Polisi dan narkoba
A
A
A
Sebanyak 270 anggota kepolisian di Tanah Air terindikasi mengonsumsi narkoba selama 2011 hingga Maret ini. Mereka terdiri atas bintara sebanyak 141 orang, perwira pertama 23, perwira menengah 15, dan PNS 3.
Data yang dirilis Mabes Polri itu mengejutkan sekaligus memprihatinkan. Mengejutkan karena ternyata banyak sekali oknum lembaga penegak keamanan itu terjerumus dalam kenikmatan barang haram tersebut. Memprihatinkan karena mereka yang sebenarnya menjadi tulang punggung pemberantasan narkoba ternyata justru menjadi pemakainya. Fakta terakhir ini pasti mengusik siapa pun yang menginginkan negara ini bebas dari narkoba, mendambakan para generasi muda bisa hidup sehat dan berprestasi tanpa menyentuh ineks, sabu-sabu, ganja, heroin, dan sebagainya.
Bagaimana tidak terusik jika aparat yang mereka harapkan bisa mengambil peran memberantas narkoba justru menjadi pengonsumsinya. Secara otomatis, nalar mereka pun menjadi tercemar dan terganggu hingga tidak bisa membedakan mana yang baik dan benar, mana yang harus diberantas dan dilindungi, dan akhirnya alpa akan tanggung jawab yang seharusnya ditunaikan. Mabes Polri tentu harus serius merespons perilaku anak buahnya tersebut karena pada akhirnya akan mencederai lembaga.
Ibarat setetes racun merusak susu sebelanga, tindakan segelintir oknum ini akan mendegradasi prestasi positif yang ditunjukkan dalam memberangus pabrik narkoba dan menjaring mafia internasional yang selama ini beroperasi. Lebih berbahaya jika kondisi tersebut kemudian malah melumpuhkan upaya polisi memberantas narkoba. Ancaman Mabes Polri untuk memecat oknum polisi pengonsumsi narkoba cukup tegas untuk memberikan shock therapy kepada anggota lain agar tidak coba-coba mencicipi narkoba. Namun, apakah itu efektif dan mampu membangun perisai agar lembaga tersebut benar-benar steril godaan narkoba, ini harus dipikirkan lebih serius.
Mengapa demikian? Karena polisi sangat rentan bersinggungan dengan narkoba. Persinggungan itu tak jarang menyeret oknum yang tidak kuat mental atau menggoda tamtama yang bergaji rendah atau perwira yang ingin mendapat kekayaan lebih. Persinggungan ini berdampak tak sebatas pada adanya oknum aparat yang tertangkap mengonsumsi narkoba seperti yang menimpa Kepala Polsek Cibarusah, Bekasi, AKP HBS, tapi juga memunculkan pemandangan mobil patroli polisi yang hanya lalu lalang di depan diskotek, sementara peredaran narkoba di dalamnya masih aman-aman saja.
Kasus kecelakaan maut Afriyani Susanti menjadi bukti bahwa siapa pun bisa dengan mudah mendapatkan narkoba karena rantai distribusinya masih terbuka lebar. Masyarakat juga masih disuguhi berita hilangnya atau dipalsukannya barang bukti narkoba hasil penggerebekan. Pertanyaan yang muncul kemudian, apakah barang bukti itu dikonsumsi oleh oknum polisi atau justru dijual lagi? Kecurigaan ini bisa dipahami karena dagangan narkoba mempunyai nilai ekonomis tinggi.
Jika benar demikian faktanya, lantas apa bedanya polisi dan mafia narkoba? Melihat persoalan ini, tentu upaya Mabes Polri tidak cukup hanya memberikan sanksi tegas (kuratif). Yang diperlukan adalah upaya pencegahan (preventif) sistematis. Misalnya menggelar cek urine secara rutin untuk mereka yang mengonsumsi dan mengontrol ketat kinerja polsek atau polres di wilayah yang berada di basis peredaran narkoba. Selain dari sisi internal, pengawasan eksternal sangat dibutuhkan.
Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) jangan hanya berkutat pada kebijakan umum, tapi juga secara langsung menyentuh pengawasan narkoba di lingkungan kepolisian. Pengawasan dua arah ini tentu akan menjadi watchdog bagi siapa pun oknum polisi untuk tidak bermain-main dengan narkoba.
Data yang dirilis Mabes Polri itu mengejutkan sekaligus memprihatinkan. Mengejutkan karena ternyata banyak sekali oknum lembaga penegak keamanan itu terjerumus dalam kenikmatan barang haram tersebut. Memprihatinkan karena mereka yang sebenarnya menjadi tulang punggung pemberantasan narkoba ternyata justru menjadi pemakainya. Fakta terakhir ini pasti mengusik siapa pun yang menginginkan negara ini bebas dari narkoba, mendambakan para generasi muda bisa hidup sehat dan berprestasi tanpa menyentuh ineks, sabu-sabu, ganja, heroin, dan sebagainya.
Bagaimana tidak terusik jika aparat yang mereka harapkan bisa mengambil peran memberantas narkoba justru menjadi pengonsumsinya. Secara otomatis, nalar mereka pun menjadi tercemar dan terganggu hingga tidak bisa membedakan mana yang baik dan benar, mana yang harus diberantas dan dilindungi, dan akhirnya alpa akan tanggung jawab yang seharusnya ditunaikan. Mabes Polri tentu harus serius merespons perilaku anak buahnya tersebut karena pada akhirnya akan mencederai lembaga.
Ibarat setetes racun merusak susu sebelanga, tindakan segelintir oknum ini akan mendegradasi prestasi positif yang ditunjukkan dalam memberangus pabrik narkoba dan menjaring mafia internasional yang selama ini beroperasi. Lebih berbahaya jika kondisi tersebut kemudian malah melumpuhkan upaya polisi memberantas narkoba. Ancaman Mabes Polri untuk memecat oknum polisi pengonsumsi narkoba cukup tegas untuk memberikan shock therapy kepada anggota lain agar tidak coba-coba mencicipi narkoba. Namun, apakah itu efektif dan mampu membangun perisai agar lembaga tersebut benar-benar steril godaan narkoba, ini harus dipikirkan lebih serius.
Mengapa demikian? Karena polisi sangat rentan bersinggungan dengan narkoba. Persinggungan itu tak jarang menyeret oknum yang tidak kuat mental atau menggoda tamtama yang bergaji rendah atau perwira yang ingin mendapat kekayaan lebih. Persinggungan ini berdampak tak sebatas pada adanya oknum aparat yang tertangkap mengonsumsi narkoba seperti yang menimpa Kepala Polsek Cibarusah, Bekasi, AKP HBS, tapi juga memunculkan pemandangan mobil patroli polisi yang hanya lalu lalang di depan diskotek, sementara peredaran narkoba di dalamnya masih aman-aman saja.
Kasus kecelakaan maut Afriyani Susanti menjadi bukti bahwa siapa pun bisa dengan mudah mendapatkan narkoba karena rantai distribusinya masih terbuka lebar. Masyarakat juga masih disuguhi berita hilangnya atau dipalsukannya barang bukti narkoba hasil penggerebekan. Pertanyaan yang muncul kemudian, apakah barang bukti itu dikonsumsi oleh oknum polisi atau justru dijual lagi? Kecurigaan ini bisa dipahami karena dagangan narkoba mempunyai nilai ekonomis tinggi.
Jika benar demikian faktanya, lantas apa bedanya polisi dan mafia narkoba? Melihat persoalan ini, tentu upaya Mabes Polri tidak cukup hanya memberikan sanksi tegas (kuratif). Yang diperlukan adalah upaya pencegahan (preventif) sistematis. Misalnya menggelar cek urine secara rutin untuk mereka yang mengonsumsi dan mengontrol ketat kinerja polsek atau polres di wilayah yang berada di basis peredaran narkoba. Selain dari sisi internal, pengawasan eksternal sangat dibutuhkan.
Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) jangan hanya berkutat pada kebijakan umum, tapi juga secara langsung menyentuh pengawasan narkoba di lingkungan kepolisian. Pengawasan dua arah ini tentu akan menjadi watchdog bagi siapa pun oknum polisi untuk tidak bermain-main dengan narkoba.
()