KPK dinilai istimewakan Miranda
A
A
A
Sindonews.com - Tindakan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang belum menahan tersangka dugaan suap cek pelawat Miranda S Goeltom dipertanyakan berbagai pihak. KPK diminta memberikan alasan detail ke publik, sebab sikap lembaga antikorupsi itu pada proses hukum Miranda bisa dianggap diskriminasi. Terlebih dalam kasus ini semua tersangka sudah divonis.
Pakar hukum dari UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Andi Syafrani menuturkan, penahanan tersangka memang menjadi hak subjektif penyidik KPK dengan mempertimbangkan alasan-alasan objektif yang diatur dalam KUHAP.
Tetapi karena semua tersangka kasus tersebut telah divonis, tidak ada alasan objektif bagi KPK untuk tidak menahan Miranda. Penundaan penahanan Miranda akan menimbulkan kesan bahwa KPK masih tebang pilih. "Menurut saya, lebih tampak pengistimewaan ketimbang strategi. Waktu membiarkan Miranda di luar penjara sudah sangat panjang," kata Andi saat dihubungi di Jakarta, kemarin.
Pakar hukum pidana dari Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ) Chairul Huda juga menyayangkan sikap KPK yang masih membiarkan Miranda di luar jeruji besi. Menurut dia, tindakan KPK mengesankan kemunduran pascavonis yang dijatuhkan kepada Nunun Nurbaetie. Dia bahkan mencurigai alasan tidak ditahannya Miranda karena KPK tidak berhasil menemukan bukti konkret untuk menuntaskan kasus cek pelawat ini.
Karena itu, KPK sengaja memberikan segala putusannya kepada Pengadilan Tipikor. Pasalnya, terhadap tersangka lainnya dalam kasus yang sama, KPK seolah tidak menjadikannya sebagai satu kesatuan konstruksi hukum. Maka nantinya, majelis hakim Tipikor akan memutuskan vonis kepada Miranda di pengadilan dengan amar putusan yang seadanya seperti pada tersangka Nunun.
"Saya pikir KPK melempar badan dalam kasus cek pelawat ini ke Pengadilan Tipikor," bebernya saat dihubungi, kemarin.
Andi khawatir, sikap KPK ini sengaja dilakukan untuk memberikan kelonggaran kepada Miranda. Sementara itu, Direktur Eksekutif Pusat Kajian Anti Korupsi Universitas Gadjah Mada (Pukat UGM) Zainal Arifin Mochtar menilai, penetapan Miranda sebagai tersangka dalam kasus ini tidak serta-merta membuat kasus ini selesai.
KPK harus segera mengungkap penyandang dana cek pelawat yang digunakan untuk menyuap sejumlah anggota Komisi IX DPR 1999–2004 dalam memenangkan Miranda sebagai Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia (DGS BI) pada 2004.
"Jangan sampai berhenti pada Nunun dan Miranda saja. Banyak hal dan sudah diketahui publik bahwa di belakang Nunun ada beberapa nama yang seharusnya dikejar. Menetapkan tersangka dan menahan Miranda bukan akhir persoalan. Kita tunggu penangkapan KPK terhadap penyandang dananya," kata Zainal saat dihubungi di Jakarta kemarin.
Pakar hukum pidana dari Universitas Indonesia (UI) Ganjar Laksamana menilai belum ditahannya Miranda sebagai strategi KPK untuk mengungkap pelaku lain.
Dengan membiarkan Miranda masih bebas berkeliaran di luar rumah tahanan, tidak menutup kemungkinan ada kontak atau komunikasi langsung antara Miranda dan pihak-pihak tertentu yang bisa saja merupakan penyandang dana atau calon tersangka yang belum diidentifikasi oleh KPK. "Jika itu terjadi, tentunya KPK bisa mempunyai data baru," papar dia.
Juru Bicara KPK Johan Budi mengatakan, pihaknya tidak pernah melakukan diskriminasi dan pengistimewaan kepada setiap tersangka korupsi, apalagi kepada Miranda.
Namun, dia menegaskan penahanan terhadap Miranda membutuhkan alat bukti cukup. Artinya, penundaan itu tidak berarti sikap KPK terhadap Miranda sebagai tindakan tebang pilih dalam pemberantasan korupsi. "Tidak ada pengistimewaan kepada Miranda sedikit pun. Bukan menunjukkan tebang pilih kalau Miranda belum ditahan, KPK tidak tebang pilih," paparnya.
Desakan agar Miranda segera ditahan menguat setelah Nunun Nurbaetie, salah satu terdakwa dalam kasus itu, divonis dua tahun enam bulan penjara Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta yang dipimpin Sudjatmiko menyatakan, Nunun terbukti melakukan tindak pidana korupsi dengan menyuap sejumlah anggota Komisi IX DPR 1999–2004 untuk memenangkan Miranda S Goeltom sebagai Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia (DGS BI) pada 2004.
Nunun juga diganjar denda Rp150 juta subsider tiga bulan kurungan. Nunun terbukti melanggar Pasal 5 Ayat I Huruf B UU No 31/1999 jo UU No 20/2002 tentang Tindak Pidana Korupsi. Majelis hakim menyebutkan hal yang memberatkan Nunun, karena dia tidak mendukung program pemerintah untuk pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme. (san)
Pakar hukum dari UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Andi Syafrani menuturkan, penahanan tersangka memang menjadi hak subjektif penyidik KPK dengan mempertimbangkan alasan-alasan objektif yang diatur dalam KUHAP.
Tetapi karena semua tersangka kasus tersebut telah divonis, tidak ada alasan objektif bagi KPK untuk tidak menahan Miranda. Penundaan penahanan Miranda akan menimbulkan kesan bahwa KPK masih tebang pilih. "Menurut saya, lebih tampak pengistimewaan ketimbang strategi. Waktu membiarkan Miranda di luar penjara sudah sangat panjang," kata Andi saat dihubungi di Jakarta, kemarin.
Pakar hukum pidana dari Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ) Chairul Huda juga menyayangkan sikap KPK yang masih membiarkan Miranda di luar jeruji besi. Menurut dia, tindakan KPK mengesankan kemunduran pascavonis yang dijatuhkan kepada Nunun Nurbaetie. Dia bahkan mencurigai alasan tidak ditahannya Miranda karena KPK tidak berhasil menemukan bukti konkret untuk menuntaskan kasus cek pelawat ini.
Karena itu, KPK sengaja memberikan segala putusannya kepada Pengadilan Tipikor. Pasalnya, terhadap tersangka lainnya dalam kasus yang sama, KPK seolah tidak menjadikannya sebagai satu kesatuan konstruksi hukum. Maka nantinya, majelis hakim Tipikor akan memutuskan vonis kepada Miranda di pengadilan dengan amar putusan yang seadanya seperti pada tersangka Nunun.
"Saya pikir KPK melempar badan dalam kasus cek pelawat ini ke Pengadilan Tipikor," bebernya saat dihubungi, kemarin.
Andi khawatir, sikap KPK ini sengaja dilakukan untuk memberikan kelonggaran kepada Miranda. Sementara itu, Direktur Eksekutif Pusat Kajian Anti Korupsi Universitas Gadjah Mada (Pukat UGM) Zainal Arifin Mochtar menilai, penetapan Miranda sebagai tersangka dalam kasus ini tidak serta-merta membuat kasus ini selesai.
KPK harus segera mengungkap penyandang dana cek pelawat yang digunakan untuk menyuap sejumlah anggota Komisi IX DPR 1999–2004 dalam memenangkan Miranda sebagai Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia (DGS BI) pada 2004.
"Jangan sampai berhenti pada Nunun dan Miranda saja. Banyak hal dan sudah diketahui publik bahwa di belakang Nunun ada beberapa nama yang seharusnya dikejar. Menetapkan tersangka dan menahan Miranda bukan akhir persoalan. Kita tunggu penangkapan KPK terhadap penyandang dananya," kata Zainal saat dihubungi di Jakarta kemarin.
Pakar hukum pidana dari Universitas Indonesia (UI) Ganjar Laksamana menilai belum ditahannya Miranda sebagai strategi KPK untuk mengungkap pelaku lain.
Dengan membiarkan Miranda masih bebas berkeliaran di luar rumah tahanan, tidak menutup kemungkinan ada kontak atau komunikasi langsung antara Miranda dan pihak-pihak tertentu yang bisa saja merupakan penyandang dana atau calon tersangka yang belum diidentifikasi oleh KPK. "Jika itu terjadi, tentunya KPK bisa mempunyai data baru," papar dia.
Juru Bicara KPK Johan Budi mengatakan, pihaknya tidak pernah melakukan diskriminasi dan pengistimewaan kepada setiap tersangka korupsi, apalagi kepada Miranda.
Namun, dia menegaskan penahanan terhadap Miranda membutuhkan alat bukti cukup. Artinya, penundaan itu tidak berarti sikap KPK terhadap Miranda sebagai tindakan tebang pilih dalam pemberantasan korupsi. "Tidak ada pengistimewaan kepada Miranda sedikit pun. Bukan menunjukkan tebang pilih kalau Miranda belum ditahan, KPK tidak tebang pilih," paparnya.
Desakan agar Miranda segera ditahan menguat setelah Nunun Nurbaetie, salah satu terdakwa dalam kasus itu, divonis dua tahun enam bulan penjara Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta yang dipimpin Sudjatmiko menyatakan, Nunun terbukti melakukan tindak pidana korupsi dengan menyuap sejumlah anggota Komisi IX DPR 1999–2004 untuk memenangkan Miranda S Goeltom sebagai Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia (DGS BI) pada 2004.
Nunun juga diganjar denda Rp150 juta subsider tiga bulan kurungan. Nunun terbukti melanggar Pasal 5 Ayat I Huruf B UU No 31/1999 jo UU No 20/2002 tentang Tindak Pidana Korupsi. Majelis hakim menyebutkan hal yang memberatkan Nunun, karena dia tidak mendukung program pemerintah untuk pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme. (san)
()