Lembaran baru Aceh

Jum'at, 13 April 2012 - 08:17 WIB
Lembaran baru Aceh
Lembaran baru Aceh
A A A
Pasangan calon gubernur Zaini Abdullah-Muzakir Manaf (Zikir) hampir dipastikan akan memimpin Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) untuk periode 2012-2017.

Penghitungan cepat (quick count) yang digelar Lingkaran Survei Indonesia (LSI) dan Lembaga Survei Indonesia (LSI) menyebut pasangan ini berhasil meraup dukungan 54,15 persen dan 55,68 persen suara.

Jumlah ini jauh melampaui incumbent, Irwandi Yusuf, yang berpasangan dengan Muhyan Yunan. Sejumlah pengamat menyebut pasangan Zikir berhasil memenangi pilkada karena mesin politik mereka, Partai Aceh, mampu bekerja secara maksimal.

Pasangan ini juga mendapatkan kekuatan karena dukungan mantan Gubernur Aceh Abdullah Puteh dan sejumlah tokoh Negeri Serambi Mekkah seperti Farhan Hamid dan Nasir Jamil.

Tak kalah pentingnya adalah dukungan dari sejumlah purnawirawan jenderal asal Aceh. Terlepas bekerjanya mesin politik dan dukungan simbolik, keduanya memang mempunyai akar yang kuat di masyarakat.

Seperti diketahui, Zaini Abdullah, yang lahir pada 24 April 1940 itu, merupakan tangan kanan tokoh GAM Hasan Tiro, yang memegang posisi sebagai menteri luar negeri yang mengatur skenario diplomasi.

Selepas perdamaian tokoh berlatar pendidikan kedokteran ini merupakan anggota Tuha Peut (Presidium) Komite Peralihan Aceh (KPA) dan Partai Aceh.

Sang pendamping, Muzakir Manaf, juga merupakan ring satu GAM. Pria kelahiran Aceh Timur, 3 April 1964 ini menggantikan Abdullah Syafei, yang tewas dalam kontak tembak dengan TNI, sebagai panglima GAM.

Di era perdamaian dia menjabat ketua Komite Peralihan Aceh (KPA) dan ketua Partai Aceh. Beranjak dari realitas itu, kemenangan pasangan tersebut merupakan kemenangan aspirasi mayoritas masyarakat Aceh, yang menginginkan masa depannya lebih baik dari sebelumnya.

Harapan itu sudah barang tentu menjadi beban tanggung jawab bagi mereka untuk mewujudkannya. Dalam konteks masa depan Aceh, inilah saatnya mereka mewujudkan mimpi dan gagasannya yang pernah mereka perjuangkan dengan senjata, melalui kepemimpinan dan kebijakan selama mereka memimpin nanti.

Terwujudnya perdamaian Aceh melalui Perjanjian Helsinki pada 15 Agustus 2005 yang ditindaklanjuti lahirnya UU No 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UU PA) adalah jembatan emas yang harus dimanfaatkan untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat Aceh.

Secara teoritis hal ini tidak sulit karena Negeri Rencong ini memilik sumber daya alam melimpah dan sumber daya manusia yang unggul. Namun, semua belum berjalan seperti yang diimpikan.

Aceh masih dililit sejumlah persoalan seperti tingginya tingkat kemiskinan, yang mencapai 19,48 persen pada 2011. Angka ini melebihi persentase kemiskinan secara nasional yang mencapai 12,36 persen. Angka pengangguran masih tinggi (7,43 persen), melebihi rata-rata nasional yang mencapai 6,8 persen.

Selain itu, pertumbuhan ekonomi wilayah ini juga belum maksimal (5,02 persen), masih di bawah angka pertumbuhan nasional yang mencapai 6,5 persen. Fakta tersebut hanya merupakan satu bagian dari tantangan yang akan dihadapi Zaini Abdullah dan Muzakir Manaf.

Tantangan yang tak kalah rumit adalah korupsi, kolusi, nepotisme (KKN) yang berkembang cukup subur bak cendawan di musim hujan serta gangguan keamanan yang secara insidental masih terjadi di sana-sini.

Pembenahan dua hal tersebut bisa disebut sebagai kunci pembangunan, termasuk partisipasi sektor swasta yang masih sangat minim. Zaini Abdullah dan Muzakir Manaf tentu sangat paham dengan hitam putih Aceh dan denyut nadi masyarakatnya beserta harapan di dalamnya.

Masyarakat Aceh dan seluruh bangsa Indonesia tentu juga berharap kepemimpinan mereka bisa menjadi jembatan emas kedua membuka lembaran baru Aceh yang lebih baik dalam arti sesungguhnya.(*)
()
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0547 seconds (0.1#10.140)