janji. Sebagaimana diketahui, 29 Mei 2012 lalu luapan lumpur Lapindo genap memasuki enam tahun. Meski begitu, penanganannya belum juga tuntas. Korban yang kehilangan tempat tinggal dan sumber ekonomi belum juga mendapatkan kompensasi sebagaimana dijanjikan.

Wakil Ketua DPR Pramono Anung mengatakan, pembayaran ganti rugi terhadap korban lumpur Lapindo yang belum juga tuntas selama enam tahun telah merugikan banyak pihak. "Untuk persoalan ini, jangan sampai ke pemerintahan baru di 2014, perlu upaya sebelum 2014 terutama persoalan ganti rugi," ungkapnya. (san)
()
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6629 seconds (0.1#10.140)